"Kok kalian protesnya nggak kemarin-kemarin?" Tanya Bapak.
"Aslinya pengen protes tapi nggak kewetu", jawab Ibu.
"Kalau saya pilih nomor satu bukan simpatisan bintang cuma tes ombak. Benar nggak sih kata orang-orang bahwa semua harus nomor dua.
"Nyatanya?" Ibu bertanya.
"Ya gitu deh..." Saya sambil tersenyum.
Lalu apa yang terjadi dengan pemilu-pemilu selanjutnya di negeri ini. Apakah masih ada yang curang? Kecurangan sih pasti ada tapi tidak seekstrim dulu. Yang jelas siapapun yang kalah pasti akan merasa dicurangi. Itu normal kok namanya juga manusia, apalagi kalau sudah keluar modal banyak dan punya ambisi besar.Â
Lalu  yang menang bakal adem ayem walaupun dicurangi. La iyalah dicurangi saja menang apalagi enggak. Ngana pikir?
Setelah beberapa kali menggunakan hak pilih di negeri ini  banyak pelajaran yang saya dapatkan  yaitu  dalam politik kecurangan dapat dibuat oleh siapa saja. Jadi rasanya tidak ada partai politik di negeri ini mengaku bebas curang dan benar-benar bersih.Â
Kalau partai politik itu bersih maka dijamin kadernya tidak ada yang tersangkut kasus korupsi. Lagian menyebarkan kebohongan untuk memberikan citra negatif  kepada pihak lawan salah satu bentuk kecurangan. Mengumbar janji dan tidak ditepati juga bentuk kecurangan.
Kecurangan itu soal kesempatan saja, mereka yang memiliki kesempatan lebih besar akan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Saya rasa tidak perlu bicara banyak soal ini, dari pengalaman pemilu pertama saya semua sudah terpapar nyata. Bagaimana manufer kecurangan politik yang masif dan terstruktur terjadi di rezim yang berkuasa lebih dari 32 tahun.
Tapi orang Indonesia tidaklah bodoh, kita tidak akan jatuh dua kali di lubang yang sama. KPU dibentuk agar sejarah lama tidak terulang kembali.