Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Relawan - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Perempuan, Analisis Kelas, dan Sosialisme: Clara Zetkin dan Solusi Revolusioner

25 Januari 2025   13:15 Diperbarui: 24 November 2024   23:08 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soekarno dan Kowani (Sumber: National Museum of World Cultures via Wikimedia Commons)

Clara Zetkin, pelopor hari perempuan internasional pernah berpidato dengan tajuk "Hanya dengan Bersama Perempuan Proletar, Sosialisme Akan Berjaya", yang ia sampaikan dalam Kongres Partai Sosial Demokrat Jerman di Gotha pada 16 Oktober 1896. Ia menjelaskan analisisnya yang mendalam mengenai asal-usul dan perkembangan dari penindasan perempuan serta keterkaitannya dengan kapitalisme dan perjuangan kelas. 

Zetkin berargumen bahwa masalah perempuan yang modern lahir dari sistem produksi kapitalis dan hanya dengan sosialismelah perempuan dapat memperoleh pembebasannya yang sejati.

A. Hubungan Historis antara Kepemilikan Pribadi dan Penindasan Perempuan

Zetkin mengawali pidatonya dengan menyatakan bahwa penindasan sosial terhadap perempuan dimulai bersamaan dengan penciptaan kepemilikan pribadi. Ia mengutip pandangan dari seorang ahli, seperti: Bachofen, Morgan, dan Engels, yang pernah menjelaskan bahwa ketika laki-laki menjadi pemilik properti dan perempuan, maka perempuan, dalam hal ini sebagai seorang istri, berada dalam posisi ketergantungan kepada laki-laki dan non-pemilik apa pun. Hal ini menciptakan struktur ekonomi di dalam keluarga, di mana laki-laki menjadi penguasa dan perempuan harus bergantung padanya, yang menurut Zetkin mencerminkan hubungan borjuis-proletariat dalam suatu keluarga, sebagaimana dinyatakan Engels: "Di dalam keluarga, suami mewakili borjuasi dan istri mewakili proletariat."

"Di dalam keluarga, suami mewakili borjuasi dan istri mewakili proletariat."

Meskipun terdapat ketidakadilan sosial sebagaimana disebut sebelumnya, Zetkin mencatat bahwa, sesungguhnya pada zaman dahulu, masalah perempuan dalam arti modern belum muncul. Sebelum ada kapitalisme, perempuan masih bisa menemukan makna hidup melalui kegiatan ekonomi produktif di dalam lingkungan keluarga. Dalam struktur ekonomi lama yang sudah kuno, meski potensi perempuan sebagai individu terbatas, mereka tidak terlalu menyadari ketidaklegalan sosialnya.

Clara Zetkin (Sumber: Counterfire)
Clara Zetkin (Sumber: Counterfire)

B. Kapitalisme dan Munculnya Masalah Perempuan Modern

Zetkin kemudian menjelaskan bahwa masalah perempuan modern mulai muncul dengan runtuhnya sistem ekonomi keluarga tradisional akibat mulai berlangsungnya kapitalisme. Pembagian kerja yang diciptakan oleh produksi kapitalis mengakibatkan perempuan tidak lagi dapat mencari nafkah atau makna hidup dalam lingkup keluarga. Mesin-mesin industri dan mode produksi yang baru, mendorong perempuan keluar dari rumah dan berbondong-bondong masuk ke dalam dunia kerja, yang pada akhirnya memaksa mereka untuk menyadari ketidakadilan sosial yang mereka alami.

Dengan adanya kapitalisme, jutaan perempuan harus terpaksa bekerja di luar rumah, sehingga masalah "bagaimana memperoleh mata pencaharian dan kehidupan yang bermakna" juga menjadi pertanyaan penting bagi mereka. Statistik yang diberikan Zetkin mendukung klaimnya: pada tahun 1882, 5,5 juta dari 23 juta perempuan di Jerman sudah sepenuhnya bekerja di luar keluarga, dan jumlah ini meningkat secara dramatis dalam sektor-sektor seperti industri, pertanian, serta perdagangan. Angka-angka ini menyoroti urgensi yang begitu mendesak untuk menyelesaikan masalah perempuan dalam konteks kapitalisme.

C. Masalah Perempuan Berdasarkan Kelas Sosial

Zetkin dengan jelas menyatakan bahwa masalah perempuan tidaklah bersifat universal, tetapi bervariasi berdasarkan kelas sosial. Di kalangan petani, misalnya, di mana masih ada ekonomi alamiah, masalah perempuan hampir tidak ada. Namun, dalam kelas-kelas yang lebih tinggi, seperti borjuis, kaum intelektual, dan kelas penguasa, masalah perempuan mengambil bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan struktur kelasnya masing-masing.

1. Perempuan Borjuis dan Kelas Atas

Zetkin mengulas bagaimana perempuan dari kalangan kelas atas, yang memiliki properti, dapat mengembangkan individualitas mereka secara bebas, tetapi di sisi lainnya mereka masih berada di bawah kekuasaan suami dalam hubungan perkawinan. Hukum keluarga masih menyatakan bahwa "dia (suami) akan menjadi tuanmu," sehingga perempuan dari kelas atas tetap tunduk secara hukum. Zetkin mengkritik perkawinan yang terjadi di kalangan borjuis, yang menurutnya tidak didasarkan pada cinta atau individualitas, tetapi hanya berlandaskan pada uang dan permodalan. 

Pernikahan dalam kelas ini, kata Zetkin, diungkapkan sebagai "dua prostitusi yang diambil untuk satu kebajikan," dengan peran perempuan sebagai istri, ibu, dan ibu rumah tangga diserahkan kepada pelayan yang dibayar. Dalam konteks ini, "prostitusi"  tidak merujuk pada aktivitas seksual yang dibayar, melainkan lebih kepada penyerahan diri perempuan terhadap institusi pernikahan yang menurutnya tidak adil dan tidak didasarkan pada cinta sejati. Perempuan kelas atas, meskipun memiliki properti, tetap harus tunduk pada kekuasaan suami dan menjalankan peran tradisional sebagai istri, ibu, dan ibu rumah tangga. Ini berarti mereka "menjual" kebebasan dan individualitas mereka demi menjaga status sosial dan mengikuti norma-norma masyarakat. Lalu, prostitusi kedua merujuk pada penyerahan peran tradisional perempuan kepada pelayan yang dibayar. Perempuan kelas atas memiliki kemewahan untuk mempekerjakan pelayan yang akan mengurus rumah tangga, anak-anak, dan tugas-tugas domestik lainnya. Dengan demikian, mereka seolah-olah "menjual" tanggung jawab domestik mereka kepada orang lain. Kedua hal negatif bagi perempuan kelas atas ini diambil oleh mereka untuk mendapatkan takhta dan emas (kekayaan) dalam hal ini ditafsirkan sebagai satu kebajikan.

Oleh karena itu, bagi perempuan kelas ini, tuntutan utama mereka dalam gerakan perempuan adalah hak untuk mengelola properti mereka secara bebas dan mandiri.

2. Kritik terhadap Kapitalisme dan Perjuangan Emansipasi

Dalam kritik pedas terhadap kapitalisme, Zetkin mencatat bagaimana kapitalis, seperti Herr von Stumm, mendukung hak-hak perempuan hanya ketika hal itu dapat menguntungkan sistem kapitalis. Herr von Stumm, yang dikenal sebagai representasi kapitalisme dalam bentuk manusia, menurut Zetkin, memperjuangkan hak-hak perempuan hanya ketika representasi perempuan itu terkait dengan properti pribadi, khususnya hak perempuan untuk mewarisi kekayaan keluarga. 

Zetkin menyindir bagaimana Von Stumm tidak pernah memperjuangkan hak-hak individu secara nyata, tetapi hanya mendukung "emansipasi" perempuan hanya sejauh emansipasi ini berkaitan dengan keuntungan bagi kapitalisme. Zetkin melihat bahwa di dalam struktur kapitalisme, pada akhirnya, dapat menghormati perempuan "yang rendah" selama mereka memiliki modalnya sendiri.

Zetkin melanjutkan pidatonya dengan menyatakan bahwa masalah perempuan tidak bisa diselesaikan melalui reformasi kecil-kecilan dalam kerangka kapitalisme. Pembebasan sejati bagi perempuan hanya dapat dicapai melalui revolusi sosial dan penghancuran kapitalisme itu sendiri. Menurut Zetkin, hanya dalam sosialismelah, perempuan bisa bebas dari penindasan sosial dan ekonomi yang dilegitimasi oleh sistem kapitalis. Dalam perjuangan ini, perempuan proletariat harus berada di garis depan, karena hanya dengan persatuan antara perempuan proletar dan sosialisme, kebebasan sejati dapat terwujud.

D. Masalah Perempuan dalam Lingkungan Borjuis

1. Kondisi Ekonomi dan Sosial

Zetkin menyoroti bahwa dalam lingkup petit-bourgeoisie dan kelas menengah, masalah perempuan telah dipengaruhi terutama oleh gejala-gejala produksi kapitalis, bukan oleh kepemilikan properti. Seiring dengan kemajuan kapitalisme, kelas menengah dan petit-bourgeoisie semakin tertekan menuju kehancuran.

Dalam kalangan inteligensia bourgeois, kondisi hidup semakin memburuk karena kapitalisme membutuhkan tenaga kerja terlatih dan terdidik, yang menyebabkan overproduksi tenaga kerja intelektual. Ini membuat posisi sosial profesional yang dulu dihormati semakin tergerus.

Akibatnya, angka pernikahan menurun karena pria dari kelas ini merasa tertekan untuk menikah dan banyak yang memilih untuk tetap lajang sampai akhir hayatnya. Hal ini disebabkan oleh adanya lembaga sosial yang menawarkan kehidupan nyaman tanpa memerlukan istri sah.

2. Kondisi Perempuan Borjuis

Perempuan di kalangan bourgeois mengalami ketidaksetaraan dengan laki-laki dalam hal kepemilikan properti pribadi, yang menuntut mereka untuk memperjuangkan pelatihan profesional yang setara dan kesempatan kerja yang sama. Mereka harus berjuang untuk hak-hak ekonomi mereka, dan persaingan ini menciptakan konflik kepentingan antara perempuan dan laki-laki dari kalangan bourgeois. Rintangan terhadap kerja perempuan sering kali bukan karena alasan objektif, melainkan ketakutan akan adanya persaingan.

3. Aspek Moral dan Spiritual

Selain tuntutan ekonomi, perempuan bourgeois juga mengejar pemenuhan spiritual dan perkembangan individu. Banyak dari mereka merasa tertekan dengan peran tradisional perempuan yang dijadikan hanya sebagai "boneka" di rumah dan ingin berpartisipasi dalam perkembangan budaya modern.

E. Perjuangan Perempuan Proletar

1. Eksploitasi Kapitalis

Perempuan proletar terjebak dalam mekanisme ekonomi kapitalis, di mana mereka menjadi tenaga kerja berupah murah dan sering kali dieksploitasi secara ekstrem oleh para borjuis. Mereka memasuki dunia kerja untuk membantu suami mereka atau untuk meningkatkan kehidupan keluarga mereka, tetapi malah mengalami penderitaan dan alienasi diri mereka dari keluarga. Meskipun mereka menjadi pekerja yang setara dengan pria dalam hal hasil produksi, kondisi mereka tetap buruk, dan mereka kehilangan kesempatan untuk mengembangkan diri mereka sebagai manusia, wanita, atau istri.

2. Perjuangan Bersama

Perjuangan perempuan proletar tidak hanya melawan laki-laki di kelas mereka, tetapi mereka berjuang juga untuk melawan seluruh kelas kapitalis. Tujuan akhir dari gerakan perempuan proletar adalah penguasaan politik proletariat, bukan sekadar memperjuangkan kompetisi bebas dengan pria.

Perempuan proletar harus berjuang bersama pria kelas mereka untuk bersama-sama melawan masyarakat kapitalis, dan meskipun mereka setuju dengan beberapa tuntutan gerakan perempuan bourgeois, mereka melihat pemenuhan tuntutan ini sebagai cara untuk memasukkan gerakan tersebut ke dalam perjuangan kelas proletariat.

F. Persimpangan Gerakan Perempuan Bourgeois dan Proletar

1. Reformasi dan Resistensi

Zetkin mengkritik lambatnya kemajuan reformasi di Jerman karena ketakutan pria akan kompetisi dalam profesi liberal dan perkembangan demokrasi bourgeois yang lambat. Negara-negara dengan demokrasi bourgeois yang lebih maju seperti Inggris telah melakukan reformasi lebih cepat, sementara demokrasi Jerman masih terbelakang karena ketakutan terhadap proletariat.

2. Advokasi Sosial-Demokrat

Zetkin menekankan pentingnya advokasi politik untuk kesetaraan perempuan yang dilakukan oleh Partai Sosial-Demokrat di Jerman. Reformasi hak politik perempuan harus dilihat sebagai bagian dari perjuangan kelas proletariat.

Dia memuji buku August Bebel, Woman and Socialism, yang menekankan hubungan antara masalah perempuan dan perkembangan sejarah serta mengajak perempuan untuk menjadi mitra perjuangan dalam meraih masa depan yang gilang-gemilang.

G. Pendekatan Praktis (Agitasi dan Integrasi)

Zetkin menegaskan bahwa agitasi Sosialis oleh perempuan proletar harus menyasar perempuan sebagai bagian dari perjuangan kelas secara umum, bukan hanya isu perempuan semata. Tujuan utamanya adalah untuk mengintegrasikan perempuan proletar ke dalam perjuangan kelas dan memastikan mereka terlibat dalam perjuangan politik dan ekonomi untuk mencapai perubahan sosial yang lebih luas.

H. Tantangan dalam Mengorganisasi Perempuan Pekerja

Zetkin mencatat bahwa pengorganisasian perempuan pekerja menghadapi berbagai kesulitan. Pada periode tahun 1892 hingga 1895, hanya sekitar 7.000 perempuan pekerja yang terdaftar dalam serikat pekerja pusat, meskipun ada sekitar 700.000 perempuan pekerja di perusahaan-perusahaan besar. Kesulitan dalam mengorganisasi perempuan pekerja diperparah oleh:

  • Industri Rumah Tangga: Banyak perempuan terlibat dalam industri rumahan, yang sulit diorganisasi karena sifat pekerjaannya yang tersebar dan tidak teratur.
  • Pandangan terhadap Pekerjaan Industri Perempuan: Banyak perempuan melihat pekerjaan industri sebagai sementara, yang akan berhenti setelah menikah. Hal ini menghambat semangat untuk berorganisasi.
  • Beban Ganda: Perempuan sering kali harus menjalani pekerjaan di pabrik dan di rumah, sehingga menambah beban mereka.

I. Hambatan Hukum dan Kebijakan

Zetkin mengkritik berbagai kebijakan dan undang-undang yang menghambat partisipasi perempuan dalam serikat pekerja:

1. Hukum Serikat Pekerja di Jerman

Undang-undang serikat pekerja di negara bagian seperti Prusia dan Bavaria sering kali mengekang hak perempuan untuk berorganisasi. Di Prusia (nama Kekaisaran Jerman pada zaman itu), undang-undang ini diterapkan dengan ketat, sementara di Bavaria, perempuan dilarang hadir dalam pertemuan publik.

2. Interpretasi Hukum

Zetkin mengkritik pejabat kerajaan, seperti Herr von Freilitzsch, yang menafsirkan hukum serikat pekerja dengan cara yang menghalangi partisipasi perempuan. Ia juga menyinggung penggunaan interpretasi hukum yang kaku dan tidak sesuai dengan niat awal pembuat undang-undang.

J. Strategi Propaganda untuk Perempuan

Untuk mengatasi kesulitan ini, Zetkin mengusulkan beberapa strategi propaganda:

1. Pamflet Kecil

Ia menyarankan pembuatan pamflet kecil yang membahas satu isu praktis dari sudut pandang perjuangan kelas. Pamflet ini harus menarik dan tidak menggunakan kertas serta desain yang buruk, agar perempuan proletar tertarik membacanya.

2. Media Harian dan Brosur

Zetkin menganjurkan pembuatan brosur yang membahas sosialisme dari sudut pandang perempuan sebagai pekerja, istri, dan ibu. Ia juga menyoroti perlunya media harian untuk lebih serius dalam menerangi perempuan, bukan hanya menyanjung rasa ingin tahu mereka.

K. Peran Perempuan dalam Keluarga

Zetkin menegaskan bahwa propaganda sosialisme harus mendukung peran perempuan sebagai ibu dan istri. Sebaliknya, perempuan harus didorong untuk menjalankan peran ini dengan lebih baik untuk kepentingan pembebasan proletariat. Perempuan yang mengajarkan kesadaran kelas kepada anak-anak mereka memberikan kontribusi signifikan terhadap perjuangan sosialisme.

L. Kesimpulan

Pidato Clara Zetkin ini mencerminkan pandangan Marxis yang mendalam mengenai masalah perempuan, yang mengaitkan penindasan perempuan dengan munculnya kepemilikan pribadi dan kapitalisme. Zetkin menekankan bahwa pembebasan perempuan tidak dapat dicapai tanpa menghapus sistem kapitalis yang menindas sama sekali, dan perjuangan kelas menjadi kunci dalam mencapai emansipasi sepenuhnya bagi perempuan. Pandangan Zetkin tetap relevan dalam memahami keterkaitan antara feminisme, perjuangan kelas, dan sosialisme dalam konteks sejarah ataupun masa kini.

Dalam pidato ini, Zetkin pun menunjukkan betapa pentingnya memahami masalah perempuan dalam konteks perjuangan kelas dan kapitalisme serta menyerukan kepada Partai Sosial-Demokrat untuk memperjuangkan hak-hak perempuan sebagai bagian dari perjuangan sosialisme.

Zetkin menutup pidatonya dengan menegaskan bahwa keberhasilan sosialisme memerlukan partisipasi aktif perempuan proletar dalam perjuangan kelas. Hanya dengan inklusi perempuan dalam perjuangan ini, sosialisme dapat mencapai kemenangan dan membangun masyarakat yang adil dan setara. Dalam masyarakat sosialis, konflik yang timbul dari aktivitas profesional perempuan akan terselesaikan, dan perempuan akan memiliki kesempatan yang lebih luang untuk berkembang sambil menjalankan perannya sebagai istri dan seorang ibu dari anak-anaknya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun