Di Bojonegoro agak berbeda. Meski sama-sama alat transportasi di Bengawan Solo, perahu berbeda dengan rakit, karena terbuat dari kayu. Perahu itulah yang dihias, dan itu juga bukan perahu baru yang khusus dibuat untuk lomba. Perahu itu selama ini memang sudah hidup di Bengawan Solo. Mereka milik warga pinggiran Bengawan Solo dari Kecamatan Kasiman di Barat berbatasan dengan Cepu, Jawa Tengah hingga Kecamatan Baureno yang berbatasan dengan Babat Lamongan.
Meskipun demikian, filosofi dasar festival perahu dan getek itu hampir sama. Keduanya mengusung tema membangkitkan denyut kehidupan transportasi masa lalu, di kehidupan modern ini. Ini mungkin pemikiran yang menarik untuk mengurangi beban jalan darat yang over tonase hingga rusaknya tak sembuh-sembuh itu. Mungkin saja, kontainer-kontainer berat itu bisa dikirim lewat kapal melewati Bengawan Solo.Â
Itu memang pemikiran romantis untuk membangkitkan kejayan masa lalu Bengawan Solo. Bagi dunia usaha, tetap saja hitungannya, lebih murah mana transportasi lewat Bengawan Solo atau lewat darat. Kalau tetap murah dan cepat lewat darat, ya selamat tinggal transportasi lewat Bengawan Solo. Jadi, itulah pilihan masyarakat ekonomi modern.
Ah, tapi kita nikmati saja sentuhan budayanya. Yang jelas, makin banyak festival di Bengawan Solo, makin bersihlah sungai itu. Ya, paling tidak satu dua hari menjelang lomba pasti ada upaya bersih-bersih masal. Masyarakat juga diminta tidak buang sampah sembarangan di sungai dan seterusnya. Jadi saat lomba tiba, Bengawan Solo meski airnya berwarna coklat, terlihat bersih dan tak ada sampah di aliran dan pinggirnya. Masak wisata sama sampah, tidak asyik kan.
Di Bendung Gerak Kalitidu, setidaknya berkah Festival Bengawan Solo ini tampak benar. Kalau sebelumnya, di sisi barat dam pernah dipenuhi sampah, baik kayu atau plastik, kemarin relatif bersih. Andai saja bersihnya sepanjang tahun, tak hanya waktu ada festival.
Tapi, semua itu juga bergantung masyarakatnya yang harus terus disadarkan tak hanya ketika ada even seperti ini. Ngomong-ngomong soal sampah ini, kemarin di Taman Bengawan Solo Bojonegoro, masih ada juga masyarakat yang membuang wadah plastik minumannya ke sungai tanpa rasa bersalah. Jangankan masyarakat biasa, lha wong petugas SAR yang membawa perahu karet juga melakukan hal serupa, dilihat langsung banyak mata.
Yang pasti, empat puluh perahu yang ikut dalam Festival Bengawan Solo di Bojonegoro kemarin cukup asyik dilihat, penuh warna, penuh ornamen dan simbol, tapi tetap saja sederhana. Ada Naga Air sebutan lain dari Bengawan Solo yang berkelak-kelok, ada Mliwis Putih seperti legenda yang hidup dalam dongeng rakyat Bojonegoro, ada Banteng Putih yang kepalanya bergoyang, ada juga sapi putih sahabat petani.
Ada meriam kuno seperti di film-film bajak laut atau di museum itu, ada juga buaya putih menghias depan perahu. Namun entah mengapa, peserta yang menampilkan model naga air relatif banyak, setidaknya lebih dari lima peserta. Ini mungkin karena legenda naga air cukup hidup di masyarakat Bojonegoro, atau menunjukkan adanya  hubungan perdagangan dengan Tiongkok di masa lalu, yang melewati kawasan ini hingga ke Solo.
Walaupun matahari cukup terik, masyarakat tampak asyik-asyik saja menikmati wisata gratis ini. Cuma sayangnya ya satu itu, pemberangkatan perahu terlalu siang, sekitar pukul 11.00.Â
Saya sendiri bersama keluarga, setelah mendapat momen foto yang saya tunggu, yaitu larung sesaji sebagai simbol permohonan ke Illahi Robbi, Tuhan Semesta Alam, agar senantiasa diberi rezeki, keselamatan, dan keberkahan hidup, langsung meluncur ke Taman Bengawan Solo di Kota Bojonegoro untuk meneruskan menikmati wisata ini: menunggu perahu tiba.