Tanggapan Masyarakat
      Peristiwa tersebut menimbulkan rasa marah dan kekecewaan dari berbagai kalangan, mengingat kekerasan fisik terhadap anak merupakan pelanggaran hak asasi yang sangat serius. Banyak pihak, termasuk warga sekitar dan organisasi perlindungan anak, menyerukan agar pihak berwajib memberikan hukuman yang setimpal kepada pelaku. Mereka berharap agar Dina Mariana mendapat hukuman yang adil, baik sebagai bentuk efek jera bagi pelaku kekerasan fisik maupun sebagai sinyal bagi masyarakat bahwa kekerasan terhadap anak tidak dapat ditoleransi.[1] Masyarakat juga menekankan perlunya proses hukum yang cepat dan transparan agar korban, dalam hal ini anak sambungnya, bisa mendapatkan perlindungan dan pemulihan yang maksimal.Â
Â
Kasus kekerasan yang dilakukan oleh seorang ibu tiri terhadap anak sambungnya, yang terjadi di Jalan Kalibaru Barat, Cilincing, Jakarta Utara, pada 16 September 2024, telah memicu beragam tanggapan dari masyarakat. Kejadian tragis ini menimbulkan keprihatinan mendalam di kalangan warga, yang merasa tercoreng dengan kenyataan bahwa kekerasan dalam rumah tangga, terutama yang melibatkan hubungan ibu tiri dan anak sambung, masih sering terjadi meskipun sudah ada banyak upaya pencegahan. Masyarakat menilai tindakan tersebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai dasar dalam keluarga, yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dan kasih sayang.
Â
Banyak yang merasa kesal dan marah terhadap tindakan Dina Mariana, yang dianggap tidak manusiawi dan menciderai nilai moral dasar dalam sebuah keluarga. "Seorang ibu tiri harusnya bisa menjadi figur yang membimbing dan merawat anak sambungnya dengan penuh kasih sayang, bukan malah melakukan kekerasan," ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya. Rasa kecewa ini muncul karena masyarakat menilai bahwa peran ibu tiri seharusnya bisa membawa kedamaian dan kehangatan dalam keluarga, bukan sebaliknya, menyakiti dan menambah penderitaan bagi anak.
Â
Di sisi lain, beberapa kalangan menganggap kasus ini mencerminkan kurangnya perhatian terhadap pola asuh yang sehat dalam keluarga, terutama dalam keluarga yang terlibat dalam pernikahan kedua atau yang melibatkan anak sambung. "Keluarga seperti ini membutuhkan bimbingan lebih dalam mengelola hubungan antar anggota keluarga," ungkap seorang psikolog keluarga. Mereka berpendapat bahwa faktor-faktor seperti perasaan cemburu, ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan peran baru, atau bahkan perbedaan pola asuh antara pasangan, bisa menjadi pemicu utama dalam terjadinya kekerasan semacam ini. Oleh karena itu, penting untuk memberi perhatian lebih pada dinamika psikologis dalam keluarga yang terlibat dalam pernikahan kedua atau keluarga dengan anak sambung.
Â
Sebagian masyarakat juga menyoroti pentingnya peran hukum dan kebijakan perlindungan anak dalam menangani kasus seperti ini. Mereka berharap agar pihak berwenang tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga memberikan perhatian khusus terhadap kebutuhan psikologis korban. "Anak yang menjadi korban kekerasan seperti ini tidak hanya perlu keadilan, tetapi juga pemulihan mental dan fisik.[2] Kita harus memastikan bahwa anak-anak mendapatkan perlindungan maksimal," ujar seorang aktivis perlindungan anak. Mereka mendesak agar sistem hukum lebih tegas dalam menangani kekerasan terhadap anak, serta memberikan perlindungan yang lebih baik bagi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Â