Kekerasan seksual adalah masalah serius di Indonesia, di mana banyak kasus tidak dilaporkan atau dituntut karena hukum dan norma sosial yang tidak jelas atau diskriminatif. Salah satu tantangan utama adalah mendefinisikan dan menghormati persetujuan, yang sering disalahpahami atau diabaikan oleh pelaku dan pihak berwenang.Â
Persetujuan adalah kesepakatan sukarela dan eksplisit untuk terlibat dalam aktivitas seksual, dan dapat ditarik kapan saja. Persetujuan tidak dapat diberikan oleh orang yang masih di bawah umur, tidak sadar, mabuk, cacat, dipaksa, atau di bawah pengaruh figur otoritas.
Beberapa aktivis dan anggota parlemen telah mendorong RUU tentang pencegahan dan perlindungan kekerasan seksual, yang akan memberikan kerangka hukum yang komprehensif untuk menangani berbagai bentuk kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, pelacuran paksa, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.Â
RUU ini juga akan memberikan dukungan dan layanan bagi para korban kekerasan seksual, seperti layanan kesehatan dan bantuan hukum. RUU ini telah terhenti selama bertahun-tahun karena ditentang oleh partai-partai dan kelompok-kelompok Islam konservatif, yang menyatakan bahwa RUU ini akan merusak moralitas dan nilai-nilai keluarga.
Urgensi pengesahan RUU ini disorot oleh kematian tragis Novia Widyasari Rahayu, seorang wanita berusia 23 tahun yang meninggal karena bunuh diri setelah diduga mengalami kekerasan seksual oleh pacarnya. Ia telah melaporkan kasusnya kepada Komisi Nasional Perempuan, namun tidak mendapatkan bantuan yang memadai karena kurangnya sumber daya dan kejelasan hukum. Kematiannya memicu kemarahan publik dan seruan baru agar RUU tersebut disahkan. Presiden Joko Widodo menanggapi hal ini dengan mendesak Dewan Perwakilan Rakyat untuk membahas RUU tersebut sesegera mungkin.
Masalah lain yang mempengaruhi persetujuan adalah kewajiban mengenakan jilbab bagi jutaan anak perempuan dan perempuan di ribuan sekolah negeri. Sebuah peraturan pemerintah baru yang dikeluarkan pada Februari 2021 mengizinkan siswa dan guru untuk memilih apakah akan mengenakan jilbab atau tidak, tetapi peraturan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung pada Mei 2021.Â
Mahkamah Agung memutuskan bahwa anak-anak di bawah 18 tahun tidak memiliki hak untuk memilih pakaian mereka, dan bahwa mengenakan jilbab adalah bagian dari identitas nasional Indonesia. Human Rights Watch mendokumentasikan berapa banyak anak perempuan dan perempuan yang dirundung, dilecehkan, atau diusir karena tidak mengenakan jilbab, yang melanggar hak-hak mereka atas pendidikan, kebebasan berekspresi, dan kebebasan beragama.
Militer Indonesia juga menghadapi kritik atas praktik "tes keperawanan" yang dilakukan terhadap calon prajurit perempuan dan tunangan prajurit laki-laki. Tes ini bersifat invasif, tidak ilmiah, dan diskriminatif, serta tidak ada hubungannya dengan kemampuan atau karakter perempuan. Pada Juli 2021, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengumumkan bahwa tes keperawanan akan dihapuskan bagi calon perwira wanita dan pasangannya, tetapi tidak jelas apakah kebijakan ini akan diterapkan di semua cabang militer.
Contoh-contoh ini menunjukkan bagaimana persetujuan sering diabaikan atau dilanggar di Indonesia, terutama bagi perempuan dan anak perempuan. Pemerintah seharusnya menghormati dan melindungi hak-hak semua orang untuk menentukan pilihan mereka sendiri tentang tubuh, seksualitas, dan agama mereka. RUU Pencegahan dan Perlindungan Kekerasan Seksual harus segera disahkan tanpa penundaan lebih lanjut, dan undang-undang serta kebijakan lain yang melemahkan persetujuan harus direformasi atau dicabut.
Kebijakan Indonesia tentang Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual di tempat kerja dan lingkungan pendidikan merupakan bentuk diskriminasi berbasis gender yang melanggar hak asasi dan martabat manusia. Di Indonesia, masalah kekerasan seksual telah ditangani oleh berbagai peraturan perundang-undangan, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Pornografi. Namun, undang-undang ini telah dikritik karena tidak memadai, ketinggalan jaman, dan tidak konsisten dalam melindungi hak-hak korban dan mencegah kekerasan seksual.