[caption id="attachment_352402" align="aligncenter" width="544" caption="Irjen Ronny Franky Sompie (Tribunnews.com)"][/caption]
Pada Senin, 9 Februari 2015, polisi, dalam hal ini Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Sulselbar telah menetapkan Ketua KPK Abraham Samad sebagai tersangka pemalsuan dokumen kependudukan. Pemalsuan dokumen kependudukan yang dimaksud adalah berkaitan dengan KTP atas nama Feriyani Lim.
Menurut polisi, pada 2007, nama Feriyani Lim dimasukkan ke dalam Kartu Keluarga Abraham Samad, di Ujung Pandang, dengan data-data palsu, kemudian dari situ dibuat KTP atas namanya, setelah mendapat KTP, Feriyani mengurus paspornya.
Abraham Samad sudah membantah tuduhan tersebut. Melalui konferensi persnya di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, pada 10 Februari lalu.
“Saya ingin jelaskan beberapa hal, pertama saya tegaskan bahwa saya tidak mengenal seorang wanita yang bernama Feriyani Lim," ungkap Abraham.
"Kemudian saya juga tidak tahu persis yang dituduhkan pemalsuan dokumen karena alamat tadi yang disampaikan, saya sejak 1999 beralamat di rumah saya di Jalan Mapala. Saya pribadi bingung dengan KK yang dimaksud karena itu adalah ruko. Berdasarkan itu saya belum mengerti apa maksud tuduhan dan persangkaan yang dialamatkan kepada saya," demikian yang dibantah Abraham.
Seandainya pun tuduhan itu benar, apa yang dilakukan Abraham dalam membantu Feriyani memperoleh KTP-nya itu adalah sebuah tindak pidana ringan. Itu pun peristiwa lama, di tahun 2007, jauh sebelum Abraham menjadi Ketua KPK. Suatu kasus "kecil" dibandingkan dengan kasus yang diduga menjerat Budi Gunawan dengan gratifikasi sampai puluhan miliar rupiah.
Tetapi kenapa oleh polisi tiba-tiba kasus Abraham itu diusut secara sedemikian cepatnya, dan di-blow-up menjadi seolah-olah itu merupakan suatu kejahatan besar? Seperti juga pengusutan dan penetapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sebagai tersangka. Sangat sulit untuk percaya bahwa hal tersebut tak ada kaitannya dengan penetapan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK. Begitu Budi Gunawan, yang saat itu adalah calon tunggal Kapolri, ditetapkan sebagai tersangka penerima gratifikasi (13 Januari 2015), polisi langsung bergerak cepat mencari-cari kesalahan masa lalu apa yang bisa menjadikan para pimpinan KPk itu sebagai tersangka.
Untuk Abraham Samad, mereka menemukan kasus lama, 2007, tentang pemalsuan dokumen (KTP) itu. Padahal selama ini kasus tersebut tidak pernah muncul. Padahal ketika menjalankan seleksi calon pemimpin KPK, setiap calon diperiksa dan diselidiki rekam jejak, dengan melibatkan mulai Polri sampai BIN.
KTP PalsuBudi Gunawan
Ternyata, terungkap bahwa Budi Gunawan juga diduga kuat pernah melakukan pemalsuan dokumen, yaitu KTP atas nama dirinya sendiri. Hal ini terungkap ketika PPATK dan KPK melakukan penyelidikan atas rekening gendut mencurigakan milik Budi Gunawan.
Berdasarkan data dari salinan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) Budi Gunawan yang diperoleh Tempo, terungkap bahwa Budi Gunawan pernah mempunyai dua KTP dengan alamat yang berbeda, dalam kurun waktu yang sama. Hal tersebut ditulis di Majalah Tempo edisi 25 Januari 2015.
KTP yang pertama dengan nama “Gunawan”, untuk membuka rekening di BCA dan BNI Warung Buncit, Jakarta, pada 5 September 2008. Dalam KTP tersebut, tercatat alamat Jalan Duren Tiga Selatan VII Nomor 17A, RT 10 RW 02, Kelurahan Duren Tiga, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan.
“Gunawan” lalu menyetor masing-masing Rp 5 miliar ke dua rekening baru itu. Asal dana berasal dari “Budi Gunawan” – yang ketika itu menjabat Kepala Kepolisian Daerah Jambi berpangkat Brigadir Jenderal.
KTP yang kedua, dengan nama “Budi Gunawan”, yang dipakai untuk membuat LHKPN-nya tertanggal 19 Agustus 2008. Budi Gunawan mencantumkan alamatnya yang berbeda dengan “Gunawan” yang pertama, yaitu di Jalan Duren Tiga Barat VI No. 21 RT 05 RW 02, Kelurahaan Duren Tiga, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan. Dalam LHKPN ini, Budi Gunawan juga mencantumkan alamat kantor di Jl Jenderal Sudirman No 45, Kota Jambi Provinsi Jambi.
Saat diperiksa oleh penyidik KPK, ternyata dua KTP “Gunawan” dan “Budi Gunawan” tersebut di atas dengan foto orang yang sama, yaitu Budi Gunawan yang “asli”.
Temuan ini antara lain yang membuat KPK mencurigai aneka transaksi itu merupakan bagian dari suap dan gratifikasi kepada Budi Gunawan, yang kemudian menetapkannya sebagai tersangka pada 13 Januari 2015.
Pemalsuan KTP Delik Aduan?
Dari pengungkapan ini, jelaslah sangat patut diduga bahwa Budi Gunawan juga pernah melakukan tindak pidana yang sama dengan yang dituduhkan kepada Abraham Samad, yaitu pemalsuan dokumen kependudukan (KTP). Pada Budi Gunawan lebih berat lagi, karena dia adalah perwira polisi, dan pemalsuan KTP dilakukan untuk melancarkan kejahatan yang jauh lebih serius lagi.
Seharusnya polisi juga mengusut dugaan pemalsuan dokumen kependudukan (KTP) yang dilakukan oleh Budi Gunawan tersebut. Tetapi, kenapa itu tidak dilakukan? Kelihatan sekali polisi telah menerapkan suatu standar ganda, solidaritas korps yang keliru, dan juga mengabaikan kewajibannya sebagai penegak hokum yang harus mengusut setiap dugaan tindak pidana kejahatan yang dilakukan oleh siapa pun juga.
Ketika hal ini dipertanyakan kepada Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Polisi Ronny F Sompie membantah bahwa polisi telah menerapkan standar ganda. Menurut dia, kasus pemalsuan dokumen kependudukan Abraham Samad itu berbeda dengan kasus Budi Gunawan.
“Apakah (kasus Budi Gunawan) sudah dilaporkan (masyarakat)?Kalau belum, terus kenapa pertanyaan itu ditanyakan ke kami?”, katanya. Menurut Ronny, polisi tidak akan menolak jika ada laporan jika ada laporan tersebut. Polisi tidak boleh mengkriminalisasikan. Karena itu, masyarakat harus melaporkan terlebih dahulu. Tidak ada dobel standar, ya!” (rapper.com).
Keterangan Irjen Ronny F Sompie ini hendak mengatakan kepada masyarakat bahwa kasus pemalsuan dokumen itu adalah delik aduan. Jadi, terhadap kasus yang diduga dilakukan Budi Gunawan itu, polisi tidak bertindak apa-apa, karena tidak ada laporan dari masyarakat. Kalau ada laporan, pasti polisi segera bertindak. Padahal tindak pidana pemalsuan dokumen itu pasti bukan delik aduan. Ada atau tidak ada laporan, jika polisi mengetahui ada kasus tersebut, mereka harus segera bergerak untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan sebagaimana mestinya.
Setiap tindak pidana yang termasuk delik aduan pasti akan disebut syaratnya bahwa pidana baru dapat dituntut kepada pelaku jika ada aduan dari korban, pihak yang dirugikan atau keluarganya. Ketentuan pidana tentang pemalsuan dokumen (Pasal 263 dan 264 KUHP) tidak menyebutkan syarat itu.
Jenderal (Polisi) Sutarman saat masih sebagai Kapolri juga pernah menegaskan hal tersebut saat terungkapnya kasus pemalsuan e-KTP, November 2014. Ketika itu diketahui beredarnya e-KTP palsu buatan Tiongkok dan Perancis. Saat itu Sutarman menegaskan polisi akan mengusut kasus e-KPT tersebut, karena itu menyangkut tindak pidana pemalsuan dokumen negara, meskipun ada kendala untuk menelusuri e-KTP palsu itu. Menurutnya, e-KTP baru dianggap palsu jika sudah digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Jika tidak, akan cukup sulit untuk dideteksi.
Meski demikian Sutarman menegaskan bahwa pemalsuan e-KTP bukan tergolong delik aduan sehingga Polri bisa segera bergerak. "Enggak perlu aduan. Tapi kalau enggak ada laporannya, minimal kita tahu ke mana. Yang jelas kan lebih baik ada dipalsukan di mana, tempatnya di mana. Dari situ kita bisa melakukan penyelidikan," tegas Sutarman (Jpnn.com).
Kelakar Badrodin Haiti
Ketika soal kepemilikan KPT ganda -- yang berarti salah satunya pasti palsu – Budi Gunawan itu dikonfirmasikan wartawan Tempo kepada Wakil Kapolri Badrodin Haiti, dia mengaku tidak tahu tentang hal itu. Badrodin pun asal jawab saja pertanyaan itu, dia bilang, mungkin saja KTP itu milik adik, kakak, atau bahkan saudara kembarnya Budi Gunawan.
"Mungkin milik adiknya, kakaknya, atau saudara kembarnya," kata Badrodin saat ditemui Tempo di kediamannya, Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan, Kamis siang, 19 Februari 2015. "Kita kan enggak tahu. Alamat dan namanya beda, tapi mukanya memang mirip."
Kalau memang ia tidak tahu, sebagai Wakil Kapolri, bukankah seharusnya dia sudah memerintahkan anak buahnya melakukan pengusutan terhadap Budi Gunawan tentang KTP ganda itu. Tidak cukup hanya bilang, tidak tahu. Lalu asal bunyi, dengan enteng bilang, itu mungkin saudara kembarnya Budi segala.
Dari cara jawab Badrodin yang terkesan asal bunyi, atau bergaya kelakar ini, kelihatan sekali polisi memang tidak punya niat untuk melakukan pengusutan mengenai KTP ganda/palsu Budi Gunawan itu. Hal yang sangat berbeda, bertolak belakang ketika hal yang sama diduga dilakukan oleh Abraham Samad.
Dari fakta-fakta ini, polisi tidak bisa lagi mengingkari bahwa mereka memang menerapkan standar ganda di sini: kasus Abraham Samad diusut dengan super cepat, sedangkan kasus Budi Gunawan diabaikan. Padahal kasusnya sama-sama pemalsudan dokumen kependudukan. Dari sini juga kelihatan bahwa kasus Abraham ini benar-benar sengaja diadakan demi untuk bisa mempertersangkakan alias mengdiskriminalisasikan Abraham Samad.
Standar Ganda pada Praperadilan
Standar ganda polisi juga sangat kelihatan dari kontroversi gugatan praperadilan Budi Gunawan terhadap KPK, yang sudah diputuskan hakim tunggal Sarpin Rizaldi pada 9 Februari lalu, dengan mengabulkan sebagian gugatan Budi Gunawan, termasuk menyatakan penetapan status tersangka Budi oleh KPK tidak sah itu.
Merespon kemenangan Budi Gunawan di siding praperadilan itu, Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Komisaris Besar(Pol.) Rikwanto mengatakan, "Praperadilan adalah sebuah porses peradilan pengujian dari proses hukum yang ada, apabila ada yg merasa dirugikan anggota polri dan lainnya boleh mengajukan melalui pra peradilan," katanya di Mabes Polri, Jakarta, Senin (16/2/2015).
Selanjutnya seusai penetapan tersebut, dia mengatakan langkah selanjutnya mengeksekusi putusan, rehabilitasi, dan kompensasi sesuai dengan peraturan (bisnis.com).
Hal sebaliknya pernah dinyatakan Mabes Polri, ketika mereka yang digugat praperadilan saat menetapkan dua orang pimpinan KPK sebagai tersangka, pada 2009 lalu. Ketika terjadi perseteruan pertama KPK vs Polri, saat KPK mulai mengusut Kabareskrim Polri Komisaris Jenderal Seno Duadji karena diduga telah menerima gratifikasi, kemudian dibalas polisi dengan menetapkan Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto sebagai tersangka.
Yang menggugat praperadilan Polri ketika itu bukan dari KPK, tetapi dari masyarakat yang menamakan diri mereka: Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI).
Saat itu Mabes Polri meminta kepada hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menolak permohonan sidang gugatan praperadilan MAKI terhadap polisi itu, karena hak penyidikan ada pada polisi, dan bahwa berdasarkan Pasal 77 KUHAP, penetapan status tersangka kepada seseorang, tidak bisa dipraperadilankan
"Berdasarkan pasal 77 KUHAP, praperadilan tidak punya kompetensi untuk menguji penetapan tersangka," kata Kuasa Hukum Mabes Polri Iza Fadli usai membacakan jawaban atas gugatan MAKI di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya, Senin (5/10/2009).
Dalam pasal itu, lajut Iza, praperadilan bisa diterapkan untuk menguji sah atau tidaknya penghentian penyidikan sebuah kasus oleh yang berwajib. Praperadilan juga bisa diterapkan untuk perkara ganti rugi bagi seseorang tersangka/terdakwa yang kasusnya dihentikan tersebut.
Karena penetapan tersangka tidak bisa dipraperadilankan, Iza meminta hakim menetapkan PN Jaksel tidak berwenang mengadili gugatan yang dilayangkan MAKI.
"Penetapan tersangka itu adalah kewenangan yang dimiliki polri," jelas dia (detik.com).
Sekarang, 2015, dalam kasus praperadilan, posisi KPK dengan polisi bertukar tempat, termasuk argumen-argumennya. Di 2009 polisi yang menetapkan dua pemimpin KPK sebagai tersangka, ketika digugat LSM, polisi bilang: penetapan tersangka tidak bisa dipraperadilkan, itu merupakan kewenangan polisi sebagai penyidik. Sedangkan di 2015, ketika penyidik KPK yang menetapkan seorang perwira polisi sebagai tersangka, justru perwira polisi itu yang mempraperadilkan KPK, dan didukung oleh Mabes Polri.
Ketika ketidakkonsistensi Mabes Polri tentang praperadilan itu dipertanyakan kepada Irjen Ronny Sompie, ia berdalih, pernyataan kuasa hukum Mabes Polri pada 2009 lalu itu untuk institusi. Sedangkan, kasus praperadilan Budi Gunawan bukan atas nama institusi. “Artinya kalau mempertanyakan kenapa sikap kita berbeda, kita lihat yang dilakukan (Budi Gunawan) bukan atas nama institusi tapi pribadi,” katanya.
Ronny juga mengingatkan bahwa dalam putusan Hakim Sarpin di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu, perkara praperadilan memang tak bisa ditolak. “Hakim harus memeriksa, hakim harus melakukan upaya untuk memeriksa,” katanya. Itu merupakan kewenangan hakim, bukan pengaruh pihak tertentu (Rappler.com).
Pertanyaannya, meskipun sebagai pribadi pun, apakah Budi Gunawan sebagai seorang perwira tinggi polisi tidak mengerti hukum bahwa penetapan status tersangka kepadanya sesungguhnya tidak bisa digugat sidang praperadilannya?
Ronny juga tidak menjawab: kalau gugatan praperadilan itu atas nama Budi pribadi, apakah menurut Mabes Polri itu salah atau benar? Kalau salah, kenapa ada pernyataan Mabes Polri yang diwakili oleh Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Komisaris Besar (Pol.) Rikwanto malah mendukung upaya hukum Budi tersebut, sebagaimana disebutkan di atas?
Entah sadar atau tidak, pernyataan ikutan Ronny itu sendiri juga malah memperlihatkan lagi ketidakkonsistensi dan keberpihakan subyektifnya yang mewakili Mabes Polri dalam menghadapi suatu kasus, dan anggota polisi sendiri sebagai salah satu pihak. Dia bilang, “Perkara praperadilan memang tidak bisa ditolak, ..” artinya menurut dia tindakan Budi Gunawan menggugat penetapan tersangka oleh penyidik (KPK) itu dibenarkan secara hukum. Padahal di tahun 2009, Mabes Polri sendiri yang mengatakan di depan hakim bahwa penetapan tersangka oleh penyidik (polisi) tidak bisa digugat.
Hakim Sarpin Rizaldi Pasti Diperiksa
Hakim tunggal yang menyidangkan sidang praperadilan itu, Sarpin Rizaldi, dipastikan segera diperiksa oleh Komisi Yudisial (KY), mulai minggu depan. Untuk memeriksa Sarpin KY akan menggelar sidangKode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Jika terbukti ia melakukan pelanggaran etika sebagai hakim maka sanksi etika akan dijatuhkan kepadanya oleh KY, bilamana perlu dengan rekomendasi pemecatan ke Mahakamah Agung (MA).
MA, atau tepatnya Badan Pengawas MA juga akan memeriksa Sarpin dari aspek penerapan hukum. Apakah ia terbukti telah dengan sengaja melakukan kesalahan penerapan hukum (penyelundupan hukum) dalam memutuskan sidang praperadilan tersebut ataukah tidak. Hasil pemeriksaan KY juga akan dijadikan bahan pertimbangan MA. Jika terbukti dengan sengaja melakukan kesalahan dalam menerapkan hukum, maka sanksi hukum dari MA akan dijatuhkan kepadanya, dari larangan menyidangkan perkara, sampai sanksi pemecatan. Tak tertutup kemungkinan perkara tersebut juga dilimpahkan ke kepolisian atau kejaksaan untuk dituntut secara pidana.
Minggu depan KY akan mengundang Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi yang melaporkan hakim Sarpin, dan mengundang Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung Prof Bernard Arief Sidharta (ahli yang memberi keterangan dalam persidangan praperadilan Budi Gunawan, dan dikutip pendapatnya oleh Sarpin), -- dosen favorit saya ketika kuliah Pengantar Ilmu Hukum dan Ilmu Logika di Unpar, Bandung.
Komisioner KY, Taufiqurahman Syahuri, di Jakarta, Sabtu (21/2), mengungkapkan, secara spesifik KY juga akan mendalami dugaan kekeliruan hakim Sarpin menafsirkan pendapat ahli Bernard dalam persidangan praperadilan.
Arief Sidharta perlu diundang KY untuk mendengar keterangannya sendiri, karena menurutnya hakim Sarpin telah salah menafsirkan kesaksian yang diberikannya di sidang praperadilan tersebut. Menurut Arief akibat kesalahan tafsir itu keputusan Sarpin yang membatalkan penetapan tersangka Budi sudah di luar kewenangan praperadilan.
"Hakim salah menafsirkan, sehingga menghasilkan putusan yang berbeda dari pikiran saya sendiri. Dalam jalan pikiran saya, seharusnya gugatan itu ditolak tapi cara pemahaman hakim yang menimbulkan kesimpulan bahwa permohonan harus diterima," kata Arief dalam diskusi di kantor YLBHI, Minggu (22/2/2015) (Kompas.com).
Menurut Taufiqurahman, setidaknya ada tiga dugaan penyimpangan yang dilakukan Sarpin saat memutus permohonan praperadilan Budi Gunawan. Pertama, putusan Sarpin menciptakan perubahan tafsir Pasal 77 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang semestinya merupakan ranah Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua, putusan Sarpin juga telah mengubah kewenangan sidang praperadilan. Ketiga, Sarpin mengubah praperadilan menjadi pengadilan umum dengan cara memeriksa dan menilai substansi perkara (Harian Kompas, Minggu, 22/02/2015).
Saya yakin dari hasil pemeriksaan KY dan MA nanti, hakim Sarpin Rizaldi akan dijatuhkan sanksi yang terberat. Secara kasat mata saja sudah bisa dilihat bahwa ia memang telah dengan sengaja melakukan pelanggaran etika sebagai seorang hakim, yaitu mengenai kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Demikian juga dalam kesengajaan melakukan penerapan hukum ketika memimpin sidang praperadilan tersebut (penyelundupan hukum), akan terbukti di MA.
Berikut adalah pendapat para para mantan hakim agung dan pakar Hukum Pidana tentang putusan hakim Sarpin tersebut (detik.com):
- Mantan Ketua MA Dr Harifin Tumpa: Saya kira kita menghormati putusan hakim tapi dari segi hukum banyak menimbulkan pertanyaaan, aneh. Hakim berpendapat karena penetapan tersangka tidak diatur maka bisa dijadikan objek, tidak boleh seperti itu.
- Mantan Ketua Muda MA bidang Pidana Khusus Djoko Sarwoko: Hakimnya tersesat! Ngawur. Hakim terbawa arus, harusnya menolak.
- Mantan hakim agung Prof Dr Komariah Emong Sapardjaja: Putusan Sarpin bukan penemuan hukum tapi unprofessional conduct alias bodoh atau kemasukan angin. Sarpin telah menelikung UU.
- Pakar Hukum Pidana Prof Dr Hibnu Nugroho: Ini yang disebut chaos hukum. Tirani! Putusan ini merupakan kesesatan yang luar biasa dan merusak sistem.
- Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki: Putusan ini memang mengguncangkan, menimbulkan keruwetan hukum, dan bertentangan dengan semangat Mahkamah Agung soal konsistensi putusan.
- Mantan hakim konstitusi Dr Harjono: Hakim ini (Sarpin) ini kan buat penafsiran-penafsiran sendiri tidak sesuai KUHAP. Maka untuk mencari kepastian hukum sebaiknya KPK ajukan PK saja.
- Ahli Hukum Tata Negara Refly Harun: Ini seperti ada kecacatan terhadap putusan hukum, satu-satunya jalan (untuk KPK) ya PK. Sah-sah saja karena hakim Sarpin sudah melampaui kewenangannya dalam menetapkan KUHAP.
- Mantan Ketua MK Dr Hamdan Zoelva: Jika hakim Sarpin memutus perkara BG dengan jujur dan atas dasar kebenaran, kita angkat jempol karena berani. Bila tidak, ia merusak hukum.
Apa yang telah dilakukan hakim Sarpin Rizaldi itu sama sekali bukan penemuan hukum, tetapi perusakan hukum! Sebuah perbuatan yang hanya bisa dilakukan oleh hakim yang sesat. Hakim sesat harus diberi ganjaran yang sepantasnya!
Presiden Jokowi Seharusnya Tahu
Dengan mengetahui rentetan peristiwa dan analisa sebagaimana tersebut di atas, maka dengan mudah dapat diketahui terdapat terlalu banyak keganjilan dalam proses hukum terhadap Abraham Samad, dan Bambang Widjojanto, juga sidang praperadilan Budi Gunawan yang kontroversial itu. Dari situ dapat disimpulkan bahwa proses hukum yang mempertersangkakan dua komisioner KPK non-aktif itu bukan sesuatu yang normal, atau memang telah terjadi kriminalisasi terhadap mereka.
Entah Presiden Jokowi mengetahui hal ini ataukah tidak. Seharusnya, dia tahu, dan jika memang dia tahu, seharusnya dia juga memerintahkan Polri untuk menghentikan proses hukum yang tidak normal (kriminalisasi) itu. Bukan membiarkan hal tersebut terjadi. Tetapi, di Indonesia, yang sering terjadi adalah apa yang seharusnya dilakukan, tidak dilakukan, sebaliknya, yang seharusnya tidak dilakukan, itulah yang dilakukan.***
Artikel terkait:
Peringatan kepada Hakim Praperadilan Budi Gunawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H