Perihal mengungkapkan perasaan pada seseorang yang kita cinta memang tak semudah menghabiskan satu loyang kue pukis yang tersaji di atas meja. Tidak semua orang mempunyai keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya.
Panggil saja Rambo, pria bertubuh kekar dengan gaya rambut klimis. Mahasiswa semester delapan yang belum lulus karena mandeg skripsi di bab dua.
Sudah lama sekali Rambo menyimpan perasaan suka pada seorang perempuan, sebut saja nama perempuan itu Mira. Mira merupakan mahasiswi semester enam, satu prodi dengan Rambo. Mira adalah seorang wanita berparas teduh, walau pun kulitnya agak hitam namun itu semua membuat Mira tampak lebih manis. Tampilannya sederhana namun entah kenapa, dia selalu terlihat istimewa. Rambo mencoba selalu ada untuk menemani Mira, saat Mira tiba-tiba menelpon Rambo tengah malam untuk menemani Mira mengerjakan tugas-tugas kuliah yang masih menumpuk, Rambo temani. Tak menghiraukan rasa kantuk yang telah menggelayut di kantung matanya, Rambo dengan setia menemani Mira sampai tugas-tugasnya beres.
Perasaan itu sudah mulai memuncak sampai ubun-ubun, namun Rambo tak kunjung pula mengungkapkan semuanya. Dia hanya berani menampakkan lewat perbuatan, meski pun itu hal sepele seperti dimintai pendapat perihal memilih kemeja flanel yang hendak Mira beli. Selebihnya? Dia tak punya kekuatan untuk mengungkapkan perasaannya.
"Jadi gimana nih? Lebih cocok yang warna apa untuk aku kenakan?" Tanya Mira.
Lalu Rambo menjawab "Kamu lebih cocok pakai warna yang soft, gak terlalu mencolok warnanya".
"Nah kalo yang ini gimana?" Mira bertanya sembari memilih warna pink dengan garis kotak-kotak hitam
"Waahh, sempurna nih kalo kamu pakai yang ini" jawab rambo sembari mengacungkan jempol dan senyum manis namun tak semanis es cendol.
Di satu hari yang berhiaskan awan mendung, Rambo mengajak Mira ke kedai untuk sejenak mengobrol santai dan bertemankan secangkir amerikano dan cappucino hangat. Di dalam hati Rambo, mana mungkin Rambo membiarkan Mira memesan es. Bukan karena hari akan turun hujan, hanya saja es yang dipesan pasti akan cepat meleleh gara-gara terik pesona yang Mira pancarkan.
"Eh amerikano mu tak usah pakai gula, Ra"
"Hah memang kenapa? Kalau tidak pakai gula, yang ada rasanya cuman pait." Jawab Mira dengan wajah yang kebingungan.
"Iya, Ra. Aku takut pertemuan kita ini membuat gula cemburu karena kalah manis darimu" Rambo menjawab.
"Heh apa-apaan? Memangnya aku sumber diabetes?" jawab Mira sembari protes gara-gara Rambo menyamakan Mira dengan gula. Tapi seketika itu pula, Mira malah tertawa riang gara-gara gombalan Rambo.
Hujan pun turun, walau pun cuaca dingin mulai menyebar, namun yang Rambo rasakan begitu hangat. Dari mulai obrolan bersama Mira yang menghadirkan gelak tawa, sampai pendar mata mira yang begitu tajam membuat hawa dingin seakan menghilang.
Segala tentang Mira mulai memenuhi tiap sudut ruang di otak Rambo. Bahkan hati Rambo yang amat kuat pun tak kuasa diobrak-abrik secara ganas oleh perasaan cinta.Â
Sebenarnya, Rambo bukan tak ada gerakan untuk mencoba menuturkan semuanya pada Mira. Sudah beberapa kali Rambo mencoba untuk berbicara perihal semuanya pada Mira. Semisal pada waktu itu ketika Rambo mengajak Mira ke suatu taman yang indah dan berhiaskan bunga mawar yang sedang bermekaran.
"Gimana, Ra? Bagus kan tempat ini?"
"Iya, baru tahu aku kalau di sini ada tempat sebagus ini." Jawab Mira.
"Di tempat yang bagus seperti ini, aku ingin ngomong sesuatu sama kamu, Ra." Rambo mencoba untuk mengungkapkan perasaannya.
"Iya, kenapa kamu?"
Namun nahas, ketika Rambo akan mengungkapkan isi hatinya, entah kenapa bibir Rambo kelu untuk berbicara. Jantung terasa berdetak lebih kencang, adrenalin meningkat bagai naik wahana histeria.
"Hmm ini Ra, katanya di sudut jalan ada kedai mie ramen yang rekomendasi banget, kamu mau ke sana?" Saking kelunya bibir Rambo, bukannya mengungkapkan perasaan hatinya, eh malah ngomongin kedai mie ramen. Gagal sudah usaha Rambo untuk jujur tentang perasaannya.
"Hmm nanti ajalah." Mira menjawab sembari mencium aroma bunga mawar.
Sebenarnya, Rambo adalah pria yang tegas. Dia selalu bisa mengambil keputusan terhadap apa yang ada di hadapan matanya. Dia juga selalu bisa mengungkapkan uneg-uneg yang ada di dalam hatinya.
Namun untuk kali ini entah kenapa. Di hadapan Mira, nyali Rambo seakan ciut untuk mengungkapkan isi hatinya. Lembek sekali nyali Rambo untuk mengungkapkan perasaannya. Kalah keras oleh roti yang sudah kadaluarsa.
Gara-gara rasa malu yang membuat nyali Rambo ciut untuk mengungkapkan perasaannya, kini Rambo hanya bisa menjadi teman Mira. Teman berkisah, sahabat untuk berkeluh kesah. Dan mungkin juga, Rambo tak bisa menyalami ayah Mira dan direstui dalam ucapan sah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H