“Di seat depan ya mbak. Silahkan.” Dia meletakkan tas di seat paling depan, di belakang pengemudi. Kebetulan itu tempat favorit kalau Marta sedang naik bus.
Dari dalam bus Marta masih sempat melihat Irin berlari-lari entah apa yang dicarinya.
“Tu lihat mbak, bener kan saya bilang. Dia langsung setor ke ibunya. Dasar badak betina pemeras. Dulu dia wanita peliharaan Kepala Terminal.”
“Irin bapaknya ada di terminal juga ?”
“Sudah mati. Dulu, bapaknya Kepala Terminal. Namanya Kasairin. Tapi dia, orangnya terlalu rakus, sombong, penjilat dan tukang fitnah. Akhirnya dikeroyok dan digebukin oleh orang banyak, hingga mati mengenaskan. Lehernya hampir putus, kepalanya pecah. Sekarang anaknya sengaja dibiarkan hidup bebas di terminal. Oleh orang-orang, anak itu dipanggil Irin, sebagai pengingat kelakuan bapaknya yang tidak punya akhlak, Kasairin.”
Marta hanya bisa terpana mendengar cerita yang cukup panjang itu. Matanya sendu menatap Irin, seorang anak tanpa dosa, terlahir tidak sempurna, dijadikan sebagai monumen peringatan atas kerusakan akhlak bapaknya.
“Sangat kejam,” bisiknya dalam hati.
Tidak terasa tangan Marta perlahan mengeluarkan selembar sapu tangan dari dalam tas, dan menahan air mata yang mengalir menuruni pipinya, yang sudah benar-benar lengket dan berminyak.
Letupan knalpot bus yang ditumpangi Marta membuyarkan angan-angannya yang terlanjur tinggi melambung. Bus mulai merayap sebelum kemudian melaju cepat, meninggalkan Irin yang entah sampai kapan dia harus memainkan perannya.
(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H