Harusnya  nyoblos pertama menjadi pengalaman yang indah bagi setiap lelaki bukannya menjadi trauma seumur hidup yang membuat enggan untuk mencoblos hingga akhirnya memilih untuk menjomblo seumur hidup. Semua ini karena Ayah!
Setelah membaca tulisan ini mungkin kalian semakin yakin kalau  saya diendorse oleh salah satu klinik kecantikan karena selalu terlihat  awet muda padahal aslinya sudah tua.
Bagaimana tidak tua, saya pernah mencoblos di pesta demokrasi  era orde baru. Kala itu saya duduk di kelas tiga SMU dan baru ganjil (bukan genap)  berusia 17 tahun. Sebagai anak muda dengan rasa ingin tahu yang besar akan coblos mencoblos saya begitu bersemangat mengikuti pemilihan umum.
Sebagai pemilih pemula tentulah kami diberikan "treatment" khusus oleh pemerintah melalui penyuluhan di sekolah sampai di lingkungan sekitar  rumah.Â
Treatment?
Iya konon maksudnya agar tidak salah nyoblos ke kanan atau ke kiri, fokus di tengah. Iya di tengah.
"Maklum anak muda Bro belum pengalaman. Jadi bisa saja salah pilih." Begitulah kira-kira kata orang-orang di sekitar saya.
"Memang kalau salah nyoblos ke kanan atau ke kiri kenapa?", tanya saya kritis.
"Ya nggak apa-apa sih tapi alangkah baiknya tetap di tengah, nomor dua dari kiri dan nomor dua dari kanan. Itu lho yang gambar pohon beringin yang mengayomi banyak orang."
Ayah dan Ibu tidak pernah memaksa saya untuk memilih nomor berapa tapi  Bapak  meminta saya untuk datang ke acara pengarahan pemilu di kantornya. Lumayan doorprize utamanya mesin cuci dan hiburannya artis dangdut papan atas Elvie Sukaesih.
Sebetulnya acara ini cukup berlebihan untuk  pengarahan pemilu yang pesertanya hanya ratusan orang. Bayangkan seluruh peserta disediakan makan siang dan snack gratis ditambah merchandise berupa handuk cantik.
 Jumlah door prize yang dibagikan lumayan banyak, hanya orang orang kurang beruntung yang tidak dapat. Saya salah  satu peserta yang kurang beruntung karena yang tidak mendapatkan doorprize yang jumlahnya puluhan. Belakangan saya sadar bahwa sebetulnya ini kampanye terselubung salah satu partai yang pro pemerintah.
Tapi sudahlah selama dapat makan gratis ataupun serangan fajar yang penting saya memiliki hak suara dan tidak tergadai.
Nyoblos Pertama
Hari yang dinanti itu akhirnya tiba, saya sudah siap mencoblos dengan segenap keyakinan. Walau beberapa temen pemilih pemula deg-degan ketika melihat bilik suara.
"Memang di dalam situ ada apa?"
"Meja... dan paku..."Â
"Kok kamu tahu?"
"Lah Bapak aku kan panitia jadi kemarin sempat mengintip pas persiapan."
"Yakin nggak ada kamera?"
"Eh pemilu kan LUBER (Langsung, Â Umum, Bebas dan Rahasia), jadi kerahasiaan pilihan pasti dijamin."
Sebetulnya jauh sebelum PEMILU pertama saya sudah pernah masuk bilik suara, yang kalau jaman dulu beneran bilik triplek dengan gorden panjang menjuntai, mirip kamar kos-kosan atau WC umum. Waktu ibu saya menemani ibu untuk mendapatkan haknya mencoblos. Saat beliau akan masuk bilik suara, saya tidak mau ditinggal dan menangis sejadi-jadinya. Kalau orang tua jaman sekarang bilang tantrum, nangis kejer sambil kelosotan di lantai.
Akhirnya dengan berat hati ibu mengajak saya masuk bilik suara untuk mencoblos. Jadi aku tuh nggak kaget lagi soal bilik suara yang konon sakral banget. Cuma gitu doang Bro! Nggak ada kursi apalagi ranjang, jadi nyoblosnya pakai gaya berdiri bukan ngangkang apalagi nungging.
Pemilu pertama ini  lebih terasa seperti kondangan dibandingkan pesta demokrasi. Bayangkan sebelum mencatatkan  diri ke meja registrasi peserta diberi sekotak makanan rinag. Jadi sambil menunggu giliran nyoblos kami ngemil manja. Dan usai pencoblosan peserta diberikan sekotak nasi lengkap berisi lauk pauknya dan buah.
Ketika saya ceritakan kejadian ini di sekolah beberapa teman saya di sekolah bahwa TPS di dekat rumah saya sebaik ini.
"Mungkin karena kamu anak panitia, jadi diberi makanan. Sebetulnya itu jatah Bapak kamu", tuduh teman saya.
"Eh nggak, semua orang dapat nasi kotak dan snack kok."
"Kok bisa ya? Kami memilih di kelurahan hampir mati kehausan karena panas dan mengantri", protes teman saya.
"Semua tergantung amal dan perbuatan..."
Teman saya langsung melengos sambil matanya melotot bete'. Belakangan saya baru tahu bahwa TPS saya berada di komplek perumahan perusahaan BUMN yang tentu saja pro pemerintah. Jadi apapun alasannya semua pemilih harus bahagia atas biaya kantor, termasuk sosialisasi pemilih bertabur hadiah dan artis ibukota.
Sampai sini ngerti kan?
Hasil Pemilu Mencengangkan
Selesai pencoblosan saya langsung pulang ke rumah dan kembali lagi ke TPS jelang penghitungan suara tapi belum sampai ke sana proses perhitungan sudah selesai dan semua panitia kembali ke rumah masing-masing.
Begitu melihat garis-garis di papan tulis hasil perhitungan suara saya kecewa. Ya kecewa sebagai warna negara karena suara saya tidak diperhitungkan sama sekali. Bayangkan jika kamu memilih nomor satu atau nomor tiga tapi nyatanya suara nomor 2 seratus persen. Siapa yang salah? Saya yang berbeda atau mereka yang tidak ingin ada perbedaan.
Saya tidak pernah membahas ini kepada siapapun hingga pemilu berikutnya yang ternyata tidak lima tahun kemudian tapi dua tahun kemudian. Waktu itu saya, Bapak dan Ibu membahas iklim politik Indonesia yang tidak selinier dulu. Begitu banyak pilihan partai sampai kartu suara lebih mirip iklan bari surat kabar dibandingkan kartu suara.
"Pak... Pilih apa?" Ibu membuka percakapan.
"Rahasia dong. Kan LUBER?" Jawab Bapak singkat.
"Kok Rahasia. Udah ngomong aja" , kata Ibu sambil tersenyum.
"Lihat saja hasilnya aku pilih yang menang." Jawab Bapak Pede.
"Halah... Dulu pas Bapak jadi panitia aku pilih nomor tiga eh nomor dua yang seratus persen."
"Hah ibu nomor tiga? Aku nomor satu lho tapi kenapa 100% persen?" Menatap Bapak.
"Ah itu beda jaman daripada nggak aman semua harus beringin." Bapak tersenyum.
"Tuh kan curang." Â Protes saya.
"Iya Bapak curang." Ibu ikutan protes.
"Kok kalian protesnya nggak kemarin-kemarin?" Tanya Bapak.
"Aslinya pengen protes tapi nggak kewetu", jawab Ibu.
"Kalau saya pilih nomor satu bukan simpatisan bintang cuma tes ombak. Benar nggak sih kata orang-orang bahwa semua harus nomor dua.
"Nyatanya?" Ibu bertanya.
"Ya gitu deh..." Saya sambil tersenyum.
Lalu apa yang terjadi dengan pemilu-pemilu selanjutnya di negeri ini. Apakah masih ada yang curang? Kecurangan sih pasti ada tapi tidak seekstrim dulu. Yang jelas siapapun yang kalah pasti akan merasa dicurangi. Itu normal kok namanya juga manusia, apalagi kalau sudah keluar modal banyak dan punya ambisi besar.Â
Lalu  yang menang bakal adem ayem walaupun dicurangi. La iyalah dicurangi saja menang apalagi enggak. Ngana pikir?
Setelah beberapa kali menggunakan hak pilih di negeri ini  banyak pelajaran yang saya dapatkan  yaitu  dalam politik kecurangan dapat dibuat oleh siapa saja. Jadi rasanya tidak ada partai politik di negeri ini mengaku bebas curang dan benar-benar bersih.Â
Kalau partai politik itu bersih maka dijamin kadernya tidak ada yang tersangkut kasus korupsi. Lagian menyebarkan kebohongan untuk memberikan citra negatif  kepada pihak lawan salah satu bentuk kecurangan. Mengumbar janji dan tidak ditepati juga bentuk kecurangan.
Kecurangan itu soal kesempatan saja, mereka yang memiliki kesempatan lebih besar akan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Saya rasa tidak perlu bicara banyak soal ini, dari pengalaman pemilu pertama saya semua sudah terpapar nyata. Bagaimana manufer kecurangan politik yang masif dan terstruktur terjadi di rezim yang berkuasa lebih dari 32 tahun.
Tapi orang Indonesia tidaklah bodoh, kita tidak akan jatuh dua kali di lubang yang sama. KPU dibentuk agar sejarah lama tidak terulang kembali.
Jadi jika ada yang bilang bahwa PEMILU 2019 adalah pemilihan umum terburuk di Indonesia, mungkin harus pergi ke masa lalu dengan mesin waktu ke orde baru. Bagaimana kawasan basis pendukung bukan nomor dua diganjar mati lampu dan mati air usai melakukan kampanye besar-besaran.Â
Contoh paling nyata adalah saya. Sebagai anak bangsa yang baru mendapatkan kesempatan nyoblos pertama kali harus kecewa karena kecurangan yang masif dan terstruktur.
Tapi apakah saya kapok? Oh tentu tidak tapi saya akan lebih objektif melihat kecurangan. Sesungguhnya kita bisa menuduh orang lain curang jika memiliki bukti dan fakta yang kita lihat sendiri bukan kata orang apalagi kata media sosial.Â
Jika kamu memiliki pengalaman serupa silakan berbagi di kolom komentar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H