Suasana di pinggir Bengawan Solo, baik di sisi utara maupun selatan, mulai dari Bendung Gerak Kalitidu hingga Taman Bengawan Solo di Ledok Wetan Kota Bojonegoro, Jawa Timur, Minggu (25/9/2016) kemarin, sungguh berbeda. Masyarakat tampak bergerombol di tempat-tempat yang lapang di pinggir sungai. Yang kepanasan bawa payung dan topi, namun ada juga yang memilih pinggir sungai yang banyak pepohonannya.
Saya bersama istri dan anak termasuk bagian masyarakat ini, meski bukan warga Bojonegoro. Jangan salah paham dengan membayangkan ini kegiatan unjuk rasa masal. Kami hanya ingin melihat perahu-perahu yang dihias lewat di Bengawan Solo. Tentunya biar lebih komplet, ya bisa foto-foto atau selfie bersama keluarga.
Dan hasilnya memang tidak terlalu mengecewakan. Ya, meski sedikit gosong karena Kang Yoto bupati Bojonegoro molor memberangkatkan perahu hias, sementara matahari cukup terik di lokasi Bendung Gerak Kalitidu. Tapi, kisah dan foto festival Bengawan Solo ini cukup menarik untuk disajikan di Kompasiana.
Saya sendiri awalnya khawatir terlambat dan tak dapat momen dan foto yang apik, sehingga berangkat  agak pagi dari rumah di Tuban. Maunya sih sampai di lokasi paling lambat pukul 08.00. Tapi, ya sudah biasa kalau berangkat bersama rombongan itu suka molor. Jadi baru pukul 08.30 kami sampai di Bendung Gerak; sedikit terhambat urusan "parkir", molor lagi sepuluh menit.
Apapun, hasilnya kami bisa juga menikmati Festival Bengawan Solo, yang kemarin berupa lomba perahu hias menyusuri Bengawan Solo, dilanjut sore harinya dengan sajian musik Keroncong di Taman Bengawan Solo. Memang karena masyarakat yang menonton acara ini tidak di satu titik, jadi acara pemberangkatan perahu itu terasa lebih lapang dan kurang "meriah".
Ternyata suasana ini memang disengaja karena tak ingin seperti tahun lalu. Kata sahabat saya, acara festival agak dikurangi porsinya, misalnya festival layang-layang  yang dulu dibarengkan dengan lomba perahu hias, sementara dihentikan dulu karena terlalu sukses. Lho, terlalu sukses kok malah dihentikan?Â
Ya, masalahnya karena peserta dan penontonnya membludak, lokasi Bendung Gerak Kalitidu yang jadi tempat start lomba perahi hias dan lomba layang-layang, over kapasitas, uyel-uyelan. Tak hanya itu, jalan raya mulai keluar Koto Bojonegoro ke arah Cepu juga maceeettttt. Sementara itu, hotel yang menampung peserta lomba layang-layang ternyata belum siap. Jadilah, panitianya kalang kabut tidak karuan.
Itu kata Slamet Agus Sudarmojo, wartawan Antara sahabat saya. Ya karena alasan itu pula, tahun ini penontonnya tak membludak lagi namun tersebar di sepanjang sisi Bengawan Solo dari Bendung Gerak Kalitidu hingga Taman Bengawan Solo di utara Pasar Bojonegoro itu. Itulah pemandangan yang saya jumpai saat berangkat ke lokasi start dan balik ke kota ke lokasi finish lomba perahu hias.
Secara umum, acara wisata gratisan Festival Bengawan Solo di Bojonegoro berupa lomba perahu hias, yang diikuti 40 peserta relatif cukup menarik. Hanya saja, kalau anda tahun depan ingin menontonnya, saya sarankan pakai sun blok, topi lebar untuk wanita atau payung. Kalau takut silau ya pakai kacamata hitam. Saya bukan termasuk yang siap kemarin karena tak bawa topi, jadinya ya agak gosong.

Lomba perahu hias di Festival Bengawan Solo Bojonegoro ini memang berbeda dengan lomba perahu rakit (getek) yang pernah digelar saat Presiden Jokowi masih jadi walikota di Solo, November 2011 lalu. Sesuai namanya, getek atau rakit dari bilah bambu yang diikat berdampingan memanjang, yang dulu merupakan alat transportasi utama di Solo. Rakit itulah yang dihias, untuk menggambarkn sejarah Bengawan Solo masa lalu dan masa depan.
