Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Demo 4/11, Demo Tiga Babak Rasa Nano-nano

8 November 2016   12:53 Diperbarui: 8 November 2016   18:00 2188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika ingin mengetahui kebenaran kasus penistaan Al-Qur'an yang dituduhkan kepada Basuki Tjahaja Purnama, tunggulah gelar perkara yang akan dilaksanakan Polri. Nanti akan diketahui, benarkah ada penistaan itu. Janganlah kini berperang opini dan mengumbar curiga dan syak wasangka. Itu hanya membuktikan jika bukan  kebenaran yang ingin engkau ketahui.

Jika ingin Basuki Tjahaja Purnama tidak menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta lagi, jangan pilih dia dalam pilgub nanti. Kalau memang rakyat tak menghendaki, tentu dia tidak akan menjabat lagi. Sebaliknya, jika banyak rakyat yang memilihnya, tentu jangan pula kecewa dan sakit hati. Bukankah itu yang namanya demokrasi, yang telah kita sepakati untuk mengelola negeri ini?

Tetapi, jika hanya ingin menyerang dan menghinakan Presiden Jokowi dengan menumpang kasus itu, biar hukum negara yang membalasnya. Sumpah serapah, orasi membakar untuk menjatuhkan presiden itu bukan hak dalam berdemokrasi. Itu adalah sampah yang mencemari demokrasi dan bisa membuat massa mabuk dan terbakar amuk amarah.

Janganlah agama dipakai untuk hal seperti itu, karena tak ada ajaran seperti itu. Jika mengaku sebagai orang beragama tentu tidak akan bertindak dan berujar seperti itu. Tetapi, jika mengaku sebagai politikus, itu adalah politik adu domba yang menyengsarakan rakyat. Hanya politikus tak beragama yang mau mengorbankan rakyat dan negaranya untuk mencapai tujuan dan nafsu kuasanya. Jadi masihkah itu layak disebut sebagi politik yang ber-Pancasila?

Tulisan ini mencoba memahami demo yang bertitel "Aksi Damai 4 November" kemarin dari pandangan subjektif, yang tentunya tidak harus disepakati atau diterima sebagai kebenaran. Tulisan ini mencoba melihat aksi itu secara utuh, dari sebelum aksi, selama aksi, hingga episode aksi yang tak tercapai atau tidak bisa dilaksanakan.

DEMO RASA "NANO-NANO"
Sulit memaksakan pendapat bahwa aksi demo 4/11 kemarin, murni bermotif kepentingan agama. Kalau ada yang berpendapat aksi itu show of force dari barisan putih-putih, ya boleh-boleh saja. Kalau ada yang berpendapat demo kemarin sebagai pembelaan agama ya silakan saja. Kalau ada yang menilai demo kemarin sarat kepentingan politik, tidak juga dilarang.

Demikian pula kalau ada yang menilai demo itu untuk menggoyang pemerintahan Jokowi, itu juga  sah-sah saja. Ibarat permen, demo 4/11 itu rasanya rame banget kayak permen nano-nano. Ada banyak rasa dalam peristiwa itu yang tidak bisa diabaikan hanya untuk memberi stempel aksi damai membela fatwa MUI.

Demo berasa "nano-nano" itu memang wajar karena kumpulan manusia yang ikut aksi itu memang berangkat dari beberapa macam kelompok kepentingan, bukan melulu kepentingan agama seperti yang dipropagandakan itu. Mereka bersimbiosis mutualisme dengan beragam tujuan pula.

Menurut Kapolri Jenderal Tito Karnavian, aksi demo 4/11 terpicu oleh tiga kelompok kepentingan. Pertama, kelompok yang memang dari awal tidak suka terhadap gaya bicara Basuki Tjahaja Purnama; kedua, kelompok yang terprovokasi atas nama penistaan agama; dan ketiga, agenda dari kelompok yang memang sudah cukup lama ingin mendirikan khilafah. (Acara teve Mata Najwa, 2/11/2016)

Menurut saya, jika dideskripsikan, kelompok pertama itu bisa menyasar mereka yang secara politis berseberangan dengan Basuki Tjahaya Purnama; mereka yang secara kepentingan pribadi berlawanan dengan Basuki Tjahaja Purnama; dan mereka yang dirugikan oleh kebijakan Basuki Tjahaja Purnama. Kalau sekedar gaya bicara kan setiap orang punya keunikan, tapi kalau menyangkut kepentingan tentu lain lagi ceritanya. 

Siapakah mereka itu, bisa dilacak dari berbagai pemberitaan selama ini. Ada yang berasal dari partai politik, berlatar belakang pengusaha, rakyat korban kebijakan, hingga yang tak suka karena alasan lebih pribadi lagi. Tanpa perlu disebut, bisa dilihat siapa saja yang bisa masuk kategori ini.

Kelompok kedua, kelompok yang terprovokasi atas nama penistaan agama. Mereka ini secara relatif bisa disebut murni datang atas nama kepentingan agama. Mereka bisa terprovokasi kemungkinan karena gencarnya pemberitaan yang salah atas kasus itu dan penanganannya. Bisa juga mereka terprovokasi karena paham mereka yang menolak kepemimpinan non-muslim, dan bukan karena masalah penistaaan agama yang dituduhkan.

Silakan cari sendiri siapa kelompok kepentingan yang masuk golongan ini. Mereka yang membersihkan sampah demo, seperti Aa Gym dan santrinya itu, atau yang terus berdzikir macam ustadz Syamsul Arifin Ilham itu, atau yang lain, apakah masuk kelompok ini, saya tak berani menjawabmya. Biar mereka sendiri yang mengatakannya, kalau mau. Karena Para Penggembala itu memang bisa saja datang untuk mencegah ummat tertimpa musibah amuk bencana.

Kelompok ketiga, kelompok yang memang sudah sejak lama ingin mendirikan khilafah. Bukan rahasia lagi siapa kelompok kepentingan yang masuk golongan ini. Mereka secara masif telah lama menyuarakan hal itu. Hizbut Thahir Indonesia (HTI) yang sudah secara terang-terangan menyatakannya. FPI masuk wilayah abu-abu walaupun dalam beberapa pemberitaan, Rizieq Shihab sering disebut melecehkan Pancasila.

Selain mereka, kelompok yang masuk kategori radikal seperti pengikut ISIS juga terdeteksi ikut menumpangi aksi demo ini. Walaupun mereka tidak melakukan aksi teror tetapi mereka terdeteksi ikut menumpang menjadi pemain di demo itu. Kapolri Tito Karnavian secara langsung menyebutkan hal ini, jadi tak perlu diperdebatkan lagi.

Dengan komposisi peserta demo yang seperti itu, tidak tepat jika menilai aksi demo damai 4/11 itu murni aksi bela agama karena dugaan penistaan Al-Qur'an. Banyak kepentingan yang terlibat di dalamnya. Saya lebih suka menyebut aksi demo 4/11 kemarin sebagai aksi demo rasa "nano-nano".

foto: detik.com
foto: detik.com
BABAK PENDAHULUAN
Demo 4/11 diawali babak pendahuluan yang seru. Untuk menyatukan masa dalam ikatan emosi dan mau bergerak bersama-sama, berdemo di depan Istana itu bukan pekerjaan dadakan yang cukup menggunakan medsos dengan seruan "Ayo demo di depan Istana 4 November". Tidak cukup dengan itu. Harus ada isu yang kuat yang bisa menarik dan mengerakkan massa.

Demo itu tentu telah melalui perencanaan yang matang agar bisa mencapai tujuan. Dan isu yang bisa menyatukan massa yang mayoritas Islam, tentu adalah agama Islam itu sendiri. Inilah letak strategis isu penistaan Al-Qur'an yang dituduhkan kepada Basuki Tjahaja Purnama.

Aksi demo 14 Oktober 2016 bisa disebut sebagai demo pemanasan di babak pendahuluan itu. Berangkat dari Masjid Istiqlal, mereka menuju Balai Kota di mana Basuki Tjahaja Purnama berkantor. Kehadiran Amin Rais pada demo itu bisa dianggap sebagai awal konsolidasi kekuatan melawan Basuki Tjahaja Purnama. Soal orasi, hujatan, dan tuntutan saat itu, bisa juga dianggap sebagai patron bagi demo selanjutnya.

Untuk memelihara semangat perlawanan terhadap Basuki Tjahaja Purnama atas nama penistaan Al-Qur'an, agar tetap membara dan meningkat ke level nasional, maka aksi pembacaan surat dr. Gamal Albinsaid tentang toleransi, oleh anggota PKS Almuzammil Yusuf pada sidang paripurna DPR 19 Oktober 2016 tidak bisa diabaikan. Pembacaan surat ini diwarnai gemuruh suara takbir di ruang sidang DPR saat itu.

Dan esoknya di Malang terjadi aksi demo besar-besaran dengan mengusung tema yang sama dengan demo 14 Oktober. Dokter Gamal Albinsaid yang suratnya dibacakan oleh anggota PKS itu ternyata bukanlah ulama besar tetapi seorang dokter muda di Malang. Dia mendapatkan penghargaan dari Unilever dan Cambridge Unversity atas karyanya, klinik asuransi premi sampah.

Kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama telah naik kelas, dari kelas regional DKI Jakarta menjadi kelas nasional. Yang diawali pembacaan surat di ruang sidang DPR dan dilanjutkan dengan demo besar di Malang. Sementara di medsos sudah ramai ajakan demo 4 November dengan anjuran pesertanya menulis surat wasiat kepada keluarganya, alias siap mati dan menjadi martir.

Sasaran pun sudah diubah, tidak lagi Balai Kota Jakarta, tapi Istana Negara di mana presiden berada. Isunya, presiden melindungi Basuki Tjahaja Purnama dan mengintervensi sehingga polisi tidak memproses kasus itu. Padahal ada aturan yang mengharuskan kasus hukum semacam itu yang menerpa seorang cagub, diproses usai pilgub selesai. Ketua ICMI Jimly Asshiddiqie yang juga mantan ketua MK termasuk yang berpendapat seperti ini.

Dan, kasusnya melibatkan gubernur DKI Jakarta pun sasarannya telah dibelokkan ke Presiden Jokowi dengan alasan agar tak ada intervesi. Dari sini sudah terlihat ada yang bengkok. Mereka menolak intervensi hukum tetapi malah meminta Presiden Jokowi agar Basuki Tjahaja Purnama ditangkap dan ditahan. Ini sama artinya meminta presiden mengintervensi hukum.

Ketika presiden mengundang NU, Muhmmadyah, dan MUI dan menegaskan sikapnya bahwa perkara itu sepenuhnya diserahkan kepada kepolisian dan telah diproses, sebenarnya tuntutan merek agar kasus ini segera diproses sudah terjawab. Dengan begitu demo seharusnya sudah tak perlu lagi. Tetapi, yang terjadi tidak seperti itu. Demo harus tetap jalan atas nama demokrasi, dengan tuntutan meminta presiden mengintervensi hukum dengan menahan dan menjadikan tersangka Basuki Tjahaja Purnama. 

Pada babak pendahuluan inilah pernyataan Susilo Bambang Yudhoyono dalam jumpa pers pada 2 November di rumahnya menjadi penting untuk dikaji. Pernyataannya yang diawali dengan kunjungan ke Menko Polhukam Wiranto dan Wapres Jusuf Kalla pada 1 November, sehari setelah Presiden Jokowi bertamu ke rumah Prabowo Subianto di Hambalang dan naik kuda bersama, dinilai memanaskan suasana yang tensinya sedang diturunkan oleh banyak elemen bangsa.

Pernyataannya soal intelejen eror dan seterusnya itu, termasuk Lebaran Kuda yang jadi viral di medsos itu, dinilai banyak pihak tidak bijak. Pernyataannya itu justru memperlihatkan kepentingan SBY atas demo itu, karena Agus Harimurti putra sulungnya menjadi cagub DKI. 

Dan hingga kini, tuduhan SBY mendanai demo 4 November terus terucap dari orang-orang dekatnya. SBY dinilai banyak pengamat politik sedang mengulang peran lama, sebagai orang yang dizalimi untuk meraih simpati publik. 

Selain itu pernyatannya agar Ahok segera diproses hukum, juga dinilai sebagai intervensi. "Kalau ingin negara ini tidak terbakar oleh amarah para penuntut keadilan, Pak Ahok mesti diproses secara hukum. Jangan sampai beliau dianggap kebal hukum." Inilah cuplikan ucapan SBY yang disesalkan banyak pihak itu. Jangan salahkan orang kalau SBY dinilai juga ikut menjadi kompor dalam kasus itu.

Masih dalam babak pendahuluan ini, muncul pernyataan menarik dari Ketua MPR Zulkifli Hasan yang mempersilakan demonstran menginap di gedung MPR dengan alasan gedung itu juga milik rakyat. Suara sama juga muncul dari Fadli Zon wakil ketua DPR bahwa pendemo boleh menginap di gedung DPR asal ada surat permintaan resmi. Fahri Hamzah juga menyatakan hal yang sama. Baik Fadli Zon maupun Fahri Hamzah juga ikut dalam demo itu.

BABAK UTAMA, DEMO DAMAI
Babak utama demo damai 4/11 bisa dikatakan relatif damai. Demo ini berlangsung dari pagi hingga pukul 18.00 sesuai aturan. Tak perlu diulas panjang lebar, yang penting memang damai, malah ada aksi polisi cilik, ada aksi bersih-bersih, ada acara selfie pendemo dan petugas, bahkan ada pedekate pendemo ke polwan, dan seterusnya. Jadi damai.

foto: tribunnews.com
foto: tribunnews.com
BABAK LANJUTAN YANG GAGAL
Inilah bagian paling krusial, yang disebut aksi ba'da Isyak di demo 4/11. Secara fisik dan psikologis, pada waktu itulah situasi yang paling rawan. Demonstran yang tak kunjung mau bubar, bahkan ada yang terus merangsak hendak masuk ring I, sementara petugas sedari pagi terforsir tenaga dan psikisnya. Kondisi semacam itu sangat mudah menyulut kerusuhan.

Konon diawali lemparan botol air minum dan batu ke petugas, aksi berubah menjadi anarkis dan melampaui batas, dan aksi kekerasan lain. Kendaraan petugas dibakar di jalan depan Istana dan di jalan belakang Istana. Apakah ini aksi spontan dan tidak direncanakan? Biarlah pengusutan yang kini berjalan yang menjawabnya.

Sementara itu, di daerah Penjaringan Jakarta juga terjadi aksi kerusuhan dan penjarahan minimarket. Walaupun pelakunya tidak terkait aksi demo di depan Istana, namun terbukti ada yang menggerakkan untuk melakukan aksi itu. Terlalu sulit untuk disebut aksi ini tidak terimbas aksi demo di depan Istana, setidaknya ini adalah aksi pendomplengan.

Kembali ke aksi demo di depan Istana, yang menarik adalah peran orator di mobil komando yang menyerukan perlawanan. Apakah ini tidak bisa dipandang sebagai bukti adanya kesengajaan dalam aksi lanjutan itu. Terbukti meski akhirnya petugas berhasil menguasai keadaan, pendemo bukannya membubarkan diri namun  mengalihkan aksi ke gedung DPR/MPR.

Gedung Dewan Perwakilan Rakyat adalah representasi kedaulatan rakyat, yang dalam sistem demokrasi kita diwakilkan kepada para anggota dewan. Kedaulatan rakyat Indonesia yang heterogen dan majemuk, tentunya tidak bisa diklaim sebagai milik sekelompok masyarakat atau golongan. Karena itu, setiap upaya pendudukan gedung DPR harus dilawan dan digagalkan.

Dalam beberapa aksi demo baik di daerah maupun di pusat, para demonstran sering menjadikan gedung DPRD atau DPR sebagai sasarannya. Mereka merasa di sanalah kedaulatan rakyat berada. Pada banyak kasus, mereka dengan sekuat tenaga berusaha menduduki "rumah" mereka. 

Tetapi, masalahnya, kepentingan yang mengiringi aksi demo itu tidak bisa dianggap sebagai kepentingan seluruh rakyat dan sangat mungkin banyak kelompok rakyat lain yang bersebarangan dengan mereka. Oleh karena itulah, aparat keamanan tentu akan mencegah aksi pendudukan semacam itu untuk mencegah marwah negara dan aksi balasan dari kelompok masyarakat lain.

Karena itulah, menjadi aneh ketika Ketua MPR yang juga Ketua PAN Zulkifli Hasan dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon dan Fahri Hamzah mempersilakan para pendemo aksi 4 November untuk menginap di Gedung DPR/MPR. Alasannya gedung DPR/MPR adalah milik rakyat. Untunglah Ketua DPR Ade Komaruddin, Kapolda Metro Jaya Irjen M Iriawan, dan Pangdam Jaya  Mayjen Teddy Lhaksamana menolak keras hal itu.

Melalui orasi sampai suara serak, Rizieq Shihab pimpinan FPI mencoba memaksakan kehendaknya agar pendemo dizinkan masuk ke Gedung DPR/MPR. Aparat tak bergeming. Akhirnya delapan perwakilan demonstran termasuk Rizieq, diterima Ketua MPR Zulkifli Hasan dan Anggota Komisi III DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dan Aboe Bakar Alhabsyi. Hasilnya demonstran bubar, pulang dengan bantuan transportasi dari DPR.

Aksi "memaksa menginap" di gedung DPR/MPR oleh para demonstran yang dipimpin Rizieq Shihab itu menjadi menarik dibahas, karena aksi itu bisa dipandang sebagai aksi lanjutan setelah insiden bakar-bakar di depan dan di belakang Istana Negara. Jika berhasil memasuki gedung itu, maka sudah bisa dipastikan mereka akan dirikan base camp perjuangan melawan Jokowi dengan alasan kasus Ahok di situ.

Itulah tujuan mereka bertahan di depan Gedung DPR/MPR hingga Subuh itu. Suara-suara soal akan dipaksakannya sidang istimewa oleh kelompok ini, untuk menekan pemerintahan Jokowi sudah terdengar. Jadi, bisakah dinilai memang sudah ada simbiosa mutualisme antara pendemo dan sebagian anggota DPR? Biarlah waktu yang menjawabnya. 

Tetapi, alasan Gedung DPR/MPR adalah milik rakyat karena itu wajar kalau rakyat menginap di situ setelah demo di depan Istana Negara, sejak awalnya memang ganjil. Terlebih lagi Fahri Hamzah sempat menyebut dua cara menjatuhkan presiden adalah melalui parlemen jalanan dan parlemen dalam ruangan.

Salam.

---

Bacaan pendukung:
Kompas
NU
Kompas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun