FESTIVAL PERSAHABATAN DENGAN ALAM
Festival Bengawan Solo yang jadi kalender tahunan wisata Bojonegoro menjelang ulang tahunnya ini, bisa disebut sebagai festival persahabatan dengan alam. Ini mungkin sebuah upaya mendekatkan secara batin Wong Bojonegoro agar tidak "nyingkur" (memunggungi) Bengawan Solo. Sebuah kesadaran yang sudah lama diperjuangkan namun hasilnya belum menggembirakan.
Taman Bengawan Solo di Ledok Wetan utara Bojonegoro itu misalnya, adalah sebuah taman terbuka (walau tak terlalu luas karena sebenarnya merupkan tanggul), didirikan untuk warga. Saat banjir, tempat ini adalah tempat menantau ketinggian permukaan air. Saat Bengawan Solo bersahabat, tempat ini bisa jadi tempat warga memamandang dan menikmati pemandangan Bengawan Solo.
Jika masyarakat punya kesadaran dan menikmati bukan "nyingkur" Bengawan Solo, tentu ada keterikatan batin untuk memikirkan kelestarian termasuk kebersihan kawasan Bengawan Solo. Taman ini dulunya, juga digagas sebagai tempat pertunjukan musik keroncong atau yang lain, pada saat-saat tertentu. Sayangnya, saat ini Taman Bengawan Solo sudah dipenuhi kios dan lapak pedagang, sehingga sebutan taman kok rasanya kurang pas.
Entahlah, apakah setelah dua tahun menggelar Festival Bengawan Solo, eksistensi Taman Bengawan Solo di Bojonegoro itu akan dipulihkan. Memang masih harus ditunggu dengan sabar. Namun, keberadaan taman itu  jelas memang tak bisa dipisahkan dari upaya penyadaran agar Wong Bojonegoro punya perhatian lebih pada Bengawan Solo yang sudah berabad-abad menemani dalam senang dan susah.Â
Kesadaran agar tidak buang sampah sembarangan, termasuk melakukan reboisasi agar daerah bantaran sungai tak kritis dan longsor. Kesadaran agar tidak menambang pasir sembarangan sehingga membahayakan lingkungan termasuk jembatan. Contoh yang kini terjadi adalah penambangan pasir hanya beberapa puluh meter dari di sisi timur Jembatan Bojonegoro-Tuban. Kalau dibiaran, kasus kerusakan jembatan di Mojokerto belasan tahun lalu, bisa menimpa jembatan ini.
Karena itulah, Festival Bengawan Solo ini sebenarnya menegaskan kembali upaya menjalin hubungan yang lebih bersahabat antara Wong Bojonegoro dan alam Bengawan Solo. Dua kesatuan alam yang tak pernah terpisah sejak ribuan tahun lalu, dengan kisah suka dan susah, dalam goresan budaya dan tembang.Â
Kesadaran tentang perlunya bersahabat dengan Bengawan Solo sudah digelorakan sejak lama, Â namun masih terkesan sekedar ajang noltalgia karena kurangnya kesadaran masyarakat. Apakah kali ini akan berbeda hasilnya, tentu harus ditunggu.
Bengawan Solo sungai terpanjang di Jawa 548,53 km, yang berkelak-kelok mulai dari daerah hulu utama Wonogiri, Solo, Jawa Tengah dan hulu kedua di Ponorogo yang mengalir hingga Ujung Pangkah, Gresik Jawa Timur, memang punya berjuta cerita dari dulu kala. Keelokannya, kemurahatiannya, hingga kegarangannya adalah kisah keseharian bagi warga yang bersandingan dengannya.
Bagi warga Bojonegoro, yang daerahnya juga kotanya terbelah oleh sungai ini, Bengawan Solo adalah rutinitas keseharian. Ada pertalian psikis yang telah mengikat manusia Bojonegoro dan alam Bengawan Solo, dari generasi ke generasi. Ada persahabatan di antara keduanya, baik dalam senang maupun susah.Â