Â
"Kajian tentang Munasabah (ketersambungan) pada sistematika urutan ayat dengan ayat atau surah dengan surah yang terdapat dalam Mushaf Usmani, kini tidak berdasarkan pada kronologis turunya al-Qur’an. Padahal ada sejumlah indikasi yang menunjukan bahwa al-Qur’an, memiliki satu kesatuan arti dengan lainnya.
Â
Demikian pernyataan Hasani Ahmad Said saat mempertahankan disertasinya yang berjudul Diskursus Munasabah al-Qur’an: Kajian Atas Tafsir al-Misbah dalam sidang promosi doktor di Aula Sekolah Pascasarjana (Sps) UIN Jakarta, Senin (28/3)."Â
Â
Itulah sedikit ulasan dari sang penulis buku, DR. Hasani Ahmad Said, MA.
Berikut ini adalah Rangkuman dari sis buku tersebut.
 Â
1.  Munasabah dalam kajian Al-Qur’an
Kajian munasabah berawal dari kenyataan bahwa sistematika urutan ayat-ayat atau surah surah Al-Qur;an sebagaimana terdapat dalam mushaf Utsmani sekarang tidak berdasarkan pada kronologi turunnya. Namun, setiap ayat turun Nabi memberitahu tempat ayat ayat itu dari segi sistematika urutannya dengan memerintah sahabatnya untuk menulis. Al-Zamakhsyari memberi penjelasan mengenai Surah Hud ayat 1 dengan mengumpamakan Al-Qur’an susunannya laksana sebuah bangunan yang kokoh.
Â
Terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama Salaf tentang urutan surah di dalam Al-Qur’an. Pendapat pertama didasarkan pada tauqifi dari Nabi. Golongan kedua berpendapat bahwa hal itu didasarkan atas ijtihadi.Para sahabat telah sepakatdan memastikan bahwa susunan dan sistematika urutan ayat-ayat adalah tauqifi. Golongan ketiga berpendapat serupa dengan golongan pertama, kecuali surah Al-Anfal dan Bara’ah yang dipandang bersifat ijtihadi.
Â
Jumhur ulama telah sepakat bahwa urutan ayat dalam satu surah merupakan urutan urutan tauqifi, yaitu urutan yang sudah ditentukan oleh Rasulullah SAW sebagai penerima wahyu. Akan tetapi, mereka berselisih pendapat tentang urutan urutan surah dalam mushaf, apakah tauqifi atau ijtihadi. Nashr Hamid Abu Zaid, wakil dari ulama kontemporer, berpendapat bahwa urutan uruan surah dalam mushaf sebagai tauqifi karena menurutnya pemahaman seperti itu sesuai dengan konsep wujud teks imanen yang sudah ada di Lauh Mahfuzh.
Â
Perbedaan Antara urutan turun dan urutan pembacaan merupakan perbedaan yang terjadi dalam susunan dan penyusunan yang pada gilirannya dapat mengungkapkan persesuaian antarayat dalam satu surah dan antarsurah yang berbeda sebagai usaha menyingkapkan sisi lain dari i’jaz.
Â
Â
 2.  Melacak Tradisi Awal Munasabah
Satu diantara cabang dari ‘ulum Al-Qur’an yang membahas persesuaian itu adalah ilmu munasabah. Timbulnya munasabah ini bertolak dari fakta sejarah bahwa susunan ayat dan tertib surah demi surah Al-Qur’an sebagaimana terdapat dalam mushaf sekarang (mushaf Utsmani atau yang lebih dikenal dengan mushaf Al-Imam) tidak didasarkan kronologis.
Â
Kronologis turunnya ayat atau surah Al-Qur’an tidak diawali dengan Surah Al-Fatihah, tetapi diawali dengan lima ayat pertama Surah Al-Alaq. Selanjutnya, surah yang kedua turun adalah Surah Al-Muddatstsir, sementara surah kedua dalam mushaf yang digunakan sekarang adalah Surah Al-Baqarah. Persoalan inilah yang kemudian melahirkan kajian munasabah dalam ‘ulum Al-Qur’an.
 Â
Â
 3.   Munasabah Prespektif Pakar Ilmuan Al-Qur’an dari Klasik Hingga Pramodern
Tokoh yang bisa dibilang pencetus pertama kali kajian munasabah adalah Al-Naisaburi (w. 324 H). Namun, Muhammad Husain Al-Dzahabi memaparkan bahwa karya ini sayangnya sudah tidak ditemukan lagi. Selanjutnya, paling tidak ada dua ulama klasik yang dijadikan acuan dalam pemikiran munasabah, yaitu Al-Zarkasyi dan Al-Biqa’i.
Â
Al-Zarkasyi (745-794 H) muncul jauh setelah Al-Naisaburi (w. 324 H). Kajiannya tentang munasabah tertuang dalam kitab Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an. Ada dua pola munasabah yang dikenal olehnya, yaitu pola munasabah antarsurah dan pola antarayat.
Â
Selanjutnya, dalam menjelaskan analisis kedua, Al-Zarkasyi menggunakan sisipan (istithrad) dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 189 ketika disebutkan mengenai waktu haji disebutkan pula mengenai kebiasaan orang orang Arab ketika sedang musim haji. Jadi kalau ditelaah lebih jauh, ada satu pertanyaan yang kemudian dijawab dengan dua jawaban dalam satu ayat. Hal ini sama dengan pertanyaan mengnai air laut yang kemudian dijawab oleh Nabi bahwa air laut itu suci dan bangkainya halal.
Â
Ulama klasik yang kedua adalah Burhanuddin Al-Biqa’I (809-885 H/1406-1480 M). Ia mampu merangkum pemikirannya mengenai munasabah dalam Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar. Ia mampu membuktikan adanya hubungan yang serasi dalam sistematika Al-Qur’an, baik dari kata demi kata dalam ayat ayatnya, surah demi surah, maupun Antara kandungan surah dalam Al-Qur’an.
 Â
Â
4.  Munasabah Dalam Tinjauan Ilmuan Al-Qur’an Kontemporer
Terdapat tiga bidang kajian yang mesti dibedakan, yaitu teks orisinil Islam, pemikiran Islam yang dianggap sebagai bentuk interpretasi atas teks, dan perwujudan praktik sosio-historis yang berbeda beda. Dalam tradisi pemikiran Islam, pergeseran seringkali dinyatakan sebagai bentuk penyimpangan dan arus utama yang memegang hak monopoli kebenaran. Walaupun dalam pemikirannya, modern ini sesungguhnya juga pernah terlewati pada masa klasik atau kuno. Tetaplah kiranya Islam telah membawa moderenitas kepada dunia pada abad VII sehingga sangat mungkin untuk menganalisis dan menjelaskan bagaimana moderenitas diimplementasikan oleh kalangan muslim sepanjang abad XII. Demikian ungkapan Abu Zaid.
Â
Meskipun demikian, muslim saat ini enggan menerima modernitas kontemporer dengan alasan bahwa sebagian besar nilai nilainya bertentangan dengan Islam atau berasal dari legalisasi manusia. Oleh karena itu, menjadi penting disini untuk menilai dan mengurai tinjauan ilmuan kontemporer yang mempunyai banyak perhatian terhadap kajian Al-Qur’an. Diantara sarjana kontemporer yang mempunyai banyak perhatian terhadap kajian Al-Qur’an adalah Amin Abdirrhman Bintu Al-Syathi’ (1913-1998), Muhammad Arkoun (1. 1928), Nashr Hamid Abu Zaid (1943-2010), Muhammad Abid Al-Jabiri (1. 1936), Hassan Hanafi (1. 1935), Muhammad Syahrur (1. 1938), Fazlur Rahman (1919-1988), Manna’ Al-Qaththan (1345-1420 H/1925-1999 M), dan Sa’id Hawwa.
Â
Tokoh yang bisa dikatakan pengkaji ‘ulum Al-Qur’an kontemporer ini sebagian besar memiliki berbagai bekal metodologi baru dan mencoba mendekati Al-Qur’an dengan kacamata baru.
Â
Â
5. Â Menyoal Munasabah: Respons Terhadap Kritik Ilmuan Barat dan Orientalis
Terjadi pergeseran cara pandang di kalangan sarjana terhadap Al-Qur’an sejak seelum akhir abad XX. Huston Smith dalam The World’s Religions mengatakan bahwa belum pernah ada kitab dalam khazanah keagamaan pada kebudayaan lain yang demikian sulit dimengerti oleh orang Barat selain Al-Qur’an. Apabila pada masa masa sebelumnya Al-Qur’an dipandang dari sisi asal usul, akhir akhir ini kitab tersebut dipandang sebagai kitab yang independen. Dengan kata lain, Al-Qur’an tidak dipandang dari sumber kemunculannya, tetapi sebagai fakta kultural dan Al-Qur’an itu sendiri memang bermakna bagi masyarakat.
Â
Melacak tradisi awal orientalis yang berkonsentrasi dalam penyusunan Al-Qur’an berdasarkan kronologi turunnya surah, disinyalir telah ada sejak pertengahan abad XIX, bahkan sejak jauh sebelum itu. Al-Bahi menduga embrio orientalisme sudah ada pada abad XIII. Hal ini ditandai dengan mulai munculnya orientalisme, khususnya setelah Renaissance dan reformasi ajaran agama Kristen.
Â
Mingana menyatakan bahwa sudah tiba saatnya untuk melakukan kritik teks terhadap Al-Qur’an sebagaimana telah dilakukan kritik terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani.
Â
Dalam satu artikel di Encyclopedia Britannica (1891), Noldeke menyebutkan banyak kekeliruan di dalam Al-Qur’an. Menurutnya, Muhammad itu jahil tentang sejarah awal agama Yahudi sehingga ia sering keliru dalam mengucapkan nama. Noldeke mengatakan bahwa orang Yahudi yang paling tolol sekalipun tidak pernah salah menyebut Haman (Mentri Ahasuerus) untuk mentri Fir’aun ataupun menyebut Mariam, saudara perempuan Musa dengan Maryam (Miriam), Ibu Al-Masih. Selain itu, karena kebodohannya pula tentang sesuatu du luar tanah Arab, Muhammad menyebutkan suburnya negri Mesir karena hujan, bukan karena melimpahnya air dari Sungai Nil.
 Â
Dari pemaparan di atas jelas Noldeke mengada ada. Bagaimana mungkin Nabi lupa dalam menyampaikan ayat yang disampaikan dari Allah melalui Malaikat Jibril. Malaikat Jibril selalu mengawal dan membimbing Nabi. Al Hasil, Animo untuk mengkaji Al-Qur’an dan meyakini kebenarannya semakin tinggi.
Â
Â
Begitu banyak makna yang terdapat dari isi buku tersebut, dan kitapun menjadi tau kenapa Al-Qur'an itu disusun dari Mushaf Usmani urutannya seperti itu. Dan berikut adalah Resensi buku tersebut:
Â
Identitas Buku
Judul Resensi             : Peranan Munasabah Sebagai Instrumen Penafsiran Al-Qur’an
Judul Buku                 : Diskursus Munasabah Al-Qur’an dalam Tafsir Al-Mishbah
Penulis Buku              : DR. Hasani Ahmad Said, MA.
Penerbit           : Amzah, 328 hal, 2015
Peresensi          : M. Fariz Azam
Halaman yang di Resensi   : Hal 1-80
Â
Pratinjau
Buku ini berisikan pemaparan tentang betapa Sistematisnya susunan surah pada Al-Qur’an, dijelaskan dari pengertian Munasabah itu apa, sejarahnya seperti apa, lalu tradisi awalnya bagaimana, bahkan ada pula menurut presepsi pakar pakar Al-Qur’an. Pembawaan yang sangat mudah dimengerti karna di tambahkan catatan kaki sehingga kita dengan mudah sekali menelusuri langsung tiap paragraph dari mana sumber materinya, bahkan dilampirkan catatan kaki berupa Hadist riwayat siapa, Dalil Al-Qur’an yang mana, siapa pakarnya, dan banyak lagi
Â
Inti dari buku ini pun tidak menyimpang, dan di bahas menurut logika dan juga Hadist, karena materi buku yang tergolong cukup berat, maka buku ini mengemasnya dengan ringan, dan membagi inti inti permasalahan Munasabah Al-Qur’an dalam beberapa bab. Penulis ingin membawa kita secara langsung mengenal Munasabah dengan rinci dan mudah dimengerti, sehingga kata yang disampaikan pun tergolong kata baku yang mudah dipahami.
Â
Kelebihan isi buku:
Materi dari buku dikemas dengan dalil dan juga sejarah dari materi yang sedang dibahas secara singkat dan jelas, sudut pandangnya pun tidak satu arah, sehingga pembaca dapat membandingkan dari sudut pandang satu dengan sudut pandang ke dua, serta ditambah dengan catatan kaki yang lengkap, sehingga pembaca dapat mengetahui sumber dan keterangan dari materi yang sedang di bahas, serta Bahasa yang disampaikan tergolong cukup mudah untuk dimengerti.
Â
Kekurangan isi buku:
Terlalu banyaknya catatan kaki, sehingga pembaca awam akan merasa sulit dalam mengartikan nya, dan materi yang disampaikan tergolong pengulangan atau dibahas kembali dari halaman sekian dan sekian.
Â
Kesimpulan dan Saran Buku
Buku ini sangat cocok untuk teman teman yang ingin tau sejarah urutan penulisan Al-Qur'an, serta siapa saja tokoh yang terlibat didalamnya, tentu dengan bahasa yang mudah dimengerti serta dengan catatan kaki yang lengkap, namun untuk teman teman yang awam dengan catatan kaki, pasti akan bingung dengan banyaknya catatan kaki di dalam buku ini, sebagus bagusnya buku itulah yang memiliki catatan kaki sebagai perantara referensi dari materi yang sedang dibahas. Jadi jangan ragu akan kebenaran dari isi buku ini.
Â
Saran untuk buku ini adalalah lebih mempersedikit catatan kaki, walaupun tergolong lengkap karena catatan kakinya, namun justru membuat seakan catatan kakilah yang lebih penting daripada isi dari materi itu sendiri, serta pembahasan materi tidak perlu diulang, karena masih ada pengulangan materi yang sudah dibahas, sehingga menjadi kurang efektif saat di baca kembali.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H