Pernikahan dalam kelas ini, kata Zetkin, diungkapkan sebagai "dua prostitusi yang diambil untuk satu kebajikan," dengan peran perempuan sebagai istri, ibu, dan ibu rumah tangga diserahkan kepada pelayan yang dibayar. Dalam konteks ini, "prostitusi"Â tidak merujuk pada aktivitas seksual yang dibayar, melainkan lebih kepada penyerahan diri perempuan terhadap institusi pernikahan yang menurutnya tidak adil dan tidak didasarkan pada cinta sejati. Perempuan kelas atas, meskipun memiliki properti, tetap harus tunduk pada kekuasaan suami dan menjalankan peran tradisional sebagai istri, ibu, dan ibu rumah tangga. Ini berarti mereka "menjual"Â kebebasan dan individualitas mereka demi menjaga status sosial dan mengikuti norma-norma masyarakat. Lalu, prostitusi kedua merujuk pada penyerahan peran tradisional perempuan kepada pelayan yang dibayar. Perempuan kelas atas memiliki kemewahan untuk mempekerjakan pelayan yang akan mengurus rumah tangga, anak-anak, dan tugas-tugas domestik lainnya. Dengan demikian, mereka seolah-olah "menjual" tanggung jawab domestik mereka kepada orang lain. Kedua hal negatif bagi perempuan kelas atas ini diambil oleh mereka untuk mendapatkan takhta dan emas (kekayaan) dalam hal ini ditafsirkan sebagai satu kebajikan.
Oleh karena itu, bagi perempuan kelas ini, tuntutan utama mereka dalam gerakan perempuan adalah hak untuk mengelola properti mereka secara bebas dan mandiri.
2. Kritik terhadap Kapitalisme dan Perjuangan Emansipasi
Dalam kritik pedas terhadap kapitalisme, Zetkin mencatat bagaimana kapitalis, seperti Herr von Stumm, mendukung hak-hak perempuan hanya ketika hal itu dapat menguntungkan sistem kapitalis. Herr von Stumm, yang dikenal sebagai representasi kapitalisme dalam bentuk manusia, menurut Zetkin, memperjuangkan hak-hak perempuan hanya ketika representasi perempuan itu terkait dengan properti pribadi, khususnya hak perempuan untuk mewarisi kekayaan keluarga.Â
Zetkin menyindir bagaimana Von Stumm tidak pernah memperjuangkan hak-hak individu secara nyata, tetapi hanya mendukung "emansipasi" perempuan hanya sejauh emansipasi ini berkaitan dengan keuntungan bagi kapitalisme. Zetkin melihat bahwa di dalam struktur kapitalisme, pada akhirnya, dapat menghormati perempuan "yang rendah" selama mereka memiliki modalnya sendiri.
Zetkin melanjutkan pidatonya dengan menyatakan bahwa masalah perempuan tidak bisa diselesaikan melalui reformasi kecil-kecilan dalam kerangka kapitalisme. Pembebasan sejati bagi perempuan hanya dapat dicapai melalui revolusi sosial dan penghancuran kapitalisme itu sendiri. Menurut Zetkin, hanya dalam sosialismelah, perempuan bisa bebas dari penindasan sosial dan ekonomi yang dilegitimasi oleh sistem kapitalis. Dalam perjuangan ini, perempuan proletariat harus berada di garis depan, karena hanya dengan persatuan antara perempuan proletar dan sosialisme, kebebasan sejati dapat terwujud.
D. Masalah Perempuan dalam Lingkungan Borjuis
1. Kondisi Ekonomi dan Sosial
Zetkin menyoroti bahwa dalam lingkup petit-bourgeoisie dan kelas menengah, masalah perempuan telah dipengaruhi terutama oleh gejala-gejala produksi kapitalis, bukan oleh kepemilikan properti. Seiring dengan kemajuan kapitalisme, kelas menengah dan petit-bourgeoisie semakin tertekan menuju kehancuran.
Dalam kalangan inteligensia bourgeois, kondisi hidup semakin memburuk karena kapitalisme membutuhkan tenaga kerja terlatih dan terdidik, yang menyebabkan overproduksi tenaga kerja intelektual. Ini membuat posisi sosial profesional yang dulu dihormati semakin tergerus.
Akibatnya, angka pernikahan menurun karena pria dari kelas ini merasa tertekan untuk menikah dan banyak yang memilih untuk tetap lajang sampai akhir hayatnya. Hal ini disebabkan oleh adanya lembaga sosial yang menawarkan kehidupan nyaman tanpa memerlukan istri sah.
2. Kondisi Perempuan Borjuis
Perempuan di kalangan bourgeois mengalami ketidaksetaraan dengan laki-laki dalam hal kepemilikan properti pribadi, yang menuntut mereka untuk memperjuangkan pelatihan profesional yang setara dan kesempatan kerja yang sama. Mereka harus berjuang untuk hak-hak ekonomi mereka, dan persaingan ini menciptakan konflik kepentingan antara perempuan dan laki-laki dari kalangan bourgeois. Rintangan terhadap kerja perempuan sering kali bukan karena alasan objektif, melainkan ketakutan akan adanya persaingan.
3. Aspek Moral dan Spiritual
Selain tuntutan ekonomi, perempuan bourgeois juga mengejar pemenuhan spiritual dan perkembangan individu. Banyak dari mereka merasa tertekan dengan peran tradisional perempuan yang dijadikan hanya sebagai "boneka" di rumah dan ingin berpartisipasi dalam perkembangan budaya modern.
E. Perjuangan Perempuan Proletar
1. Eksploitasi Kapitalis
Perempuan proletar terjebak dalam mekanisme ekonomi kapitalis, di mana mereka menjadi tenaga kerja berupah murah dan sering kali dieksploitasi secara ekstrem oleh para borjuis. Mereka memasuki dunia kerja untuk membantu suami mereka atau untuk meningkatkan kehidupan keluarga mereka, tetapi malah mengalami penderitaan dan alienasi diri mereka dari keluarga. Meskipun mereka menjadi pekerja yang setara dengan pria dalam hal hasil produksi, kondisi mereka tetap buruk, dan mereka kehilangan kesempatan untuk mengembangkan diri mereka sebagai manusia, wanita, atau istri.