Agni melaporkan kejadian tersebut kepada pihak universitas, namun tidak digubris dan malah disalahkan karena dianggap mencemarkan nama baik universitas. Baru setelah koran mahasiswa, Balairung, mengekspos kisahnya, kasus ini menjadi berita nasional dan memicu kampanye media sosial yang disebut #SaveAgni. Namun, kasus Agni masih belum terselesaikan dan ia belum menerima kompensasi atau permintaan maaf dari pihak universitas.
Kasus lain yang menarik perhatian publik adalah kasus Baiq Nuril, seorang guru yang merekam percakapan telepon dengan kepala sekolahnya yang melakukan pelecehan seksual terhadapnya.Â
Dia membagikan rekaman tersebut kepada rekan-rekannya, yang kemudian melaporkannya ke polisi. Alih-alih mendapatkan perlindungan, Nuril justru dihukum karena melanggar undang-undang informasi elektronik dan dijatuhi hukuman enam bulan penjara dan denda 500 juta rupiah (sekitar US$35.000). Ia kemudian diberikan amnesti oleh Presiden Joko Widodo setelah adanya protes dari masyarakat.
Kasus-kasus ini menunjukkan kurangnya reformasi hukum dan kebijakan untuk melindungi pekerja dari pelecehan dan penyerangan di Indonesia. Tidak seperti beberapa negara lain yang telah mengesahkan undang-undang untuk melarang arbitrase paksa, perjanjian kerahasiaan, dan klausul kontrak lainnya yang membungkam para penyintas dan memungkinkan para pelaku, Indonesia tidak memiliki undang-undang khusus tentang kekerasan seksual. Sebuah rancangan undang-undang tentang penghapusan kekerasan seksual telah terhenti di parlemen sejak tahun 2016 karena ditentang oleh kelompok konservatif yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut akan mempromosikan pergaulan bebas dan homoseksualitas.
Gerakan global #MeToo telah menginspirasi beberapa aktivis dan organisasi di Indonesia untuk meluncurkan kampanye online dan acara offline untuk meningkatkan kesadaran dan mengedukasi masyarakat tentang kekerasan seksual. Sebagai contoh, Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene, sebuah majalah feminis online, memprakarsai sebuah kampanye yang disebut #MulaiBicara pada tahun 2016 untuk mendorong para penyintas untuk berbagi cerita dan mencari dukungan. Inisiatif lainnya adalah House of the Unsilenced, sebuah proyek kolaboratif yang mengundang para penyintas untuk mengekspresikan diri mereka melalui seni dan sastra.
Namun, upaya-upaya ini tidak cukup untuk mengubah sikap dan praktik yang telah mengakar yang memungkinkan terjadinya kekerasan seksual di tempat kerja di Indonesia. Masih banyak yang harus dilakukan untuk menantang budaya menyalahkan korban, memberdayakan para penyintas untuk berbicara dan mencari keadilan, meminta pertanggungjawaban pelaku, serta menciptakan lingkungan kerja yang aman dan saling menghormati bagi semua orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H