Di Bojonegoro agak berbeda. Meski sama-sama alat transportasi di Bengawan Solo, perahu berbeda dengan rakit, karena terbuat dari kayu. Perahu itulah yang dihias, dan itu juga bukan perahu baru yang khusus dibuat untuk lomba. Perahu itu selama ini memang sudah hidup di Bengawan Solo. Mereka milik warga pinggiran Bengawan Solo dari Kecamatan Kasiman di Barat berbatasan dengan Cepu, Jawa Tengah hingga Kecamatan Baureno yang berbatasan dengan Babat Lamongan.
Meskipun demikian, filosofi dasar festival perahu dan getek itu hampir sama. Keduanya mengusung tema membangkitkan denyut kehidupan transportasi masa lalu, di kehidupan modern ini. Ini mungkin pemikiran yang menarik untuk mengurangi beban jalan darat yang over tonase hingga rusaknya tak sembuh-sembuh itu. Mungkin saja, kontainer-kontainer berat itu bisa dikirim lewat kapal melewati Bengawan Solo.Â
Itu memang pemikiran romantis untuk membangkitkan kejayan masa lalu Bengawan Solo. Bagi dunia usaha, tetap saja hitungannya, lebih murah mana transportasi lewat Bengawan Solo atau lewat darat. Kalau tetap murah dan cepat lewat darat, ya selamat tinggal transportasi lewat Bengawan Solo. Jadi, itulah pilihan masyarakat ekonomi modern.
Ah, tapi kita nikmati saja sentuhan budayanya. Yang jelas, makin banyak festival di Bengawan Solo, makin bersihlah sungai itu. Ya, paling tidak satu dua hari menjelang lomba pasti ada upaya bersih-bersih masal. Masyarakat juga diminta tidak buang sampah sembarangan di sungai dan seterusnya. Jadi saat lomba tiba, Bengawan Solo meski airnya berwarna coklat, terlihat bersih dan tak ada sampah di aliran dan pinggirnya. Masak wisata sama sampah, tidak asyik kan.
Di Bendung Gerak Kalitidu, setidaknya berkah Festival Bengawan Solo ini tampak benar. Kalau sebelumnya, di sisi barat dam pernah dipenuhi sampah, baik kayu atau plastik, kemarin relatif bersih. Andai saja bersihnya sepanjang tahun, tak hanya waktu ada festival.
Tapi, semua itu juga bergantung masyarakatnya yang harus terus disadarkan tak hanya ketika ada even seperti ini. Ngomong-ngomong soal sampah ini, kemarin di Taman Bengawan Solo Bojonegoro, masih ada juga masyarakat yang membuang wadah plastik minumannya ke sungai tanpa rasa bersalah. Jangankan masyarakat biasa, lha wong petugas SAR yang membawa perahu karet juga melakukan hal serupa, dilihat langsung banyak mata.

Yang pasti, empat puluh perahu yang ikut dalam Festival Bengawan Solo di Bojonegoro kemarin cukup asyik dilihat, penuh warna, penuh ornamen dan simbol, tapi tetap saja sederhana. Ada Naga Air sebutan lain dari Bengawan Solo yang berkelak-kelok, ada Mliwis Putih seperti legenda yang hidup dalam dongeng rakyat Bojonegoro, ada Banteng Putih yang kepalanya bergoyang, ada juga sapi putih sahabat petani.
Ada meriam kuno seperti di film-film bajak laut atau di museum itu, ada juga buaya putih menghias depan perahu. Namun entah mengapa, peserta yang menampilkan model naga air relatif banyak, setidaknya lebih dari lima peserta. Ini mungkin karena legenda naga air cukup hidup di masyarakat Bojonegoro, atau menunjukkan adanya  hubungan perdagangan dengan Tiongkok di masa lalu, yang melewati kawasan ini hingga ke Solo.
Walaupun matahari cukup terik, masyarakat tampak asyik-asyik saja menikmati wisata gratis ini. Cuma sayangnya ya satu itu, pemberangkatan perahu terlalu siang, sekitar pukul 11.00.Â
Saya sendiri bersama keluarga, setelah mendapat momen foto yang saya tunggu, yaitu larung sesaji sebagai simbol permohonan ke Illahi Robbi, Tuhan Semesta Alam, agar senantiasa diberi rezeki, keselamatan, dan keberkahan hidup, langsung meluncur ke Taman Bengawan Solo di Kota Bojonegoro untuk meneruskan menikmati wisata ini: menunggu perahu tiba.
FESTIVAL PERSAHABATAN DENGAN ALAM
Festival Bengawan Solo yang jadi kalender tahunan wisata Bojonegoro menjelang ulang tahunnya ini, bisa disebut sebagai festival persahabatan dengan alam. Ini mungkin sebuah upaya mendekatkan secara batin Wong Bojonegoro agar tidak "nyingkur" (memunggungi) Bengawan Solo. Sebuah kesadaran yang sudah lama diperjuangkan namun hasilnya belum menggembirakan.
Taman Bengawan Solo di Ledok Wetan utara Bojonegoro itu misalnya, adalah sebuah taman terbuka (walau tak terlalu luas karena sebenarnya merupkan tanggul), didirikan untuk warga. Saat banjir, tempat ini adalah tempat menantau ketinggian permukaan air. Saat Bengawan Solo bersahabat, tempat ini bisa jadi tempat warga memamandang dan menikmati pemandangan Bengawan Solo.
Jika masyarakat punya kesadaran dan menikmati bukan "nyingkur" Bengawan Solo, tentu ada keterikatan batin untuk memikirkan kelestarian termasuk kebersihan kawasan Bengawan Solo. Taman ini dulunya, juga digagas sebagai tempat pertunjukan musik keroncong atau yang lain, pada saat-saat tertentu. Sayangnya, saat ini Taman Bengawan Solo sudah dipenuhi kios dan lapak pedagang, sehingga sebutan taman kok rasanya kurang pas.
Entahlah, apakah setelah dua tahun menggelar Festival Bengawan Solo, eksistensi Taman Bengawan Solo di Bojonegoro itu akan dipulihkan. Memang masih harus ditunggu dengan sabar. Namun, keberadaan taman itu  jelas memang tak bisa dipisahkan dari upaya penyadaran agar Wong Bojonegoro punya perhatian lebih pada Bengawan Solo yang sudah berabad-abad menemani dalam senang dan susah.Â
Kesadaran agar tidak buang sampah sembarangan, termasuk melakukan reboisasi agar daerah bantaran sungai tak kritis dan longsor. Kesadaran agar tidak menambang pasir sembarangan sehingga membahayakan lingkungan termasuk jembatan. Contoh yang kini terjadi adalah penambangan pasir hanya beberapa puluh meter dari di sisi timur Jembatan Bojonegoro-Tuban. Kalau dibiaran, kasus kerusakan jembatan di Mojokerto belasan tahun lalu, bisa menimpa jembatan ini.

Karena itulah, Festival Bengawan Solo ini sebenarnya menegaskan kembali upaya menjalin hubungan yang lebih bersahabat antara Wong Bojonegoro dan alam Bengawan Solo. Dua kesatuan alam yang tak pernah terpisah sejak ribuan tahun lalu, dengan kisah suka dan susah, dalam goresan budaya dan tembang.Â
Kesadaran tentang perlunya bersahabat dengan Bengawan Solo sudah digelorakan sejak lama, Â namun masih terkesan sekedar ajang noltalgia karena kurangnya kesadaran masyarakat. Apakah kali ini akan berbeda hasilnya, tentu harus ditunggu.
Bengawan Solo sungai terpanjang di Jawa 548,53 km, yang berkelak-kelok mulai dari daerah hulu utama Wonogiri, Solo, Jawa Tengah dan hulu kedua di Ponorogo yang mengalir hingga Ujung Pangkah, Gresik Jawa Timur, memang punya berjuta cerita dari dulu kala. Keelokannya, kemurahatiannya, hingga kegarangannya adalah kisah keseharian bagi warga yang bersandingan dengannya.
Bagi warga Bojonegoro, yang daerahnya juga kotanya terbelah oleh sungai ini, Bengawan Solo adalah rutinitas keseharian. Ada pertalian psikis yang telah mengikat manusia Bojonegoro dan alam Bengawan Solo, dari generasi ke generasi. Ada persahabatan di antara keduanya, baik dalam senang maupun susah.Â
Senang karena sungai ini menyajikan rezeki yang tak pernah habis bagi sebagian warga, baik airnya untuk pertanian, ikan-ikannya, pasirnya, maupun rezeki lainnya.
Susah saat sungai ini bak naga air yang mengamuk, membanjiri daerah sekitarnya. Kelakuan bak naga air ini adalah rutinitas beberapa hari, minggu, bahkan bulan, yang harus ditonton dan "dinikmati" sebagian warga Bojonegoro.
Pola hubungan yang unik antara manusia dan alam Bengawan Solo ini agaknya sedang mencari keseimbangan baru lewat Festival Bengawan Solo. Belum diketahui hasil akhirnya. Namun sebagai sajian wisata gratisan yang bermanfaat lingkungan, mungkin ada baiknya festival ini terus berjalan. Tentunya dengan kemasan yang lebih menarik dan punya banyak pilihan.
Salam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI