Mohon tunggu...
Agustinus Danang Setyawan
Agustinus Danang Setyawan Mohon Tunggu... Guru - Guru

Wulangen lakumu, lakoni piwulangmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Panggilan Hidup Guru: Anti Hoaks Sang Pendidik

8 November 2017   08:32 Diperbarui: 8 November 2017   09:45 1403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekapur Sirih

Seorang guru bercerita kepada muridnya, "Ada seorang penggembala yang ketakutan karena dikejar singa. Karenanya, ia lari mencari perlindungan. Dalam pelariannya, ia menemukan sebatang pohon besar dan memanjatnya. Singa tahu tempat persembunyiaan itu dan menggoyangkan pohon tersebut sekuat tenaga. Karena panik, si penggembala jatuh tepat di punggung singa. Dipegangilah leher singa itu dengan erat supaya ia tidak terjatuh dan dimakan singa. Karena tercekik, singa itu meronta dan lari sembari menggendong si penggembala. Ketika singa itu lari masuk ke desa, orang-orang terheran-heran. Seseorang mengatakan bahwa penggembala itu hebat karena mampu menjinakkan singa buas untuk dijadikan peliharaannya. Sementara orang yang lain menghardik kesombongan si penggembala karena tak mau menyapa warga." Sang guru menghela nafas dan bertanya, "Apakah kebenaran itu?"

Cerita sang guru hanyalah sebatas rangsangan supaya makna 'kebenaran' dapat ditelaah dengan tepat. Kebenaran dalam cerita tentunya menjadi sangat ambigu jika hal tersebut dipahami dari berbagai sudut pandang. Akan muncul pertentangan dari masing-masing tokoh mengenai benar salahnya sebuah perkara. Seseorang akan menafikkan yang lain dan menganggapnya sebagai kebohongan. 'Kebenaran' menurut seseorang akan menjadi kebohongan (hoax) pihak yang lain.

Dalam konteks kehidupan sehari-hari, hoax adalah pemberitahuan palsu, yaitu informasi yang sesungguhnya tidak benar tetapi dibuat seolah-olah benar adanya. Setiap orang yang tidak memiliki data/informasi yang jelas dan akurat, biasanya akan berapriori. Kecenderungan yang terjadi, orang akan mudah terpengaruh oleh sesuatu yang 'benar' hanya menurut kaca matanya saja. Proses klarifiasi data untuk menemukan data yang valid tidak akan pernah terlaksana. 'Kebenaran' pun menjadi semu. Maka, pertanyaannya adalah "apakah kebenaran hakiki itu?"

Sang guru menjawabnya, "Kebenarannya adalah bahwa cerita itu hanyalah sepotong kebohongan saja!"

Berdasarkan analogi tersebut, artikel ini hendak memaparkan sebuah pemahaman tentang hoax atau ketidakbenaran dari sudut yang berbeda. Selama ini, hoaxatau tidaknya sesuatu sebatas dilihat dari perbandingan konten dengan nilai-nilai moralitas yang berlaku umum. Tetapi pada kesempatan ini, kebenaran dan ketidakbenaran (hoax) akan dicerna secara lain melalui pendekatan eksistensial[1] seorang 'Guru' dalam pendidikan formal. Secara eksplisit, perkembangan karakter kepribadian guru dan murid akan senantiasa terkait dengannya. Maka, mau dikatakan apakah nantinya keberadaan kepribadian guru itu menjadi hoax/ancaman bagi perkembangan karakter murid atau tidak.

Akar Permasalahan

Kebenaran yang diwartakan atau diajarkan dalam dunia pendidikan dapat diidentifikasi melalui dua hal. Yang pertama adalah konten pengajaran yang (harus) benar sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan dan yang kedua adalah pribadi (guru) yang membawakan kebenaran itu dalam proses pembelajaran. Kebenaran sebuah konten pembelajaran dapat secara langsung diverifikasi kesahihannya. Tetapi, soal karakter atau kepribadian guru, yang harus selalu 'dibawa' dalam proses pembelajaran, harus selalu diolah. Menjadi guru yang berkarakter-baik itu tidak semudah membuat hafalan. Maka, sepandai-pandainya guru dalam menguasai konten pembelajaran, jika tidak dibarengi dengan kemampuan mengolah karakter diri, guru itu menjadi hoax dalam dirinya sendiri.

Menjadi guru adalah sesuatu yang istimewa karena yang dihadapi setiap hari adalah manusia yang istimewa pula. Peserta didik bukanlah setumpukkertas putih[2] yang bisa dicorat-coret begitu saja. Mereka bukan data mati tetapi adalah pribadi-pribadi yang memiliki entitas dan cara pandang unik. Mereka mempunyai potensi menjadi seperti yang mereka mau. Mereka memiliki daya nalar untuk berpikir maju sekaligus daya refleksi untuk mengambil jarak dan makna dari suatu yang mereka lalukan.

Menjadi seorang guru yang istimewa tidaklah cukup hanya dengan menjadi profesional[3] di bidangnya. Seorang guru harus memiliki semangat magis, yaitu menjalankan sesuatu lebih dari sekedar menjalankan tupoksinya. Seluruh jati diri atau entitasnya pun turut serta menjadi satu bagian dalam proses pembelajaran tersebut. Seluruh harkat dan martabat pribadinya hadir bersama dalam proses pembelajaran bersama para murid. Itulah mengapa proses ini disebut 'mendidik' bukan sekedar transfer ilmu.

Dalam proses mendidik itulah, guru menghadirkan seluruh integritas, karakter, jati diri, kedewasaan, kebijaksanaan, dan nilai-nilai hidup yang telah dihayatinya.  Maka, seorang guru akan menjadi hoax bagi murid jika tatanan moralitas hidupnya berkebalikan dengan konten moralitas yang sedang diajarkannya.

Kehadiran guru haruslah mampu memberi inspirasi positif bagi para murid. Jika tidak, itulah yang disebut ironi pendidik dan pendidikan. Kira-kira, apakah para murid mampu menangkap/memahami nilai kejujuran yang ditawarkan dalam proses pembelajaran jika seandainya ada oknum guru yang membuatkan kunci soal UN?

Apakah para murid akan mengamini makna kedisiplinan yang diajarkan oleh guru yang tak pernah on time masuk ke kelas? Masih ingatkah tentang kasus seorang guru yang mengirim gambar porno kepada salah satu muridnya? Inilah yang disebut kontradisksi. Guru mengajarkan kebaikan sekaligus memberi contoh keburukan melalui hidupnya. Dengan kata lain, apa yang diajarkan tidak selaras dengan apa yang menjadi penghayatan nilai-nilai hidupnya. Dalam arti inilah, guru hanya akan menjadi hoax dan penghalang tumbuhnya karakter atau kepribadian baik dalam kehidupan muridnya.

Dampak Negatif Kebohongan Diri

Perlu di-review lagi bebarapa hal berikut ini. Pertama, kesalahan penalaran yang tanpa disertai verifikasi intelektual adalah kebohongan. Kedua, ketidakkonsistenan antara perkataan dan perbuatan pendidik adalah kebohongan. Ketiga, tanpa keteladanan dari pendidik, pengajaran menjadi tak berarti. Dan yang keempat, tanpa totalitas, pendidik akan jatuh pada rutinitas yang menjemukan. Maka, semua kebohongan yang berawal dari ketidakmampuan seorang pendidik dalam mengolah karakternya, menjadikannya sebagai hoaxdalam dirinya.

Dampak langsung dan tidak langsung pun dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi murid dan sisi guru yang bersangkutan. Keunikan proses pembelajaran itu ada pada proses relasi antara guru dan murid. Selain pengetahuan yang hendak ditawarkan, murid juga akan melihat, mencontoh, membandingkan, menyimpulkan dengan sendirinya karakter dan pembawaan diri gurunya. Keteladanan merupakan kata kunci yang penting dalam hal ini.

Jika ada perbedaan nilai hidup antara yang ditawarkan dan yang diaktualkan oleh guru, murid akan melihatnya sebagai ketidakkonsistenan antara perkataan dan perbuatan. Proses keteladanan akhirnya menjadi tidak urgent dan murid akan kehilangan kendali atas perkembangan karakter dirinya. Bagi guru yang bersangkutan, keadaan ini akan semakin mengasingkan dirinya dengan 'predikat' pendidik yang sedang diembannya. Apa yang dilakukan guru bisa jadi akan jatuh pada rutinitas saja kemudian menjadi sesuatu yang menjemukan dan kering. Suatu saat, mengajar menjadi tidak penting lagi. Ironis. Pertanyaannya, apakah nantinya guru akan mampu menjalani falsafah hidup Ki Hajar Dewantara: Ing ngarso sung tuladha, Ing madya mangung karso, Tut wuri handayani yang selama ini dibanggakan?

Cakrawala Baru

Kepribadian adalah keseluruhan cara seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu lain. Kepribadian merupakan sesuatu yang dapat berubah atau berkembang. Dengan demikian ingin dikatakan bahwa kepribadian seseorang itu tumbuh dan mengalami perubahan setiap saat. 

Dalam kasus yang menjadi sudut pandang artikel ini, maka cara mengedukasi yang paling tepat adalah menampakkan seluruh karakter diri, jati diri, keyakinan, dan integritas nilai-nilai hidup guru dalam proses pembelajaran dengan jujur. Maka dengan sendirinya, murid akan meneladani guru yang bersangkutan. Dengan adanya proses meneladan yang baik, maka proses pembelajaran pun mampu berjalan dengan baik pula. Ini adalah metode pembelajaran paling dasar yang harus dikuasai oleh setiap pendidik.

Menjadi guru berarti sungguh-sungguh menghadirkan aspek kemanusiaan di dalam pengajaran. Di sinilah, panggilan menjadi guru memperoleh maknanya, yaitu ikut memperbaiki wajah kemanusiaan yang lebih menunjukkan sisi kepedulian sosial.[4] Untuk itu, beberapa hal berikut ini perlu untuk diperhatikan dengan baik.

a. Spiritualitas hidup yang baik 

Spiritualitas, secara bebas, dapat digambarkan sebagai sesuatu yang menjiwai atau yang mampu menggerakkan dari dalam diri mengapa manusia mau dan mampu melakukan sesuatu yang telah diyakininya. Spiritualitas ini sifatnya lintas religius dan budaya dan menyentuh seluruh aspek diri setiap orang. Siapapun dapat memiliki ataupun menolak untuk memilikinya. Maka, keduanya pun akan berefek langsung dalam kenyataan hidup harian.

Spiritualitas yang baik akan semakin memperkuat pilihan hidup menjadi guru dan memampukannya menghadapi segala resiko pilihan dengan suka cita. Sebaliknya, tanpa spiritualitas, kehidupan menjadi seperti rutinitas belaka yang melelahkan, menjemukan, bahkan menjadi beban hidup belaka. Karena itulah, seorang guru perlu memiliki spiritulaitas yang baik. Dalam konteks inilah, keputusan menjadi guru akan dimaknai lebih sebagai 'Panggilan Hidup' bukan sekedar menjalani sebuah profesi. Pertanyaanya, siapa yang memanggil seseorang untuk menjadi guru? Itulah sisi transendensi jiwa manusia yang tumbuh melalui spiritualitas hidup yang baik.

b. Menjadi pribadi pembelajar

Ketidakpastian tata nilai dan identitas cenderung membuat guru menjadi sangat gamang: tak tahu lagi siapa dirinya dan tak punya arah yang jelas untuk kebermaknaan hidupnya. Setiap nilai kehidupan yang dihayati akan tercermin dalam perilaku hidup sehari-hari. Perilaku hidup guru yang baik juga akan mempengaruhi nilai-nilai hidup apa saja yang mampu diserap olehnya.

Pengertian inilah pada giliranya akan membawa setiap guru kepada perilaku baru yang lebih tepat, lebih cocok, atau lebih luhur.[5] Keselarasan antara perilaku dan nilai yang dihayati, memampukannya memiliki komitmen yang baik atas keputusan menjadi seorang pendidik. Dalam konteks yang lain, seorang guru juga perlu mampu menyerap kebenaran-kebanaran intelektual yang baru yang sesuai dengan konteks zamannya. Dengan demikian, seorang guru akan menjadi pribadi yang aktual dan up to date. Maka, guru ditantang untuk semakin menampakkan kematangan kepribadian dalam seluruh aspek kehidupannya.

c. Memiliki integritas

Integritas berarti mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran.[6] Di dalamnya, juga dipahami adanya konsistensi dan keteguhan yang tak tergoyahkan dalam menjunjung nilai-nilai kehidupan. Sikap hidup magis yang tumbuh dalam spiritualitas yang baik akan menjauhkan seorang guru dari sikap minimalis. Sikap inilah yang menjadi indikasi buruk akhir-akhir ini. Misalnya, seseorang hanya mau mengajar 24 jam per minggu sesuai dengan ketentuan minimal di dalam peraturan.

Mengapa demikian? Karena hanya dengan menjalani yang minimal saja, segala fasilitas gaji, tunjangan, sertifikasi, dll. sudah dapat cair kok! Sikap minimalis ini pasti akan berpengaruh pada semangat pelayanan dalam menganggapi panggilan hidup tadi. Dan ketika hal ini terjadi, seseorang akan menjadi guru yang penuh dengan hoaxdalam dirinya. Yang menjadi tantangan bagi seorang guru adalah mampu tidaknya mewartakan kebenaran melalui hidup yang sedang dijalaninya itu.

d. Menjadi pribadi yang reflektif

Guru merupakan pribadi yang berakal budi. Sebelum memulai sesuatu kegiatan, ia dapat berpikir dulu. Ia mampu menilai dan mempertimbangkan arti serta makna perbuatan-perbuatannya.[7] Perilaku seorang guru di dalam/luar dunia pendidikan ini akan mendapat arti, sejauh mewujudkan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari. Tidak akan pernah ditemukan pribadi guru yang sempurna. Kelemahan serta kekurangan pasti akan tetap ada dan melekat secara manusiawi.

Hanya saja, kemampuan reflektiflah yang akan memungkinkan seorang guru memiliki keluhuran nilai hidup di tengah keterbatasan dirinya. Kemampuan reflektif ini akan mendorong setiap guru untuk mampu memurnikan segala motivasi, keputusan hidup, dan perilakunya. Keadaan seperti inilah yang tentunya akan semakin mempengaruhi para murid untuk dapat melihat, memahami, dan menemukan potensi serta karakter pribadinya. Kemampuan reflektif ini pada akhirnya akan menjauhkan sesorang guru dari hoax kepribadian.

Praksis dalam Dunia Pendidikan

Suatu ketika seorang murid pernah bertanya kepada saya mengapa selama pelajaran tadi saya begitu gampang marah, tidak seperti biasanya. Saya terdiam sejenak; pikiran mengarah kepada kejadian di rumah, di pagi harinya. Saya berangkat kerja dengan penuh emosi karana ada permasalahan di keluarga. Emosi itu terbawa dari rumah sampai di kelas. Memang, mengajar dengan cara seperti ini sungguh tidak nyaman. Saya tak bisa menikmati hidup saya. Begitupun murid-murid saya. Dalam keadaan seperti itu, saya tak mampu mengaktualkan diri saya sepenuhnya. Itulah saat di mana kehadiran saya tak lagi menjadi berkah bagi mereka. Proses refleksilah yang akhirnya memurnikan motivasi saya menjadi seorang guru.  

Guru memiliki cara dan media komunikasi tertentu pada saat berelasi. Mengajar dengan kedalaman pribadi berarti membagikan kepada para murid segala jerih payah hidupnya, nilai-nilai kebenaran iman, dan bagaimana ia memperjuangkannya. Dengan demikian, ajaran dan teladan hidup guru akan bisa menggugah motivasi perjuangan hidup para murid serta rekan-rekan seprofesi.

Sesungguhnya, tidak ada materi pembelajaran yang lebih dahsyat pengaruhnya kepada para murid dibandingkan teladan hidup dan perjuangan hidup guru sendiri. Pada hakikatnya, menjadi guru adalah mengajarkan tentang nilai hidup guru kepada para murid. Benarlah falsafah Jawa tentang Guru: Digugu lan Ditiru.  Artinya, digugu pengajarannya; ditiru keteladanan hidupnya. We teach who we are, and we teach from within(Palmer, 1998:1). Tanpa itu, semua hal yang guru lakukan hanyalah hoax belaka.

 

Daftar Pustaka:

Dister, Nico Syukur, Dr. Filsafat Kebebasan. Yogyakarta:Kanisius, 1993

Palmer, Parker J.The Courage to Teach: Exploring the Inner Landscape of a Teacher's Life. San Francisco: Jossey-Bass Publisher, 1998

Sufiyanta, A.Mintara, SJ, dan Yulia Sri Pihartini, S.Pd. Sang Guru Sang Peziarah. Jakarta: Obor, 2011

https://kbbi.web.id/integritashttps://id.m.wikipedia.org/wiki/Psikologi_kognitif

[1] Suatu cara kesadaran yang sedemikian rupa sehingga manusia, untuk menyadari dirinya sendiri, harus keluar dari dirinya sendiri dan mengarahkan diri kepada yang berlainan dengan kesadaran. Demi hakikatnya, manusia bersifat terbuka untuk yang lain: sesama ataupun dunia. Lihat: Dr. Nico Syukur Dister, OFM, Filsafat Kebebasan (Yogyakarta: Kanisius, 1993) hal.151.

[2] bdk.dengan teori Tabularasa yang dikemukakan oleh John Locke (1632-1704), https://id.m.wikipedia.org/wiki/Psikologi_kognitif

[3] Profesi dalam bahasa Inggris (profess) mempunyai makna 'Janji', yaitu memenuhi kewajiban melakukan suatu tugas khusus secara tetap. Jika seseorang mampu melaksanakan profesinya sesuai dengan juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis), ia disebut sebagai tenaga profesional.

[4] A. Mintara Sufiyanta dan Yulia Sri Pihartini, S.Pd., Sang Guru Sang Peziarah (Jakarta: Obor, 2011) hal.83

[5] Dr. Nico Syukur Dister, OFM,op.cit.hal.33

[6]https://kbbi.web.id/integritas 

[7] Dr. Nico Syukur Dister, OFM,op.cit.hal.53  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun