Keterangan Irjen Ronny F Sompie ini hendak mengatakan kepada masyarakat bahwa kasus pemalsuan dokumen itu adalah delik aduan. Jadi, terhadap kasus yang diduga dilakukan Budi Gunawan itu, polisi tidak bertindak apa-apa, karena tidak ada laporan dari masyarakat. Kalau ada laporan, pasti polisi segera bertindak. Padahal tindak pidana pemalsuan dokumen itu pasti bukan delik aduan. Ada atau tidak ada laporan, jika polisi mengetahui ada kasus tersebut, mereka harus segera bergerak untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan sebagaimana mestinya.
Setiap tindak pidana yang termasuk delik aduan pasti akan disebut syaratnya bahwa pidana baru dapat dituntut kepada pelaku jika ada aduan dari korban, pihak yang dirugikan atau keluarganya. Ketentuan pidana tentang pemalsuan dokumen (Pasal 263 dan 264 KUHP) tidak menyebutkan syarat itu.
Jenderal (Polisi) Sutarman saat masih sebagai Kapolri juga pernah menegaskan hal tersebut saat terungkapnya kasus pemalsuan e-KTP, November 2014. Ketika itu diketahui beredarnya e-KTP palsu buatan Tiongkok dan Perancis. Saat itu Sutarman menegaskan polisi akan mengusut kasus e-KPT tersebut, karena itu menyangkut tindak pidana pemalsuan dokumen negara, meskipun ada kendala untuk menelusuri e-KTP palsu itu. Menurutnya, e-KTP baru dianggap palsu jika sudah digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Jika tidak, akan cukup sulit untuk dideteksi.
Meski demikian Sutarman menegaskan bahwa pemalsuan e-KTP bukan tergolong delik aduan sehingga Polri bisa segera bergerak. "Enggak perlu aduan. Tapi kalau enggak ada laporannya, minimal kita tahu ke mana. Yang jelas kan lebih baik ada dipalsukan di mana, tempatnya di mana. Dari situ kita bisa melakukan penyelidikan," tegas Sutarman (Jpnn.com).
Kelakar Badrodin Haiti
Ketika soal kepemilikan KPT ganda -- yang berarti salah satunya pasti palsu – Budi Gunawan itu dikonfirmasikan wartawan Tempo kepada Wakil Kapolri Badrodin Haiti, dia mengaku tidak tahu tentang hal itu. Badrodin pun asal jawab saja pertanyaan itu, dia bilang, mungkin saja KTP itu milik adik, kakak, atau bahkan saudara kembarnya Budi Gunawan.
"Mungkin milik adiknya, kakaknya, atau saudara kembarnya," kata Badrodin saat ditemui Tempo di kediamannya, Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan, Kamis siang, 19 Februari 2015. "Kita kan enggak tahu. Alamat dan namanya beda, tapi mukanya memang mirip."
Kalau memang ia tidak tahu, sebagai Wakil Kapolri, bukankah seharusnya dia sudah memerintahkan anak buahnya melakukan pengusutan terhadap Budi Gunawan tentang KTP ganda itu. Tidak cukup hanya bilang, tidak tahu. Lalu asal bunyi, dengan enteng bilang, itu mungkin saudara kembarnya Budi segala.
Dari cara jawab Badrodin yang terkesan asal bunyi, atau bergaya kelakar ini, kelihatan sekali polisi memang tidak punya niat untuk melakukan pengusutan mengenai KTP ganda/palsu Budi Gunawan itu. Hal yang sangat berbeda, bertolak belakang ketika hal yang sama diduga dilakukan oleh Abraham Samad.
Dari fakta-fakta ini, polisi tidak bisa lagi mengingkari bahwa mereka memang menerapkan standar ganda di sini: kasus Abraham Samad diusut dengan super cepat, sedangkan kasus Budi Gunawan diabaikan. Padahal kasusnya sama-sama pemalsudan dokumen kependudukan. Dari sini juga kelihatan bahwa kasus Abraham ini benar-benar sengaja diadakan demi untuk bisa mempertersangkakan alias mengdiskriminalisasikan Abraham Samad.
Standar Ganda pada Praperadilan