Kehadiran guru haruslah mampu memberi inspirasi positif bagi para murid. Jika tidak, itulah yang disebut ironi pendidik dan pendidikan. Kira-kira, apakah para murid mampu menangkap/memahami nilai kejujuran yang ditawarkan dalam proses pembelajaran jika seandainya ada oknum guru yang membuatkan kunci soal UN?
Apakah para murid akan mengamini makna kedisiplinan yang diajarkan oleh guru yang tak pernah on time masuk ke kelas? Masih ingatkah tentang kasus seorang guru yang mengirim gambar porno kepada salah satu muridnya? Inilah yang disebut kontradisksi. Guru mengajarkan kebaikan sekaligus memberi contoh keburukan melalui hidupnya. Dengan kata lain, apa yang diajarkan tidak selaras dengan apa yang menjadi penghayatan nilai-nilai hidupnya. Dalam arti inilah, guru hanya akan menjadi hoax dan penghalang tumbuhnya karakter atau kepribadian baik dalam kehidupan muridnya.
Dampak Negatif Kebohongan Diri
Perlu di-review lagi bebarapa hal berikut ini. Pertama, kesalahan penalaran yang tanpa disertai verifikasi intelektual adalah kebohongan. Kedua, ketidakkonsistenan antara perkataan dan perbuatan pendidik adalah kebohongan. Ketiga, tanpa keteladanan dari pendidik, pengajaran menjadi tak berarti. Dan yang keempat, tanpa totalitas, pendidik akan jatuh pada rutinitas yang menjemukan. Maka, semua kebohongan yang berawal dari ketidakmampuan seorang pendidik dalam mengolah karakternya, menjadikannya sebagai hoaxdalam dirinya.
Dampak langsung dan tidak langsung pun dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi murid dan sisi guru yang bersangkutan. Keunikan proses pembelajaran itu ada pada proses relasi antara guru dan murid. Selain pengetahuan yang hendak ditawarkan, murid juga akan melihat, mencontoh, membandingkan, menyimpulkan dengan sendirinya karakter dan pembawaan diri gurunya. Keteladanan merupakan kata kunci yang penting dalam hal ini.
Jika ada perbedaan nilai hidup antara yang ditawarkan dan yang diaktualkan oleh guru, murid akan melihatnya sebagai ketidakkonsistenan antara perkataan dan perbuatan. Proses keteladanan akhirnya menjadi tidak urgent dan murid akan kehilangan kendali atas perkembangan karakter dirinya. Bagi guru yang bersangkutan, keadaan ini akan semakin mengasingkan dirinya dengan 'predikat' pendidik yang sedang diembannya. Apa yang dilakukan guru bisa jadi akan jatuh pada rutinitas saja kemudian menjadi sesuatu yang menjemukan dan kering. Suatu saat, mengajar menjadi tidak penting lagi. Ironis. Pertanyaannya, apakah nantinya guru akan mampu menjalani falsafah hidup Ki Hajar Dewantara: Ing ngarso sung tuladha, Ing madya mangung karso, Tut wuri handayani yang selama ini dibanggakan?
Cakrawala Baru
Kepribadian adalah keseluruhan cara seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu lain. Kepribadian merupakan sesuatu yang dapat berubah atau berkembang. Dengan demikian ingin dikatakan bahwa kepribadian seseorang itu tumbuh dan mengalami perubahan setiap saat.Â
Dalam kasus yang menjadi sudut pandang artikel ini, maka cara mengedukasi yang paling tepat adalah menampakkan seluruh karakter diri, jati diri, keyakinan, dan integritas nilai-nilai hidup guru dalam proses pembelajaran dengan jujur. Maka dengan sendirinya, murid akan meneladani guru yang bersangkutan. Dengan adanya proses meneladan yang baik, maka proses pembelajaran pun mampu berjalan dengan baik pula. Ini adalah metode pembelajaran paling dasar yang harus dikuasai oleh setiap pendidik.
Menjadi guru berarti sungguh-sungguh menghadirkan aspek kemanusiaan di dalam pengajaran. Di sinilah, panggilan menjadi guru memperoleh maknanya, yaitu ikut memperbaiki wajah kemanusiaan yang lebih menunjukkan sisi kepedulian sosial.[4] Untuk itu, beberapa hal berikut ini perlu untuk diperhatikan dengan baik.
a. Spiritualitas hidup yang baikÂ