Pemeriksaan pajak merupakan salah satu instrumen penting dalam memastikan pelaksanaan kewajiban perpajakan oleh wajib pajak. Dalam konteks hukum di Indonesia, Pasal 17C Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) mengatur tentang hak pemeriksa pajak untuk melakukan pemeriksaan terhadap wajib pajak yang diduga tidak memenuhi kewajibannya. Mekanisme ini berfungsi untuk mencegah terjadinya pelanggaran perpajakan dan untuk memastikan bahwa setiap individu atau badan menjalankan kewajiban perpajakannya secara jujur.
Namun, pemeriksaan pajak juga memerlukan kehati-hatian, karena menyangkut hak-hak wajib pajak dan upaya menjaga kepentingan negara. Dalam hal ini, pendekatan Cardinal Virtue yang dikemukakan oleh filsuf Thomas Aquinas dapat menjadi panduan etis bagi petugas pajak dalam melaksanakan tugas mereka. Cardinal Virtue atau "Kebajikan Pokok" mencakup empat aspek utama: Prudence (kebijaksanaan atau bernalar), Temperance (pengendalian diri atau moderasi), Fortitude (ketabahan atau kesabaran), dan Justice (keadilan). Masing-masing kebajikan ini berperan penting dalam mengarahkan tindakan pemeriksaan agar tetap etis dan adil.
Apa Itu Cardinal Virtue dalam Pandangan Aquinas?
Cardinal Virtue adalah kebajikan-kebajikan yang dianggap pokok oleh Thomas Aquinas, yang mengacu pada dasar moralitas yang membentuk perilaku manusia agar lebih etis dan adil. Keempat kebajikan ini menekankan pentingnya tindakan manusia yang bijaksana, terkendali, tabah, dan adil, khususnya dalam menjalankan kewenangan yang berpotensi besar mempengaruhi orang lain. Berikut adalah deskripsi singkat tentang setiap Cardinal Virtue
Prudence (Kebijaksanaan/Bernalar), Kebijaksanaan mencakup kemampuan untuk bernalar dan membuat keputusan berdasarkan pertimbangan yang matang. Dalam konteks pemeriksaan pajak, kebijaksanaan ini menuntut petugas pajak agar mampu menilai situasi dan menentukan langkah yang paling tepat.
Temperance (Pengendalian Diri/Moderasi), Kebajikan ini menuntut pengendalian diri dan tidak bertindak berlebihan. Dalam pemeriksaan, temperance mengharuskan petugas pajak untuk menghindari tindakan represif atau intimidatif yang bisa merugikan wajib pajak tanpa alasan yang cukup.
Fortitude (Ketabahan/Sabar), Fortitude berarti memiliki ketabahan dan kesabaran dalam menghadapi berbagai tantangan. Bagi petugas pajak, ini berarti tidak menyerah ketika menghadapi kesulitan dan tetap konsisten dalam pelaksanaan tugas tanpa melanggar batas etis.
Justice (Keadilan), Keadilan adalah kebajikan yang memastikan bahwa setiap individu mendapatkan perlakuan yang setara dan sesuai dengan haknya. Keadilan dalam pemeriksaan pajak berarti memastikan bahwa proses pemeriksaan dilakukan dengan jujur dan tanpa diskriminasi.
Mengapa Cardinal Virtue Penting dalam Pemeriksaan Pajak?
Penerapan Cardinal Virtue dalam mekanisme pemeriksaan pajak yang diatur oleh Pasal 17C UU KUP menjadi penting karena beberapa alasan utama
Menghindari Penyalahgunaan Wewenang, Pemeriksaan pajak memberikan kewenangan besar kepada petugas pajak untuk memeriksa informasi finansial wajib pajak. Cardinal Virtue membantu petugas pajak agar tidak menyalahgunakan kewenangan ini untuk tujuan yang tidak sesuai.
Menjaga Kepercayaan Wajib Pajak, Wajib pajak akan merasa lebih tenang dan percaya pada sistem pemeriksaan yang menerapkan kebajikan pokok dalam pelaksanaannya. Ini akan mendorong kepatuhan sukarela dan meningkatkan kesadaran wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya.
Menguatkan Landasan Etis Pemeriksaan Pajak, Cardinal Virtue memberikan landasan etis yang kokoh bagi petugas pajak dalam melaksanakan tugas mereka, sehingga setiap langkah yang diambil dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan etis.
Mencegah Konflik dan Diskriminasi, Cardinal Virtue, khususnya keadilan, memastikan bahwa tidak ada wajib pajak yang diperlakukan berbeda tanpa alasan yang sah. Hal ini mengurangi risiko terjadinya konflik antara petugas pajak dan wajib pajak.
Bagaimana Cardinal Virtue Diterapkan dalam Mekanisme Pemeriksaan Pasal 17C UU KUP?
Berikut adalah uraian tentang bagaimana keempat Cardinal Virtue Aquinas dapat diterapkan dalam setiap tahap pemeriksaan pajak sesuai dengan Pasal 17C UU KUP.
1. Prudence (Bernalar) dalam Penentuan Subjek Pemeriksaan
Prudence menjadi dasar dalam memilih wajib pajak yang akan diperiksa. Petugas pajak harus mampu menilai apakah wajib pajak tertentu benar-benar layak diperiksa berdasarkan data dan analisis yang obyektif, bukan hanya berdasarkan asumsi atau kecurigaan tanpa dasar. Keputusan ini harus mempertimbangkan segala informasi yang ada sehingga pemeriksaan dilakukan kepada wajib pajak yang memang memiliki indikasi kuat atas pelanggaran perpajakan.
2. Temperance (Pengendalian Diri) dalam Proses Pengumpulan Data
Temperance, atau pengendalian diri, penting dalam proses pengumpulan data. Petugas pajak diharapkan tidak menggunakan metode yang agresif atau intimidatif dalam mendapatkan data dari wajib pajak. Sebaliknya, mereka perlu memastikan bahwa setiap proses dilakukan dengan sikap yang sopan dan menghormati hak-hak wajib pajak. Tindakan yang terlalu memaksa atau berlebihan dapat menimbulkan ketakutan di pihak wajib pajak dan justru menurunkan tingkat kepatuhan.
3. Fortitude (Ketabahan) dalam Menghadapi Hambatan selama Pemeriksaan
Fortitude, yang mencakup ketabahan dan kesabaran, menjadi kebajikan penting saat petugas pajak menemui hambatan dalam pemeriksaan. Misalnya, jika wajib pajak mencoba menghalangi pemeriksaan atau tidak kooperatif, petugas pajak tidak boleh kehilangan profesionalitasnya. Sebaliknya, mereka harus tetap sabar dan tabah dalam menjalankan prosedur yang ada, dengan tetap mengutamakan cara-cara yang sah dan etis.
4. Justice (Keadilan) dalam Penyusunan Hasil Pemeriksaan
Setelah pemeriksaan selesai, petugas pajak harus memastikan bahwa laporan dan hasil pemeriksaan disusun berdasarkan data yang akurat dan benar, tanpa manipulasi. Justice, atau keadilan, mengharuskan bahwa setiap keputusan dan sanksi yang diambil dalam proses pemeriksaan benar-benar didasarkan pada fakta yang ditemukan selama pemeriksaan. Petugas pajak harus memperlakukan semua wajib pajak secara adil, tanpa diskriminasi, dan memberikan hak kepada wajib pajak untuk mengklarifikasi atau menyanggah hasil pemeriksaan jika diperlukan.
Contoh Kasus Implementasi Cardinal Virtue dalam Pemeriksaan Pajak
Mari kita ambil contoh kasus implementasi Cardinal Virtue dalam pemeriksaan pajak. Misalnya, seorang petugas pajak menemukan indikasi pelanggaran perpajakan pada sebuah perusahaan besar. Dengan menerapkan Prudence, petugas pajak tidak langsung memutuskan untuk melakukan pemeriksaan besar-besaran. Sebaliknya, ia terlebih dahulu mengumpulkan data tambahan untuk mengonfirmasi indikasi awal tersebut. Setelah memastikan adanya indikasi yang cukup kuat, ia melanjutkan pemeriksaan.
Selama pemeriksaan, petugas pajak menghindari tindakan yang berlebihan dan tetap sopan terhadap pihak perusahaan, meskipun ada upaya dari pihak perusahaan untuk menghalangi proses. Ini merupakan contoh Temperance dalam pengendalian diri.
Petugas pajak kemudian menghadapi tantangan berupa ketidakkooperatifan perusahaan, namun ia tetap bertindak sabar dan tidak terburu-buru mengambil tindakan represif. Ini menunjukkan Fortitude dalam ketabahan menghadapi hambatan.
Setelah pemeriksaan selesai, hasil pemeriksaan disusun berdasarkan fakta dan data yang ditemukan. Petugas pajak menyiapkan laporan yang adil, termasuk memberikan kesempatan bagi pihak perusahaan untuk menanggapi hasil pemeriksaan. Sikap ini mencerminkan Justice atau keadilan, yang menghargai hak-hak wajib pajak.
Tantangan dalam Menerapkan Cardinal Virtue dalam Pemeriksaan Pajak
Meskipun cardinal virtues memberikan dasar etis yang kuat, penerapannya di lapangan tidak selalu mudah dan menghadapi beberapa tantangan praktis
Tekanan Eksternal atau Intervensi Politik
Petugas pajak mungkin menghadapi tekanan dari pihak-pihak tertentu yang memiliki pengaruh atau kekuasaan, baik secara politik maupun bisnis. Tekanan ini bisa menggoyahkan kebajikan prudence, temperance, maupun justice, karena keputusan yang diambil bisa saja dipengaruhi oleh kepentingan di luar tugas mereka.Keterbatasan Data dan Informasi
Ketersediaan data yang tidak lengkap atau akurat dapat menjadi kendala dalam pelaksanaan kebijaksanaan (prudence) dalam menentukan subjek pemeriksaan. Ketika data kurang mendukung, risiko kesalahan dalam pengambilan keputusan meningkat, sehingga penerapan prudence menjadi lebih sulit.Konflik Kepentingan Internal
Dalam beberapa kasus, konflik kepentingan bisa muncul di dalam institusi perpajakan itu sendiri. Jika tidak dikelola dengan baik, konflik ini dapat mengganggu penerapan fortitude dan justice, sehingga pemeriksaan pajak yang diharapkan berjalan dengan adil justru menguntungkan salah satu pihak.Kesulitan dalam Pengendalian Diri (Temperance)
Petugas pajak, seperti manusia pada umumnya, menghadapi tantangan dalam menerapkan pengendalian diri, terutama ketika menemui wajib pajak yang tidak kooperatif. Ketiadaan temperance atau pengendalian diri dalam situasi ini dapat menyebabkan tindakan represif yang berpotensi melanggar hak wajib pajak.
Implementasi Cardinal Virtue dalam pemeriksaan pajak bukan hanya memberikan keuntungan bagi wajib pajak dan petugas pajak, tetapi juga memiliki implikasi positif bagi sistem perpajakan secara keseluruhan:
Menguatkan Sistem Hukum Pajak yang Berbasis Moral
Cardinal virtues, sebagai nilai-nilai moral, membantu menciptakan sistem perpajakan yang berbasis pada prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, dan integritas. Sistem hukum yang didukung oleh landasan moral semacam ini akan lebih kokoh dan bisa diterima oleh masyarakat luas, karena bukan hanya mengutamakan kepentingan negara, tetapi juga hak-hak masyarakat.Penguatan Sistem Pengawasan dan Akuntabilitas
Dengan cardinal virtues sebagai landasan etis, sistem pengawasan internal pada pemeriksaan pajak dapat diperkuat. Petugas pajak akan lebih termotivasi untuk melakukan tugasnya dengan transparan dan bertanggung jawab. Hal ini dapat mengurangi kemungkinan penyalahgunaan wewenang atau tindakan diskriminatif dalam pelaksanaan pemeriksaan pajak.Pengaruh Positif terhadap Budaya Kerja
Cardinal virtues juga memiliki pengaruh positif terhadap budaya kerja di lingkungan institusi pajak. Ketika para petugas menjalankan tugas berdasarkan prinsip kebijaksanaan, pengendalian diri, ketabahan, dan keadilan, hal ini mendorong terbentuknya budaya kerja yang sehat dan produktif, di mana setiap individu dihargai dan bekerja untuk mencapai tujuan bersama.Meminimalkan Konflik antara Wajib Pajak dan Petugas Pajak
Dengan penerapan cardinal virtues, khususnya keadilan, potensi konflik antara wajib pajak dan petugas pajak dapat diminimalkan. Cardinal virtues membantu memastikan bahwa proses pemeriksaan dilakukan secara proporsional dan tidak berlebihan, sehingga wajib pajak merasa diperlakukan dengan adil dan menghargai proses tersebut.
Dengan melihat peran, tantangan, dan manfaat dari penerapan cardinal virtues dalam pemeriksaan pajak, jelas bahwa konsep ini relevan dan sangat penting dalam membentuk pemeriksaan pajak yang etis, adil, dan akuntabel. Melalui prinsip-prinsip kebijaksanaan (prudence), pengendalian diri (temperance), ketabahan (fortitude), dan keadilan (justice), petugas pajak dapat lebih bijaksana dalam setiap tahapan pemeriksaan, sehingga kepercayaan wajib pajak terhadap institusi perpajakan dapat terjaga.
Cardinal virtues tidak hanya menjadi panduan moral bagi petugas pajak, tetapi juga berfungsi sebagai fondasi yang memperkuat sistem perpajakan di Indonesia. Dengan menerapkan nilai-nilai ini, sistem pemeriksaan pajak diharapkan dapat lebih transparan, tidak diskriminatif, dan berorientasi pada keadilan. Pada akhirnya, cardinal virtues dapat berfungsi sebagai instrumen untuk mewujudkan sistem perpajakan yang tidak hanya efektif tetapi juga berintegritas tinggi.
Melalui penerapan Cardinal Virtue dalam mekanisme pemeriksaan pajak Pasal 17C UU KUP, Indonesia dapat membangun sistem perpajakan yang tidak hanya berdasarkan pada peraturan hukum, tetapi juga pada nilai-nilai moral dan etika yang kuat, yang pada akhirnya akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan dan mendukung pencapaian tujuan keuangan negara.
Prinsip-prinsip ini membantu petugas pajak dalam menghadapi dilema etis, mencegah penyalahgunaan wewenang, serta memastikan bahwa hak dan kewajiban wajib pajak dihargai secara adil. Dengan menerapkan prudence, petugas mampu membuat keputusan berdasarkan data yang akurat; temperance mengarahkan mereka untuk bertindak sopan dan menghindari tindakan represif; fortitude memungkinkan mereka menghadapi tantangan dengan ketabahan; dan justice memastikan bahwa setiap wajib pajak diperlakukan setara di mata hukum.
Secara keseluruhan, Cardinal Virtue memperkuat sistem perpajakan dengan menghadirkan landasan moral yang kokoh, yang tidak hanya meningkatkan kepercayaan wajib pajak tetapi juga mendukung terciptanya budaya kerja yang etis di lingkungan perpajakan. Penerapan Cardinal Virtue dalam pemeriksaan pajak berpotensi menguatkan sistem perpajakan nasional sebagai sistem yang berorientasi pada keadilan dan kepatuhan sukarela, sehingga mampu menopang penerimaan negara dan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Aquinas, T. (1947). Summa Theologica. Benziger Bros.
Direktorat Jenderal Pajak. (2019). Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Jakarta: Kementerian Keuangan RI.
Komite Pengawas Perpajakan. (2020). "Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak". Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Mahmud, M., & Setiawan, W. (2018). "Analisis Implementasi Etika pada Pemeriksaan Pajak di Indonesia". Jurnal Perpajakan Nasional, 9(2), 45-62.
Saragih, A. (2021). "Peran Etika dalam Proses Hukum Perpajakan: Kajian Cardinal Virtue dalam Praktik Pemeriksaan Pajak". Jurnal Hukum dan Perpajakan, 15(1), 112-128.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H