Mohon tunggu...
Dailymonthly
Dailymonthly Mohon Tunggu... Freelancer - Just Another Blog

Budayakan Membaca Dailymonthly | Prima H. I have been writing for over 10 years. I have written on various topics such as politics, technology, and entertainment. However, my true passion lies in writing about comprehensive analysis and from various points of view. I believe that writing from multiple perspectives allows me to explore my subjects, settings, and moral gray areas from a wider variety of perspectives, which sustains complexity and keeps the reader interested. I have written several articles on this topic and am considered an expert in the field.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kekerasan Seksual: Perjuangan Perempuan Indonesia Memecah Kebisuan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja

4 Juni 2023   10:35 Diperbarui: 4 Juni 2023   10:35 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Perjuangan Perempuan Indonesia (Bing Image Creator)

Kekerasan Seksual: Perjuangan Perempuan Indonesia Memecah Kebisuan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja

"Bagaimana Indonesia Gagal Melindungi Penyintas Kekerasan Seksual di Tempat Kerja"

Undang-Undang Baru Indonesia untuk Mengatasi Kekerasan Seksual: Sebuah Tinjauan Umum

Kekerasan seksual adalah istilah yang mencakup berbagai tindakan seksual yang dilakukan tanpa persetujuan korban. Di Indonesia, kekerasan seksual sering kali dianggap sebagai masalah pribadi dan bukan merupakan kejahatan serius. Namun, setelah 10 tahun advokasi dan perdebatan, parlemen Indonesia mengesahkan undang-undang penting pada tanggal 12 April 2022 untuk mengatasi kekerasan seksual dan melindungi hak-hak korban.

Undang-undang tersebut, yang dikenal sebagai RUU TPKS, mendefinisikan sembilan jenis kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual fisik dan non-fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, pencabulan, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik. 

Undang-undang ini juga mengakui kekerasan seksual di dalam dan di luar pernikahan, yang tidak diakui oleh hukum pidana sebelumnya. Undang-undang ini memberikan hukuman penjara bagi para pelaku mulai dari empat hingga 15 tahun, tergantung pada jenis pelanggarannya. Undang-undang ini juga mengamanatkan bahwa korban menerima restitusi dan konseling dari pihak berwenang.

Undang-undang ini dipandang sebagai langkah besar bagi Indonesia, yang telah menyaksikan peningkatan kasus kekerasan seksual selama pandemi COVID-19. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, ada sekitar 25.200 kasus kekerasan seksual di Indonesia pada tahun 2021, meningkat dari sekitar 20.500 kasus pada tahun 2020. 

Namun, banyak kasus yang tidak dilaporkan karena stigma, rasa malu, dan ketakutan akan pembalasan. Sebuah studi yang dilakukan oleh Perempuan Mahardhika pada tahun 2017 menemukan bahwa dari 773 pekerja perempuan di KBN Cakung, 437 di antaranya pernah mengalami kekerasan seksual di tempat kerja.

Undang-undang ini bertujuan untuk memberikan kerangka hukum bagi para korban untuk mencari keadilan dan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual sejak awal. Namun, beberapa aktivis mengkritik undang-undang tersebut karena cakupannya yang terbatas dan tidak mencakup beberapa masalah seperti aborsi dan pemerkosaan. Mereka juga berpendapat bahwa undang-undang tersebut perlu diimplementasikan secara efektif dan bahwa lebih banyak kesadaran dan pendidikan diperlukan untuk mengubah budaya diam dan impunitas seputar kekerasan seksual di Indonesia.

Persetujuan dan Kekerasan Seksual di Indonesia

Kekerasan seksual adalah masalah serius di Indonesia, di mana banyak kasus tidak dilaporkan atau dituntut karena hukum dan norma sosial yang tidak jelas atau diskriminatif. Salah satu tantangan utama adalah mendefinisikan dan menghormati persetujuan, yang sering disalahpahami atau diabaikan oleh pelaku dan pihak berwenang. 

Persetujuan adalah kesepakatan sukarela dan eksplisit untuk terlibat dalam aktivitas seksual, dan dapat ditarik kapan saja. Persetujuan tidak dapat diberikan oleh orang yang masih di bawah umur, tidak sadar, mabuk, cacat, dipaksa, atau di bawah pengaruh figur otoritas.

Beberapa aktivis dan anggota parlemen telah mendorong RUU tentang pencegahan dan perlindungan kekerasan seksual, yang akan memberikan kerangka hukum yang komprehensif untuk menangani berbagai bentuk kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, pelacuran paksa, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. 

RUU ini juga akan memberikan dukungan dan layanan bagi para korban kekerasan seksual, seperti layanan kesehatan dan bantuan hukum. RUU ini telah terhenti selama bertahun-tahun karena ditentang oleh partai-partai dan kelompok-kelompok Islam konservatif, yang menyatakan bahwa RUU ini akan merusak moralitas dan nilai-nilai keluarga.

Urgensi pengesahan RUU ini disorot oleh kematian tragis Novia Widyasari Rahayu, seorang wanita berusia 23 tahun yang meninggal karena bunuh diri setelah diduga mengalami kekerasan seksual oleh pacarnya. Ia telah melaporkan kasusnya kepada Komisi Nasional Perempuan, namun tidak mendapatkan bantuan yang memadai karena kurangnya sumber daya dan kejelasan hukum. Kematiannya memicu kemarahan publik dan seruan baru agar RUU tersebut disahkan. Presiden Joko Widodo menanggapi hal ini dengan mendesak Dewan Perwakilan Rakyat untuk membahas RUU tersebut sesegera mungkin.

Masalah lain yang mempengaruhi persetujuan adalah kewajiban mengenakan jilbab bagi jutaan anak perempuan dan perempuan di ribuan sekolah negeri. Sebuah peraturan pemerintah baru yang dikeluarkan pada Februari 2021 mengizinkan siswa dan guru untuk memilih apakah akan mengenakan jilbab atau tidak, tetapi peraturan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung pada Mei 2021. 

Mahkamah Agung memutuskan bahwa anak-anak di bawah 18 tahun tidak memiliki hak untuk memilih pakaian mereka, dan bahwa mengenakan jilbab adalah bagian dari identitas nasional Indonesia. Human Rights Watch mendokumentasikan berapa banyak anak perempuan dan perempuan yang dirundung, dilecehkan, atau diusir karena tidak mengenakan jilbab, yang melanggar hak-hak mereka atas pendidikan, kebebasan berekspresi, dan kebebasan beragama.

Militer Indonesia juga menghadapi kritik atas praktik "tes keperawanan" yang dilakukan terhadap calon prajurit perempuan dan tunangan prajurit laki-laki. Tes ini bersifat invasif, tidak ilmiah, dan diskriminatif, serta tidak ada hubungannya dengan kemampuan atau karakter perempuan. Pada Juli 2021, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengumumkan bahwa tes keperawanan akan dihapuskan bagi calon perwira wanita dan pasangannya, tetapi tidak jelas apakah kebijakan ini akan diterapkan di semua cabang militer.

Contoh-contoh ini menunjukkan bagaimana persetujuan sering diabaikan atau dilanggar di Indonesia, terutama bagi perempuan dan anak perempuan. Pemerintah seharusnya menghormati dan melindungi hak-hak semua orang untuk menentukan pilihan mereka sendiri tentang tubuh, seksualitas, dan agama mereka. RUU Pencegahan dan Perlindungan Kekerasan Seksual harus segera disahkan tanpa penundaan lebih lanjut, dan undang-undang serta kebijakan lain yang melemahkan persetujuan harus direformasi atau dicabut.

Kebijakan Indonesia tentang Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual di tempat kerja dan lingkungan pendidikan merupakan bentuk diskriminasi berbasis gender yang melanggar hak asasi dan martabat manusia. Di Indonesia, masalah kekerasan seksual telah ditangani oleh berbagai peraturan perundang-undangan, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Pornografi. Namun, undang-undang ini telah dikritik karena tidak memadai, ketinggalan jaman, dan tidak konsisten dalam melindungi hak-hak korban dan mencegah kekerasan seksual.

Untuk mengatasi kesenjangan ini, sebuah organisasi masyarakat sipil bernama Komnas Perempuan memprakarsai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU TPKS) pada tahun 2012. 

RUU TPKS bertujuan untuk memberikan kerangka hukum yang komprehensif bagi korban untuk mendapatkan keadilan, serta meningkatkan kesadaran dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam menciptakan lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual. RUU TPKS juga mengakui sembilan bentuk kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual fisik dan non-fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan pelecehan seksual melalui media elektronik.

Rancangan undang-undang ini menghadapi tentangan keras dari kelompok konservatif yang berargumen bahwa rancangan undang-undang ini bertentangan dengan nilai-nilai agama dan moral, dan akan mendorong pergaulan bebas dan homoseksualitas. Rancangan undang-undang tersebut juga mengalami penundaan dan revisi dalam proses legislasi, hingga akhirnya disahkan oleh parlemen pada tanggal 12 April 2022. Pengesahan undang-undang tersebut dipuji sebagai pencapaian bersejarah dan hadiah bagi perempuan Indonesia oleh Ketua DPR Puan Maharani.

Undang-undang tersebut menetapkan bahwa pelaku kekerasan seksual dapat menghadapi hukuman penjara mulai dari empat hingga 15 tahun, tergantung pada jenis dan tingkat keparahan pelanggaran. Undang-undang ini juga mengamanatkan bahwa korban kekerasan seksual menerima restitusi dan diberikan konseling. Selain itu, undang-undang ini mengakui pelecehan seksual baik di dalam maupun di luar pernikahan, yang merupakan kemajuan yang signifikan dari KUHP yang ada yang tidak mengakui pemerkosaan dalam pernikahan.

Undang-undang ini diharapkan dapat memberikan dampak positif dalam mengurangi angka kekerasan seksual di Indonesia, yang menurut berbagai sumber masih cukup tinggi. 

Menurut laporan tahunan Komnas Perempuan pada tahun 2021, terdapat 13.636 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan kepada mereka, dimana 8.230 kasus di antaranya adalah kekerasan seksual. Menurut survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016, satu dari tiga perempuan berusia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual dalam hidupnya.

Namun, undang-undang ini juga menghadapi beberapa tantangan dalam pelaksanaan dan penegakannya. Beberapa ahli mengatakan bahwa undang-undang ini perlu didukung oleh alokasi anggaran, sumber daya manusia, infrastruktur, dan koordinasi yang memadai di antara lembaga-lembaga terkait. 

Beberapa aktivis juga telah menyatakan keprihatinannya tentang potensi reaksi balik dari kelompok konservatif yang mungkin mencoba untuk menantang atau melemahkan undang-undang tersebut. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan masyarakat sipil untuk terus memantau dan mengevaluasi efektivitas dan dampak undang-undang tersebut dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual di Indonesia.

Gerakan dan Reformasi Tempat Kerja di Indonesia

Terlepas dari kesadaran dan aktivisme global, kekerasan seksual di tempat kerja masih menjadi masalah serius di Indonesia. Para penyintas menghadapi banyak hambatan untuk mendapatkan keadilan, seperti budaya patriarki, nilai-nilai agama yang konservatif, dan praktik penegakan hukum yang tidak peka gender. Gerakan #MeToo, yang dimulai di Amerika Serikat pada tahun 2017 dan menyebar ke banyak negara, belum mendapatkan banyak perhatian di Indonesia. Tagar #SayaJuga, yang merupakan versi bahasa Indonesia dari tagar tersebut, lebih banyak digunakan oleh perempuan yang melek media sosial dan perempuan kelas menengah ke atas, sementara mayoritas perempuan Indonesia lebih banyak diam atau bungkam.

Salah satu kasus kekerasan seksual di tempat kerja yang paling menonjol di Indonesia adalah kasus Agni, seorang mahasiswi di Universitas Gadjah Mada yang diperkosa oleh seorang teman saat KKN di daerah terpencil. 

Agni melaporkan kejadian tersebut kepada pihak universitas, namun tidak digubris dan malah disalahkan karena dianggap mencemarkan nama baik universitas. Baru setelah koran mahasiswa, Balairung, mengekspos kisahnya, kasus ini menjadi berita nasional dan memicu kampanye media sosial yang disebut #SaveAgni. Namun, kasus Agni masih belum terselesaikan dan ia belum menerima kompensasi atau permintaan maaf dari pihak universitas.

Kasus lain yang menarik perhatian publik adalah kasus Baiq Nuril, seorang guru yang merekam percakapan telepon dengan kepala sekolahnya yang melakukan pelecehan seksual terhadapnya. 

Dia membagikan rekaman tersebut kepada rekan-rekannya, yang kemudian melaporkannya ke polisi. Alih-alih mendapatkan perlindungan, Nuril justru dihukum karena melanggar undang-undang informasi elektronik dan dijatuhi hukuman enam bulan penjara dan denda 500 juta rupiah (sekitar US$35.000). Ia kemudian diberikan amnesti oleh Presiden Joko Widodo setelah adanya protes dari masyarakat.

Kasus-kasus ini menunjukkan kurangnya reformasi hukum dan kebijakan untuk melindungi pekerja dari pelecehan dan penyerangan di Indonesia. Tidak seperti beberapa negara lain yang telah mengesahkan undang-undang untuk melarang arbitrase paksa, perjanjian kerahasiaan, dan klausul kontrak lainnya yang membungkam para penyintas dan memungkinkan para pelaku, Indonesia tidak memiliki undang-undang khusus tentang kekerasan seksual. Sebuah rancangan undang-undang tentang penghapusan kekerasan seksual telah terhenti di parlemen sejak tahun 2016 karena ditentang oleh kelompok konservatif yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut akan mempromosikan pergaulan bebas dan homoseksualitas.

Gerakan global #MeToo telah menginspirasi beberapa aktivis dan organisasi di Indonesia untuk meluncurkan kampanye online dan acara offline untuk meningkatkan kesadaran dan mengedukasi masyarakat tentang kekerasan seksual. Sebagai contoh, Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene, sebuah majalah feminis online, memprakarsai sebuah kampanye yang disebut #MulaiBicara pada tahun 2016 untuk mendorong para penyintas untuk berbagi cerita dan mencari dukungan. Inisiatif lainnya adalah House of the Unsilenced, sebuah proyek kolaboratif yang mengundang para penyintas untuk mengekspresikan diri mereka melalui seni dan sastra.

Namun, upaya-upaya ini tidak cukup untuk mengubah sikap dan praktik yang telah mengakar yang memungkinkan terjadinya kekerasan seksual di tempat kerja di Indonesia. Masih banyak yang harus dilakukan untuk menantang budaya menyalahkan korban, memberdayakan para penyintas untuk berbicara dan mencari keadilan, meminta pertanggungjawaban pelaku, serta menciptakan lingkungan kerja yang aman dan saling menghormati bagi semua orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun