Dinginnya udara senja yang basah menusuk hingga ke tulang.
Dua hari lagi akan genap seminggu kerongkongan ini belum dilewati sesuatu selain ludah.
Musim hujan kali ini selalu diiringi dengan badai yang membuat jalanan di depan rumahku menjadi tergenang.
Dulu sebelum hampir banjir seperti sekarang, kalau hujan begini aku paling suka keluyuran membiarkan badan ini kuyup meskipun saat balik nanti aku dimarahi oleh ayah.
Itulah hiburanku satu-satunya sejak aku ditinggal kakakku entah kemana.
Kami bertiga selalu jalan bersama-sama hingga 5 tahun lalu tiba-tiba ia menghilang begitu saja tanpa kabar.
Pikiranku tentangnya sore ini seketika buyar karena aroma daging babi panggang buatan bibi di sebelah.
Tetangga sebelah rumahku ini memang doyan sekali masak untuk suami dan anak tunggalnya. Setiap hari selalu saja ada menu baru yang dibuatnya.
Pernah suatu hari ia memberi aku dan kakakku pure kentang untuk makan siang. Itu adalah pertama kalinya aku tahu kentang bisa diolah sedemikian lezatnya.
Wangi daging di hawa yang dingin ini membuat perutku semakin bergemuruh.
Aku berusaha memanggil bibi Diana agar sekiranya ia mau membagikan sedikit saja masakannya kepadaku.
Lantai garasi yang dingin menyulitkanku memanggilnya dengan lantang.
Sudah beberapa hari ayah tidak keluar rumah, mungkin ia sudah hilang kesabaran mengurusiku yang bandel keluyuran saat hujan.
Kepalaku mulai pusing dan tenagaku mulai terkuras perlahan.
Musim hujan seperti saat ini membuat tetanggaku jarang keluar rumah sehingga akan lebih sulit daripada biasanya untuk memanggil mereka; itu pun kalau mereka sedang di rumah.
Kucoba teriak sekali lagi memanggilnya tetapi derasnya suara hujan berhasil mengalahkanku.
Aku harus berpikir jernih. Sisa tenaga ini harus kusimpan untuk entah beberapa hari ke depan.
Kupejamkan mata ini, berusaha untuk tidur menyimpan energi.
Enam puluh menit pun berlalu. Langit sudah gelap dan berhenti menangis. Genangan air di jalanan memantulkan kembali cahaya kuning redup dari lampu-lampu jalan.
Bau daging yang lezat sudah tidak tercium lagi. Meskipun aku harus makan tetapi kini aku mulai penasaran dengan apa yang dilakukan oleh ayah hingga selarut ini.
"Ini antara hidup dan mati. Setidaknya kalau aku terkulai lemas dan mati di sini, itu karena aku telah habis tenaga; teriak meminta pertolongan", ucapku membatin.
Kutarik napas sedalam mungkin lalu berteriak sekuat tenaga. "Tolong!", jeritku. Tiga teriakan kugaungkan hingga bau anyir menusuk hidungku.
"Ah lagi-lagi bibi Diana gagal membuat resep baru", pikirku.
Aku terus berteriak hingga Lucas, anak tunggal bibi Diana keluar gerbang rumahnya, melihatku dengan iba dan bertanya,
"Hai Charlie, kamu kenapa di luar?"
"Papa mengurungku karena nakal dan aku belum makan dari Selasa kemarin".
Ia melihatku beberapa saat lalu kembali ke rumahnya untuk mengambil beberapa potong daging babi panggang yang dibuat oleh ibunya.
"Lukas sayang, untuk siapa daging itu kamu bawa?" tanya ibunya.
"Untuk Charlie, kasihan dia ma sepertinya kelaparan"
"Paman Buddy engga kasih makan lagi?"
"Gatau deh ma, tapi sih aku belum liat paman dari kemarin-kemarin"
Kebetulan ada satpam yang sedang patroli melewati depan rumah mereka.
Bibi Diana segera memanggilnya dan menjelaskan tentang kejanggalan tadi.
Sang satpam memanggilku untuk membuka pintu pagar yang digembok tetapi aku terlalu lemas bahkan untuk bisa berdiri.
Akhirnya satpam tersebut memanjat pagar lalu mengintip melalui kaca rumah.
Ia segera berbalik badan dengan wajah yang horror.
Bergegas ia mencabut HT dari sabuk pinggang dan memanggil beberapa personelnya untuk datang kemari.
Dari pangilannya terdengar sangat serius sekali. Aku tidak mengerti apa yang terjadi tetapi tidak butuh waktu lama hingga terdengar derap kaki dari jauh menerobos genangan air.
Tiga orang berseragam gelap serta satu anjing pitbull datang ke rumahku dan langsung membuka gembok dengan gunting tang.
Keempat satpam itu membuka paksa pintu utama rumahku lalu masuk seraya menuntun anjing pitbull itu bersama mereka.
Charlie diam-diam melewati pintu pagar, melepas rantai di leherku dan menuangkan air minum ke mulutku yang sudah kering ini.
Dibukanya bungkusan tisu yang ada di genggamannya lalu menyuapiku potongan-potongan daging babi panggang. Ahh nikmat sekali rasanya.
Aku berusaha bangkit berdiri dan mengintip ke dalam.
Di depan sana aku melihat ayah sedang terbang. Tetapi aneh; wajah, kulit, dan badannya tampak begitu keriput dan berwarna biru gelap.
Banyak kotoran berserakan di bawahnya.
Aku memanggil namanya dengan kencang karena ia tampak begitu diam membatu.
Aku terus melakukannya sambil menguping pembicaraan keempat satpam yang mencoba menarik hipotesa bahwa ini mungkin ada hubungannya dengan perceraian ayah serta usahanya yang bangkrut.
Pitbull tadi berjalan pelan melewati kaki satpam-satpam itu, menghampiriku dan berkata,Â
"Hey Charlie tolong keluar, kamu bisa merusak TKP. Dia sudah mati".
Malam ini pun diakhiri oleh lolongan pilu dua anjing yang saling bersahut-sahutan dengan nada yang memekikkan telinga semua yang mendengar.
Selesai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H