“Delon dari mana, pulang kuliah ?” Tanya Mama lirih padaku.
“Iya Ma, dari kampus aku langsung kemari, lihat Mama. Mama gemana rasanya sekarang, agak mending kah sakitnya ?” Tanyaku pada Mama sembari memperhatikan raut wajah Mama yang memperhatikanku.
“Mama sudah agak mendingan tapi masih lemas badannya.”
Lama kami berbincang-bincang, membicarakan segalanya dengan perlahan. Mama sangat khawatir pada anak-anak, takut anak-anak tidak terurus. Maklum Mama adalah segalanya bagi kami. Kami dirawat sejak kecil oleh Mama dengan penuh tanggungjawab dan rasa kasih sayang. Meski kami keluarga Tentara yang hidup menengah namun kami mensyukuri segalanya. Kami saling perhatikan satu dengan yang lainnya.
Sebelum berangkat kuliah tadi aku mendapatkan surat dari Dina, belum sempat kubaca karena aku takut terlambat kuliah. Aku buka surat Dina, Mamaku bertanya surat dari siapa, aku menjawab surat dari Dina. Mamaku hanya tersenyum tak berkata-kata.
Sebelumnya aku menyurati Dina, aku ungkapkan ingin bertemu dengannya. Hatiku suntuk lelah dengan keadaan Mama. Namun aku tak menceritakan sakit Mama pada Dina. Aku enggan jika Dina kasihan padaku. Aku hanya ingin berbincang dengan Dina, melepaskan sejenak kegalauan dan kecemasanku.
Dalam surat itu Dina bilang tak bisa bertemu denganku, ia ada acara menyambut kedatangan sahabatnya dari Jakarta. Dulu Dina memang pernah tinggal lama di Jakarta. Dina bahkan berkelakar padaku,
“Kakak jangan bingun dong, masa orang pinter bingun….hehehe, maaf kak aku gak bisa ketemuan. Ada sahabat datang dari Jakarta mau ketemu Dina !”
Wajar bila Dina tak tanggapi serius permintaanku, dia tak tahu jika Mama sedang sakit. Akupun menjadi penasaran dibuatnya, siapakah sahabat Dina itu ? Jangan-jangan cowok atau pacarnya.
Hatiku sangat sedih kala itu, antara bingung, galau dan cemburu tak jelas. Mungkin Mama memperhatikan wajahku yang sedih. Naluri Mama biasanya sangat tajam turut merasakan kesedihan anaknya. Kesibukan para suster yang membawakan makan untuk pasien, obrolan para penjenguk pasien serasa tak ada bagiku. Semua seakan sunyi sepi bagai gedung tua itu kosong tak pernah dihuni. Nanar mataku melihat orang-orang satu persatu namun tak bisa menghibur hatiku.
Surat itu aku lipat kembali dan dimasukkan dalam amplop semula. Aku selipkan di map perkuliahanku.