Mohon tunggu...
Burdani Dani
Burdani Dani Mohon Tunggu... Insinyur - Sastra Mengubah Dunia

Saya senang membaca, saya juga berusaha menuliskan sesuatu yang berguna bagi orang. Boleh jadi menjadikannya hiburan atau penggugah inspirasi bagi orang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Delon di Tahun 1990

12 Februari 2024   15:34 Diperbarui: 13 Februari 2024   08:41 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.jatimnetwork.com/gaya-hidup/4310846260 

Pukul 7 pagi, mentari pagi menyinari kota Bandung dengan ceria. Sama cerianya dengan hati anak-anak SMA kala itu. Hari itu adalah saatnya pengumuman kelulusan SMA, merupakan hari-hari terakhir di sekolah. Segala cerita selama 3 tahun bersekolah akan segera menjadi kenangan manis yang tersimpan di benak setiap anak SMA. PR yang banyak, bolos sekolah buat nonton, nyontek karena kepepet gak belajar semalam, dimahi guru, saling cinta antar teman sekelas, bahkan cerita sedih cinta bertepuk sebelah tangan, semua menjadi lembaran kenangan.

“Hai Delon, kamu dicari Pembina Osis sana, di ruang Pembina Osis, cepetan !” Rani agak berteriak dari seberang lapangan basket.

“Ohh…iya ok, aku segera kesana” Jawab Delon.

Delon berlari di teras kelas-kelas, sesekali dia membalas senyuman manis adik-adik kelas yang ngefans berat padanya. Delon banyak disukai adik-adik kelas, ada yang menyatakan langsung cintanya, berkirim surat cinta sembunyi-sembunyi, sering datang ke rumah jika malam minggu atau saat hari libur. Kadang Mamanya Delon agak heran jika malam minggu banyak cewek-cewek berkunjung ke rumah. Mama akan sibuk membuatkan minuman dan camilan.

“Delon, apa gak terbalik ya, cewek-cewek ngapelin kamu malam minggu ? kamu sendiri jadi gak bisa ngapelin pacarmu sendiri dong !” Kata Mama sambil senyum-senyum.

“Aku gak punya pacar Ma, aku kan anak baik-baik yang gak mau pacaran, bikin pusing dan boros.”

“Pacaran kadang menyenangkan tapi kadang seperti pujangga cinta yang hampir mati karena putus cinta.”

Jawab Delon sambil memeluk mama yang agak bengong mendengarkan celotehan anaknya.

Delon mengetuk pintu ruang Pembina Osis, sebuah jawaban tegas terdengar “Ya, siapa, silahkan masuk !”

“Selamat pagi Bu, Ibu panggil saya ya ?”

“Oh…iya Delon, sini silahkan duduk, sudah ibu tunggu dari tadi kamu !” senyuman berwibawa Pembina Osis menghipnotis Delon segera duduk di hadapan meja Pembina Osis.

“Kamu menjadi salah satu siswa teladan ya Delon, nanti kamu dipanggil berserta anak-anak teladan lainnya ke podium saat upacara kelulusan nanti.”

Mendengar hal itu Delon bersyukur dan berterimakasih pada Pembina Osis.

“Alhamdulillah kalau begitu Bu, saya juga mengucapkan terima kasih atas bimbingan Ibu kepada kami selama ini, saya mewakili teman-teman Osis.” Delon berkata sopan dan sedikit menundukkan kepala.

                                                                                                                                   ***

Sorak-sorai riuh rendah mengiringi tepuk tangan dari para siswa saat satu persatu para siswa teladan dipanggil ke depan podium Upacara Kelulusan diiringi lagu “Nuansa Bening”. Apalagi saat nama Delon dipanggil, ramai sekali teriakan siswi-siswi adik kelas kepada Delon.

Tak ada yang salah bila hati menaruh rindu

Rindu saling menggenggam hati dengan kata indah

Cinta tak bisa ditepis dengan tangis dan emosi

Apa daya hati yang terbuka oleh tatapan dalam penuh makna

Mengundang asa menuliskan bait-bait langkah mesra

Selesai penyematan Medali oleh Kepala sekolah, para siswa satu persatu menyalami para siswa teladan. Delon menerima ucapan selamat dari teman dan adik-adik kelas. Ada rasa haru melihat sinar mata teman dan adik kelas. Hari ini adalah hari terakhir melihat mereka, masih sama-sama berseragam SMA dan masih bisa becanda bersama. Terlalu banyak goresan cerita seru, sedih dan menyenangkan bersama mereka semua di setiap harinya di sekolah. Dinding tembok sekolah, rumput dan pepohonan di sekolah tentu menyaksikan kelakuan kami yang kadang nakal dan lucu-lucu, maklum masa pubertas dimana hormon kami sedang tumbuh subur. Kami bersemangat dalam banyak hal.

Beberapa adik kelas menangis saat bersalaman dengan delon, ada yang senyum-senyum malu, ada yang cemberut atau dengan ancaman kecil “Awas ya kak, jangan lupain aku !”

Delon faham betul mana mata-mata tulus yang suka padanya, mata penuh cahaya kasih sayang yang siap memberikan perhatian tulus padanya. Selama ini Delon memang tak menentukan pilihannya pada salah satu dari mereka, takut menyakiti diantara mereka. Apadaya jika gadis patah cinta maka akan berpengaruh pada semangat belajar mereka, mungkin prestasi mereka akan menurun. Belum lagi sikap benci akan tumbuh dan bisa balik memusuhi Delon. Delon sangat hati-hati dalam menyikapi perhatian mereka padanya. Cinta kadang tak selamanya harus berbalas karena cinta itu sikap ketulusan saling menerima berdasarkan anugerah Yang Maha Kuasa. Yang Maha Kuasa menanamkan benih cinta itu pada setiap hati, manusia tak akan sanggup menolak kehadiran cinta itu dalam hatinya.

Namun ada yang berbeda pada gejolak hati Delon sehabis Upacara Kelulusan itu. Di gerbang sekolah hatinya bergetar menerima sebuah tatapan mata indah dari seorang adik kelas sekitar 15m darinya. Hatinya berdegup tak karuan. Resonansi dari getaran gelombang elektromagnetic yang dipancarkan gadis itu membuat Delon sedikit jengah bergetar.

Seketika mulut kelu, langkah kaku dan hati membiru.

Delon merasakan hal aneh dalam hatinya, ini keduakalinya ia merasakan hal yang sama. Perasaan yang pertama kali dirasakannya dulu telah kandas. Yang kedua ini membuatnya takut, akankah berakhir bahagia atau kembali ia rasakan kesedihan yang sama. Gejolak cinta terkadang sebuah misteri yang tak bisa dipecahkan oleh nalar atau akal sehat. Meski Delon siswa Jurusan Fisika namun tak ada rumus baku yang bisa menyelesaikan soal-soal percintaan.

Dari kejauhan Dina memanggil Delon sembari tertawa kecil, “Kak….sini dong !”

Delon menghampiri Dina, gadis berkulit putih nan cantik. Pipinya kemerahan dengan rambut sedikit ikal. Tingginya sebatas kuping Delon. Dia bersama kedua temannya.

“Kak….ini hari terakhir ya kita ketemuan, besok-besok kita kesepian gak ada kakak.”

Dina tersenyum manja. Delon saat itu memandang Dina seakan takjub, biasanya dia tak merasakan hal itu jika bertemu Dina. Mengapa kini mata itu begitu mempunyai daya magnet, bibirnya ranum menggoda, suaranya bak simponi orkestra yang menggoda hati.

“Aduh….aduh….aku jatuh cinta lagi kini !”

Delon memberanikan diri meminta alamat rumah Dina, entah apa yang ada dalam pikiran Delon, diapun heran kenapa ia menanyakan alamat Dina. Seakan mulutnya tak sinkron dengan hatinya.

Dina menuliskan alamat rumahnya dalam lembaran buku agenda Delon.

“Jangan lupa sering main ke rumahku ya Kak !” Pinta Dina pada Delon.

“Pastinya kalau aku kebetulan lewat sana ya, tapi apakah tidak ada yang marah jika aku ke rumahmu ?” Delon menjawab seadanya sembari menunggu serius jawaban Dina.

“ya gak ada yang marah dong kak, justru aku senang kakak mampir main ke rumahku.” Dina sedikit tertawa menanggapinya.

Entah mengapa perasaan Delon saat itu sangat bahagia serasa diangkat beberapa Malaikat terbang diantara celah-celah gumpalan awan di langit biru yang cerah saat itu.

Aku masih ingat, pukul 11.00 siang hatiku bergetar berdegub kencang. Aku melihat semua ciptaan yang Maha Kuasa indah semua saat itu. Mungkin karena aku sedang mabuk oleh cinta, cinta yang membuat indah segalanya. Cinta yang bisa menghapus kesedihan menebarkan rasa tentram dan damai yang mempunyai keindahan tersendiri di hati manusia dan semua makhluk hidup.

                                                                                                                                     ***

Baru selesai Ayam Jantan lelah berkokok, embun pagi masih bergelayut manja pada pucuk dedaunan. Kabut masih mendekap erat Kota Bandung. Larik-larik sinar mentari pagi menembus celah dedaunan. Mataku nanar memandang ke arah kejauhan. “Aku mau kuliah dimana ya ?”

Ayahku menyarankanku Kuliah Jurusan Mesin, katanya akan mudah cari kerja. Tahun 90an perindustrian di Indonesia sedang pesat berkembang, setidaknya akan membutuhkan Sarjana Teknik Mesin yang cukup Banyak. Meski Aku tak keberatan dengan pilihan ayahku namun aku lebih minat kuliah jurusan Teknik Arsitektur. Sejak kecil aku sangat gemar menggambar, bahkan saat pelajaran gambar teknik di SMA aku kerap mendapatkan nilai istimewa dari guruku. Hasil karyaku akan dibawa berkeliling ke tiap kelas oleh guruku sebagai contoh gambar yang bagus dan baik kepada teman-temanku.

“Nanti akan aku pikirkan lagi mana yang bagus buatku, kuliah aku yang jalani maka pilihanku harus tepat agar bisa menyelesaikan perkuliahan dengan baik.”

Matahari telah berada tepat vertikal dari Kota Bandung, panasnya cukup terik. Es Kelapa Muda cocoknya untuk membasahi tenggorokan…hehe. Aku masukkan Surat ke Kantor Pos terdekat dari rumahku. Pasti bertanya surat untuk siapa kan ?

Aku layangkan surat untuk Dina, bukan surat cinta. Aku masih malu nyatakan cinta padanya, aku belum percaya diri. Meski banyak permintaan cinta dari gadis lain namun kepalaku tak otomatis membesar dan sombong. Buktinya akupun lemah, malu dan kelu lidahku tuk ucap cinta pada seseorang yang sangat aku cintai.

Amplop Harvest yang wangi dengan perangko kilat akan membawa lembaran goresan hatiku pada Dina. Cukup 2 hari sudah sampai ke rumah Dina. Rumah Dina masih bertetangga Kota dengan domisili Kotaku.

Pintu kamarku diketuk Mama pukul 02.00 siang. Aku masih setengah bermimpi membuka pintu. “ini ada surat dari Dina.” Kata mamaku sembari memberikannya padaku.

1000 asa berkecamuk dalam hatiku, ini surat pertama dari Dina. Dalam benakku bertanya-tanya, apa yang Dina tuliskan untukku. Kata-kata manis atau cacian atas ketidaktahuan diriku. Kubuka amplop surat itu dengan hati-hati diiringi hatiku yang dag dig dug. Tulisannya sangat rapi dan bagus, maklum tulisan cewek cantik. Kata-katanya sangat baik tertata pada kalimat-kalimat indah. Surat itu memberikan kesan bahwa Dina senang menerima suratku dan antusias membalasnya. Sekilas hatiku bertanya pada diri sendiri, kapan aku berani nyatakan cintaku pada Dina. Seakan ada bayang tembok besar yang menghalangi hasratku, tapi aku tak faham apakah itu ?

Aku banyak membaca buku-buku agama dan filosofi kehidupan. Kadang cerpen roman dan kisah nyata kehidupan sering aku baca, di sela-sela jam perkuliahan. Cinta itu butuh persamaan dalam segala hal. Persamaan derajat, harta, kedudukan dan lainnya. Jika ada persamaan maka cinta akan mendapatkan pondasi yang kokoh. Setiap pasangan akan saling hargai dan saling cinta. Jika perbedaan yang ada maka cinta sering dipaksakan bahagia berbarengan dengan ejekan, sindiran atau bahkan hinaan pada pasangan. Nah, itu sakit ! Luka pada hati akan membekas lama bahkan sulit melupakannya.

