“Iya, dari kecil dia hidup di terminal. Memang kasihan sih….”
“Dibuang orang tuanya ?”
“Bukan dibuang mbak. Tapi tidak diurus.”
“Oh, kalau gitu orang tuanya ada dong.”
Dia tidak menggubris, tiba-tiba sorot matanya berubah seperti melihat sesuatu yang menakutkan. Bola matanya berputar-putar tertuju ke berbagai arah. Lantas meracau entah apa yang dia katakan. Itu tidak terlalu penting bagi Marta.
Udara dingin belum berhenti menusuk-nusuk tulang. Satu dua kios sudah mulai membuka rolling door. Marta merogoh saku jaketnya, mengeluarkan selembar uang, lalu menyodorkannya ke Irin yang berada tidak jauh dari dirinya. Irin langsung meraihnya, dan secepat kilat dia berlari menjauh.
“Langsung setor dia….”
“Setor ? Ke siapa ?” Tanya Marta.
“Ke ibunya mbak, dia punya ibu, meskipun tidak mau mengurusnya.”
“Ibunya di terminal juga ?”
“Mbak, itu busnya sudah masuk. Ayo saya bantu.” Tidak perlu menunggu persetujuan dan setengah memaksa, awak bus itu dengan sigap langsung menggamit tas ransel Marta. Tidak bisa menolak, setengah berlari Marta pun patuh mengikuti.