Majalah Tempo edisi terbaru: "Kriminalisasi KPK" (13-19 Juli 2015) menurunkan laporan utama (investigasi) mengenai rekaman tersebut, menyebutkan berdasarkan penelusuran mereka terhadap transkrip sadapan memperkuat keterangan Bambang dan Novel. Hasto Kristiyanto dan anggota DPR dari Fraksi PDIP Arteria Dahlan, yang diduga terekam komunikasinya itu, mengakui adanya percakapan tersebut. Demikian juga dengan Komisi Nasional (Komnas) HAM, membenarkan bahwa mereka juga pernah menerima rekaman hasil sadapan.
Meskipun Hasto, Arteria, dan pihak lainnya yang diduga suaranya terekam di sadapan itu mengakui isi percakapan itu menyangkal percakapan mereka itu dimaksud untuk menyusun strategi rekayasa kriminalisasi terhadap Bambang dan Abraham, namun pengakuan mereka itu sendiri membuktikan bahwa rekaman penyadapan itu memang ada. Tidak mungkin Novel dan Bambang bisa tahu tentang adanya komunikasi anraea Hasto cs itu, jika rekaman sadapan itu tak pernah ada.
Dengan pengakuan Hasto dan kawan-kawannya itu tentang adanya komunikasi di antara mereka itu, sudah jelas Novel dan Bambang tidak berbohong saat mengatakan adanya rekaman sadapan komunikasi tersebut.
Jauh sebelum Novel memberi kesaksiannya di MK tentang adanya rekaman sadapan tentang upaya intimidasi dan kriminalisasi kepada KPK itu, di Februari 2015, saat Abraham dan Bambang masih aktif, mereka pernah memperdengarkan sejumlah rekaman teror dan intimidasi terhadap para penyidik dan pimpinan KPK kepada Tim Sembilan yang diketuai oleh Ahmad Syafii Maarif. Sebagaimana diketahui, Tim Sembilan dibentuk untuk mencari solusi dari perseteruan KPK versus Polri saat itu (“cicak vs buaya jilid 3”).
Jika KPK di bawah kepemimpinan Ruki mengakui keberadaan rekaman itu dan bersedia menyerahkannya ke MK untuk diperdengarkan di sidang, tentu akan sangat membantu membuka hal-hal apa sebenarnya yang terjadi di balik kriminalisasi Polri terhadap KPK itu. Sebagaimana pernah terjadi saat rekaman sadapan percakapan Anggodo Widjojo dengan jaksa, pengacara, dan beberapa pihak diperdengarkan di MK, pada Oktober 2009, yang sekaligus membuktikan adanya kriminalisasi dua pimpinan KPK saat itu, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.
Kalau itu sampai terungkap di MK, maka semua orang yang terlibat dalam rekayasa dan kriminalisasi terhadap Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, juga Novel Baswedan, akan berpeluang besar mengikuti jejak Anggodo Widjojo yang atas perbuatannya itu di pengadilan terbukti bersalah menghalang-halangi proses penegakan hukum pemberantasan korupsi, dengan dihukum sepuluh tahun penjara.
Itu jika penegakan hukum yang merupakan bagian dari Nawa Cita pemerintahan Jokowi itu sungguh-sungguh hendak dilaksanakan secara konsekuen, efektif dan efesien. Jangan ada kesan karena Anggodo hanyalah seorang pengusaha swasta maka ia dengan mudah dijatuhi hukuman, sebaliknya jika perbuatan yang sama diduga dilakukan oleh para politisi, apalagi politisi dari partai politik yang sedang berkuasa, maka hal tersebut dikecualikan, bahkan sudah diproteksi sejak awal.
Logika Penyangkalan KPK
Atas perintah MK kepada KPK agar menyerahkan rekaman sadapan yang dimaksud oleh Novel Baswedan itu, pelaksana tugas Ketua KPK Taufiqurachman Ruki menjawabnya dengan surat resminya sebagai Ketua KPK. Bahwa berdasarkan hasil rapat pada 30 Juni 2015, yang dipimpin oleh Ketua KPK Taufiqurachman Ruki, KPK menyatakan
Pertama, KPK tidak memiliki rekaman sadapan bukti kriminalisasi dan intimidasi (sebagaimana dimaksud Novel Baswedan).
Kedua, pemimpin KPK menyatakan tidak pernah memerintahkan penyadapan yang berkaitan dengan dugaan kriminalisasi dan intimidasi.