Hari-hari kehidupan berjalan sesuai TakdirNya. Manusia hanya menjalani perannya yang sudah digariskan Yang Maha Kuasa. Kita tak dapat memilih sisi kehidupan yang kita sukai. Sisi kehidupan yang sudah Alloh tetapkan pada kitalah yang harus kita adaptasi sebaik mungkin, suka atau tidak suka.

                                                                                                                                 ***

AKu berjalan pada koridor antar Bangsal Rumah Sakit, hatiku was-was dengan keadaan Mama yang sudah beberapa bulan sakit. Kini Mama terpaksa diopname agar lebih terpantau sakitnya. Ayahku masih sibuk Dinas Militer dan kini sering latihan perang bersama para prajurit bawahannya. Kadang tengah malam larut Ayahku baru pulang. Mama terdiagnosa sakit Radang Usus. Mama tidak bisa makan teratur kini, mulutnya terasa pahit dan sakit tulang belakang. Sesekali kami anak-anak bergantian memijat badan Mama. Jika sakitnya sudah tidak tertahan, kami panggil Dokter Keluarga untuk injeksi tulang belakang Mama dengan obat penahan sakit.

Aku memandang ke luar, melihat taman di samping Paviliun Rawat Inap. Rerumputan begitu menghijau dihiasi bunga berwarna keunguan. Sesekali terlihat para suster lewat membawa keranda jenazah di koridor antar bangsal. Tak terbayang di batinku jika kematian akan menjemput Mamaku, aku hanya berfikir jika Mama sembuh nanti aku akan menjaga Mama untuk menjaga Menu dan pola makan yang sehat.

Hari ini sepulang kuliah aku sempatkan menengok kembali Mama di Rumah sakit, aku berharap Mama lebih membaik kesehatannya. Memasuki paviliun semerbak wangi karbol dan obat-obat memenuhi udara ruangan. Ini pukul 05.00 sore,  pasien yang lain pun banyak yang dikunjungi teman dan keluarga, ini masih jadual besuk pasien soalnya. Dari balik pintu besar Rumah Sakit peninggalan Belanda aku mengintip Mama yang sedang terbaring. Sepertinya Mama sedang terbangun, aku masuk perlahan dan menyapa Mama.

“Delon dari mana, pulang kuliah ?” Tanya Mama lirih padaku.

“Iya Ma, dari kampus aku langsung kemari, lihat Mama. Mama gemana rasanya sekarang, agak mending kah sakitnya ?” Tanyaku pada Mama sembari memperhatikan  raut wajah Mama yang memperhatikanku.

“Mama sudah agak mendingan tapi masih lemas badannya.”

Lama kami berbincang-bincang, membicarakan segalanya dengan perlahan. Mama sangat khawatir pada anak-anak, takut anak-anak tidak terurus. Maklum Mama adalah segalanya bagi kami. Kami dirawat sejak kecil oleh Mama dengan penuh tanggungjawab dan rasa kasih sayang. Meski kami keluarga Tentara yang hidup menengah namun kami mensyukuri segalanya. Kami saling perhatikan satu dengan yang lainnya.

Sebelum berangkat kuliah tadi aku mendapatkan surat dari Dina, belum sempat kubaca karena aku takut terlambat kuliah. Aku buka surat Dina, Mamaku bertanya surat dari siapa, aku menjawab surat dari Dina. Mamaku hanya tersenyum tak berkata-kata.

Sebelumnya aku menyurati Dina, aku ungkapkan ingin bertemu dengannya. Hatiku suntuk lelah dengan keadaan Mama. Namun aku tak menceritakan sakit Mama pada Dina. Aku enggan jika Dina kasihan padaku. Aku hanya ingin berbincang dengan Dina, melepaskan sejenak kegalauan dan kecemasanku.

Dalam surat itu Dina bilang tak bisa bertemu denganku, ia ada acara menyambut kedatangan sahabatnya dari Jakarta. Dulu Dina memang pernah tinggal lama di Jakarta. Dina bahkan berkelakar padaku,

“Kakak jangan bingun dong, masa orang pinter bingun….hehehe, maaf kak aku gak bisa ketemuan. Ada sahabat datang dari Jakarta mau ketemu Dina !”

Wajar bila Dina tak tanggapi serius permintaanku, dia tak tahu jika Mama sedang sakit. Akupun menjadi penasaran dibuatnya, siapakah sahabat Dina itu ? Jangan-jangan cowok atau pacarnya.

Hatiku sangat sedih kala itu, antara bingung, galau dan cemburu tak jelas. Mungkin Mama memperhatikan wajahku yang sedih. Naluri Mama biasanya sangat tajam turut merasakan kesedihan anaknya. Kesibukan para suster yang membawakan makan untuk pasien, obrolan para penjenguk pasien serasa tak ada bagiku. Semua seakan sunyi sepi bagai gedung tua itu kosong tak pernah dihuni. Nanar mataku melihat orang-orang satu persatu namun tak bisa menghibur hatiku.

Surat itu aku lipat kembali dan dimasukkan dalam amplop semula. Aku selipkan di map perkuliahanku.

Tiba-tiba hatiku bergumam pada diriku sendiri,

“Aku ini hanya apa, lelaki biasa yang jauh dari penilaian sempurna di mata orang, ketika orang bilang aku bak Bunga Flamboyan namun aku merasa bak bunga Melati diantara semak belukar di puncak gunung nan sunyi. Aku jauh dari berkecukupan untuk membahagiakan atau membuat takjub seseorang. Tak bisa dipungkiri jika orang tak mengistimewakan kepribadian yang baik namun lebih melihat sempurna harta dan kedudukan seseorang. Mungkin aku harus tetap menjadi ilalang kering sebagai atap yang bisa melindungi orang dari hujan dan terik matahari. Atau menjadi ilalang yang bergoyang tertiup angin menghibur hati seseorang yang sedang menyendiri karena sedih. Aku belum saatnya bahagia kini !”

                                                                                                                                         ***

Jantung Mama sudah membengkak, nafas tersengal-sengal, Mama hanya bisa terpejam di pembaringannya. Dokter ahli sudah mendiagnosa Mama terkena Leukemia. Aku sangat kaget mendengarnya dan terasa lemas badanku. Semua ketakutanku kini ada di pelupuk mataku, seakan semuanya segera akan terjadi.

Ayahku segera mengabari semua sanak saudara dan menceritakan segalanya tentang keadaan Mama. Kami bergantian menjaga Mama yang dalam keadaan kritis setiap malamnya. Kami hanya mampu berdoa dan tak bisa lakukan hal yang lebih untuk Mama, semua kami serahkan pada Team Dokter yang tangani Mama.

Semua sudah TakdirNya, pukul 10.35 malam Mama meninggalkan kami semua untuk selamanya. Tangis kakaku yang sulung menyambut kedatangan jenazah Mama di rumah. Ayahku tak menangis, mungkin beliau masih kaget. Selang beberapa saat ayahku pun mengeluarkan air mata cinta dan sayangnya buat Mama. Aku memperhatikan semua keadaan itu, meski hatiku hancur tak karuan namun aku tak bisa menangis. Aku faham betul keadaan Mama sebelumnya dan kedekatanku dengan Mama. Aku menerima semua takdir ini dalam bagian perjalanan hidupku.

1 minggu pemakaman Mama, surat Dina sampai di rumahku. Dina menceritakan bahwa dia tahu khabar kematian Mama dari temanku. Dia ceritakan turut berduka cita, dia juga ceritakan musibah yang menimpa kamarnya di lantai 2 rumahnya yang terbakar, entah sumber api dari mana. Aku membacanya dengan hati yang dingin dan tak mau melibatkan perasaan cintaku lagi pada Dina. Bukan aku sakit hati atau kecewa pada sikap Dina namun aku memandang peristiwa ini adalah pembelajaran bagi kedewasaan hati dan naluriku.

Aku pun tak membalas lagi surat Dina sejak itu.

Hatiku terombang-ambing riak gelombang biru

Terhempas bersama buih dan sampah di pesisir pantai abu-abu

Aku tak mengenal lagi cinta nan indah dipaksa tak bicara karena kelu

Aku lepaskan genggaman putri dengan perasaan malu

Hingga kapan aku simpan cerita itu akupun tak tahu

 

Aku terpaku dalam pelukan kelam jelaga malam

Membuang kenangan berharap 1000 diam

Sinar bintang malampun tak bisa terangi sedihku yang dalam

 

Silouet jingga fajar pagi menghapus resah

Rintik hujan semalam membekas pada rumput basah

Doaku akan menghapus semua cerita susah

Cintaku tergores pada lembaran-lembaran kisah

Kemuliaan hidup ikhlas pada kata pasrah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun