Dari jumlah itu, yang menyampaikan SPT Tahunan PPh hanya 18.159.840 WP Wajib SPT., terdiri atas 1.184.816 WP Badan, 2.054.732 WP OP Non Karyawan, dan 14.920.292 WP OP Karyawan. Sayangnya, dari jumlah 18.159.840 WP Wajib SPT itu, baru 10.945.567 WP yang menyampaikan SPT Tahunan atau 60,27% dari jumlah total WP Wajib SPT.
Reformasi perpajakan yang hendak dicapai lewat program pengampunan pajak, tentu juga mengacu pada data itu. Meskipun demikian, asas keadilan, prioritas wajib pajak yang jadi target tentu harus dirumuskan dengan jelas. Jangan sampai kelompok masyarakat "miskin tidak kaya juga tidak" alias berpenghasilan pas-pasan atau sedikit di atas Rp 54 juta per tahun, atau omzet usahanya Rp 4,8 miliar namun usahanya masih sekedar hidup, yang ditekan untuk ikut pengampunan pajak.
MENUNGGU HARTA KONGLOMERAT TAX AMNESTY
Sejak awal rencana digulirkannya program pengampunan pajak memang yang disebut hadi sasaran utama adalah pengusaha dan konglomerat berharta banyak yang tak melaporkan hartanya, khususnya yang disimpan di luar negeri. Mereka yang berharta ribuan triliun iniah yang jadi sasaran utama, dengan harapan ada dana repratiasi dan bayar uang tebusan untuk menyokong APBN.
Adalah menarik menyimak pernyataan Ketua DPR Ade Komaruddin yang mempertanyakan, Â benarkah pemerintah tidak berdaya menghadapi konglomerat besar yang jadi target utama. Apakah Direktorat Jenderal Pajak merasa takut atau ditakut-takuti oleh konglomerat besar itu, sehingga akhirnya melampiaskan ketidakberdayaannya dengan menyasar golongan masyarakat yang justru bukan target program ini.
Konglomerat besar dan orang berharta yang memiliki kekayaan di luar negeri namun tak dilaporkan ke Ditjen Pajak, menghindari kewajiban membayar pajak ke negara, yang disebut harta dan asetnya senilai Rp 11,45 ribu triliun, sejak UU Pengampunan Pajak baru berupa RUU dan dibahas di DPR, memang sasaran utama program ini. Angka Rp 11,45 ribu triliun itu adalah angka versi Departemen Keuangan, versi BI lain lagi lebih kecil jumlahnya, hanya Rp 3.147 triliun.
Merujuk BI yang mengacu data Global Financial Integritu (GFI) pada 2015, potensi dana yang direpratiasi sekitar Rp 560 triliun, dengan besar pemasukan tebusan sekitar Rp 45,7 triliun. Namun, di pemerintah ternyata angkanya jauh lebih besar yaitu Rp 165 triliun, sesuai perhitungan Departemen Keuangan, mengacu pada jumlah Rp 11,45 ribu triliun itu.
Banyak pihak yang pesimis target Rp 165 triliun yang dipatok pemerintah. Tak terkecuali Sofyan Wanandi, ketua Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia. Pihaknya merasa tak pernah menjanjikan angka pemasukan sebesar itu. Dia hanya dimintai perkiraan yang disebutnya hanya berkisar antara Rp 60 triliun - Rp 80 triliun
Para konglomerat itulah yang ditawari pengampunan, diberi kesempatan untuk kembali ke jalan yang benar dengan mencatatkan kekayaannya ke negara. Mereka diharapkan mau membawa pulang kekayaannya untuk membangun negeri ini. Kalau tidak mau repratiasi, setidaknya mereka mau deklarasi harta kekayaannya itu dan membayar uang tebusan ke negara.Â
Sekarang, setelah memasuki bulan September dan harta yang dideklarasi baru mencapai Rp 149 triliun, dengan uang tebusan mencapai Rp 3,12 triliun dari target Rp 165 triliun. Dari jumlah deklarasi harta dalam negeri mencapai Rp 118 triliun. Sementara yang dari luar hanya Rp 21,2 triliun dan yang direpratiasi Rp 10 triliun.
Angka-angka itu memang masih jauh dari target, sementara periode I dengan uang tebusan terkecil yaitu 2 persen untuk harta di dalam negeri atau direpratiadi, dan 4 persen untuk yang hanya deklarasi, tinggal satu bulan. Karena itulah wajar jika ada yang mempertanyakan para konglomerat berharta besar itu kok masih adem-adem saja.