Kelompok kedua, kelompok yang terprovokasi atas nama penistaan agama. Mereka ini secara relatif bisa disebut murni datang atas nama kepentingan agama. Mereka bisa terprovokasi kemungkinan karena gencarnya pemberitaan yang salah atas kasus itu dan penanganannya. Bisa juga mereka terprovokasi karena paham mereka yang menolak kepemimpinan non-muslim, dan bukan karena masalah penistaaan agama yang dituduhkan.
Silakan cari sendiri siapa kelompok kepentingan yang masuk golongan ini. Mereka yang membersihkan sampah demo, seperti Aa Gym dan santrinya itu, atau yang terus berdzikir macam ustadz Syamsul Arifin Ilham itu, atau yang lain, apakah masuk kelompok ini, saya tak berani menjawabmya. Biar mereka sendiri yang mengatakannya, kalau mau. Karena Para Penggembala itu memang bisa saja datang untuk mencegah ummat tertimpa musibah amuk bencana.
Kelompok ketiga, kelompok yang memang sudah sejak lama ingin mendirikan khilafah. Bukan rahasia lagi siapa kelompok kepentingan yang masuk golongan ini. Mereka secara masif telah lama menyuarakan hal itu. Hizbut Thahir Indonesia (HTI) yang sudah secara terang-terangan menyatakannya. FPI masuk wilayah abu-abu walaupun dalam beberapa pemberitaan, Rizieq Shihab sering disebut melecehkan Pancasila.
Selain mereka, kelompok yang masuk kategori radikal seperti pengikut ISIS juga terdeteksi ikut menumpangi aksi demo ini. Walaupun mereka tidak melakukan aksi teror tetapi mereka terdeteksi ikut menumpang menjadi pemain di demo itu. Kapolri Tito Karnavian secara langsung menyebutkan hal ini, jadi tak perlu diperdebatkan lagi.
Dengan komposisi peserta demo yang seperti itu, tidak tepat jika menilai aksi demo damai 4/11 itu murni aksi bela agama karena dugaan penistaan Al-Qur'an. Banyak kepentingan yang terlibat di dalamnya. Saya lebih suka menyebut aksi demo 4/11 kemarin sebagai aksi demo rasa "nano-nano".
Demo 4/11 diawali babak pendahuluan yang seru. Untuk menyatukan masa dalam ikatan emosi dan mau bergerak bersama-sama, berdemo di depan Istana itu bukan pekerjaan dadakan yang cukup menggunakan medsos dengan seruan "Ayo demo di depan Istana 4 November". Tidak cukup dengan itu. Harus ada isu yang kuat yang bisa menarik dan mengerakkan massa.
Demo itu tentu telah melalui perencanaan yang matang agar bisa mencapai tujuan. Dan isu yang bisa menyatukan massa yang mayoritas Islam, tentu adalah agama Islam itu sendiri. Inilah letak strategis isu penistaan Al-Qur'an yang dituduhkan kepada Basuki Tjahaja Purnama.
Aksi demo 14 Oktober 2016 bisa disebut sebagai demo pemanasan di babak pendahuluan itu. Berangkat dari Masjid Istiqlal, mereka menuju Balai Kota di mana Basuki Tjahaja Purnama berkantor. Kehadiran Amin Rais pada demo itu bisa dianggap sebagai awal konsolidasi kekuatan melawan Basuki Tjahaja Purnama. Soal orasi, hujatan, dan tuntutan saat itu, bisa juga dianggap sebagai patron bagi demo selanjutnya.
Untuk memelihara semangat perlawanan terhadap Basuki Tjahaja Purnama atas nama penistaan Al-Qur'an, agar tetap membara dan meningkat ke level nasional, maka aksi pembacaan surat dr. Gamal Albinsaid tentang toleransi, oleh anggota PKS Almuzammil Yusuf pada sidang paripurna DPR 19 Oktober 2016 tidak bisa diabaikan. Pembacaan surat ini diwarnai gemuruh suara takbir di ruang sidang DPR saat itu.
Dan esoknya di Malang terjadi aksi demo besar-besaran dengan mengusung tema yang sama dengan demo 14 Oktober. Dokter Gamal Albinsaid yang suratnya dibacakan oleh anggota PKS itu ternyata bukanlah ulama besar tetapi seorang dokter muda di Malang. Dia mendapatkan penghargaan dari Unilever dan Cambridge Unversity atas karyanya, klinik asuransi premi sampah.
Kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama telah naik kelas, dari kelas regional DKI Jakarta menjadi kelas nasional. Yang diawali pembacaan surat di ruang sidang DPR dan dilanjutkan dengan demo besar di Malang. Sementara di medsos sudah ramai ajakan demo 4 November dengan anjuran pesertanya menulis surat wasiat kepada keluarganya, alias siap mati dan menjadi martir.