Â
4.  Munasabah Dalam Tinjauan Ilmuan Al-Qur’an Kontemporer
Terdapat tiga bidang kajian yang mesti dibedakan, yaitu teks orisinil Islam, pemikiran Islam yang dianggap sebagai bentuk interpretasi atas teks, dan perwujudan praktik sosio-historis yang berbeda beda. Dalam tradisi pemikiran Islam, pergeseran seringkali dinyatakan sebagai bentuk penyimpangan dan arus utama yang memegang hak monopoli kebenaran. Walaupun dalam pemikirannya, modern ini sesungguhnya juga pernah terlewati pada masa klasik atau kuno. Tetaplah kiranya Islam telah membawa moderenitas kepada dunia pada abad VII sehingga sangat mungkin untuk menganalisis dan menjelaskan bagaimana moderenitas diimplementasikan oleh kalangan muslim sepanjang abad XII. Demikian ungkapan Abu Zaid.
Â
Meskipun demikian, muslim saat ini enggan menerima modernitas kontemporer dengan alasan bahwa sebagian besar nilai nilainya bertentangan dengan Islam atau berasal dari legalisasi manusia. Oleh karena itu, menjadi penting disini untuk menilai dan mengurai tinjauan ilmuan kontemporer yang mempunyai banyak perhatian terhadap kajian Al-Qur’an. Diantara sarjana kontemporer yang mempunyai banyak perhatian terhadap kajian Al-Qur’an adalah Amin Abdirrhman Bintu Al-Syathi’ (1913-1998), Muhammad Arkoun (1. 1928), Nashr Hamid Abu Zaid (1943-2010), Muhammad Abid Al-Jabiri (1. 1936), Hassan Hanafi (1. 1935), Muhammad Syahrur (1. 1938), Fazlur Rahman (1919-1988), Manna’ Al-Qaththan (1345-1420 H/1925-1999 M), dan Sa’id Hawwa.
Â
Tokoh yang bisa dikatakan pengkaji ‘ulum Al-Qur’an kontemporer ini sebagian besar memiliki berbagai bekal metodologi baru dan mencoba mendekati Al-Qur’an dengan kacamata baru.
Â
Â
5. Â Menyoal Munasabah: Respons Terhadap Kritik Ilmuan Barat dan Orientalis
Terjadi pergeseran cara pandang di kalangan sarjana terhadap Al-Qur’an sejak seelum akhir abad XX. Huston Smith dalam The World’s Religions mengatakan bahwa belum pernah ada kitab dalam khazanah keagamaan pada kebudayaan lain yang demikian sulit dimengerti oleh orang Barat selain Al-Qur’an. Apabila pada masa masa sebelumnya Al-Qur’an dipandang dari sisi asal usul, akhir akhir ini kitab tersebut dipandang sebagai kitab yang independen. Dengan kata lain, Al-Qur’an tidak dipandang dari sumber kemunculannya, tetapi sebagai fakta kultural dan Al-Qur’an itu sendiri memang bermakna bagi masyarakat.