Melakukan Pendekatan DialektisDalam prosedur audit, auditor perlu mengadopsi pendekatan dialektis, di mana mereka tidak hanya memverifikasi data tetapi juga berdialog dengan wajib pajak untuk memahami alasan di balik setiap angka. Proses ini melibatkan pertanyaan kritis yang bertujuan untuk menggali lebih dalam makna dari setiap elemen laporan pajak. Misalnya, jika ada ketidaksesuaian dalam laporan pajak, auditor tidak langsung menyimpulkan adanya kesalahan, tetapi mencari tahu konteks di balik data tersebut.
Menggunakan Hermeneutika untuk Menafsirkan DataSetelah dialog dilakukan, auditor harus menggunakan pendekatan hermeneutis untuk menafsirkan data yang telah dikumpulkan. Data tersebut perlu dipahami dalam konteks yang lebih luas, baik itu konteks sosial, budaya, maupun ekonomi. Sebagai contoh, jika seorang pengusaha melaporkan pendapatan yang lebih rendah dari yang diharapkan, auditor perlu mempertimbangkan faktor-faktor eksternal seperti kondisi ekonomi lokal, peraturan yang berlaku, atau bahkan norma-norma budaya yang mungkin mempengaruhi perilaku bisnis wajib pajak.
Mengembangkan Kesimpulan Berdasarkan Pemahaman HolistikSetelah data dianalisis melalui pendekatan dialektika hermeneutis, auditor harus mengembangkan kesimpulan yang holistik. Kesimpulan ini tidak hanya berdasarkan data kuantitatif tetapi juga berdasarkan pemahaman kualitatif tentang wajib pajak dan situasi mereka. Pendekatan ini memungkinkan auditor untuk membuat penilaian yang lebih akurat dan adil, serta menghindari kesalahan persepsi atau asumsi yang mungkin timbul dalam audit konvensional.
Membangun Hubungan Berbasis KepercayaanProsedur audit yang mengadopsi dialektika hermeneutis Hanacaraka akan lebih fokus pada membangun hubungan berbasis kepercayaan antara auditor dan wajib pajak. Dengan memahami wajib pajak sebagai individu atau entitas yang beroperasi dalam konteks sosial dan budaya tertentu, auditor dapat menciptakan suasana yang lebih terbuka dan kolaboratif, di mana tujuan utama adalah mencapai kepatuhan pajak yang lebih baik, bukan hanya menemukan kesalahan atau ketidakpatuhan.
Mitos "Aji Saka" adalah salah satu cerita yang sangat terkenal di Jawa, terutama terkait dengan asal-usul aksara Jawa, Hanacaraka. Mitos ini memadukan unsur sejarah, legenda, dan nilai-nilai budaya Jawa. Cerita tentang Aji Saka sering kali dianggap sebagai jembatan antara dunia mitologi dan sejarah, menggambarkan pergeseran dari zaman yang didominasi oleh mitos ke era rasionalitas dan logos (nalar). Mitos ini juga mencerminkan pertarungan antara kekuatan baik dan jahat serta simbolisasi pencapaian peradaban baru dalam sejarah Jawa.
1. Tafsir Mitos, Kekuatan Sakti dan Pengusiran Kegelapan
Dalam tafsir mitologis, Aji Saka dipandang sebagai figur mistis yang membawa tatanan baru ke Tanah Jawa. Aji Saka digambarkan sebagai seorang pemuda sakti yang datang ke pulau Jawa untuk menghadapi seorang raja lalim bernama Prabu Dewata Cengkar, yang konon memerintah dengan kejam dan memakan manusia. Prabu Dewata Cengkar sering dipandang sebagai simbol kekuatan destruktif atau kegelapan dalam mitos ini.
Mitos ini menunjukkan bagaimana Aji Saka dengan kekuatan mistiknya mengalahkan Dewata Cengkar dan membawa kedamaian ke tanah Jawa. Dengan kemampuannya, Aji Saka tidak hanya mengalahkan sang raja tiran tetapi juga memperkenalkan tatanan baru berupa Hanacaraka, aksara Jawa yang menjadi simbol peradaban. Cerita ini sering ditafsirkan sebagai metafora tentang bagaimana seorang pahlawan (atau kekuatan baik) mengusir kekuatan kegelapan dan memperkenalkan peradaban dan keteraturan sosial.
Tafsir ini cenderung mengedepankan aspek magis dari mitos, di mana dunia dilihat sebagai tempat pertarungan antara kekuatan baik dan jahat, dengan Aji Saka sebagai pembawa terang dan tatanan baru.
2. Tafsir Historis, Transisi dari Mitos ke Logos (Rasionalitas)