Selain itu, Nabi ﷺ juga pernah bersabda mengenai berwudhu dan ber-ta’awudz.
“Marah itu berasal dari setan. Setan diciptakan dari api. Api dapat dipadamkan oleh air. Bila salah seorang dari kalian marah, hendaklah ia berwudhu.” (HR Abu Dawud).
4. Nafsu Muthmainah: Dipersonifikasikan sebagai Resi Hanoman (kera berbulu putih) atau Bayu Kinara yang berwatak putih. Maknanya adalah untuk melambangkan sifat yang membimbing, menyucikan, dan menuntun ke arah kebaikan. Muthmainnah dalam hal ini adalah nafsu ketika seorang hamba selalu merasakan ketenangan saat bersama Allah, tenteram dengan mengingat-Nya, sadar akan berpulang kepada-Nya, rindu berjumpa dengan-Nya, dan selalu bersandar pada-Nya.
Nafsu muthmainnah, secara definisi, adalah kondisi jiwa dari seorang mukmin yang sepenuhnya yakin akan janji-janji Allah. Dengan tenang, ia akan mencapai makrifat terhadap asma dan sifat-sifat-Nya, serta mantap dalam kepercayaannya terhadap segala kabar yang dibawa oleh Rasul-Nya. Keyakinan ini membuatnya melihat apa yang dijanjikan Allah, termasuk peristiwa di alam barzakh dan hari akhir, seolah-olah nyata di depan matanya.
Empat lambang tersebutlah yang dinasihatkan Sunan Kalijaga dalam kisah Dewa Ruci dan Werkudoro.
Jalan “Tapa” Menuju “Kesejatian”
Cara untuk mencapainya adalah melalui “tapa”. Tapa sebenarnya adalah tradisi Hindu-Buddha yang dikenal juga sebagai “semedi”. Dalam bahasa Urdu, tap atau tapa diartikan sebagai “energi”. Dalam pembahasan ini, dibedakan dua hal, antara “tapa” dan “zakat”. Tapa itu adalah tindakan diri ke dalam, sedangkan zakat itu tindakan diri ke luar (hubungan dengan manusia lainnya).
Jenis-jenis Tapa Menurut Kanjeng Sunan
1. Badan: Tapa dalam konteks badaniah adalah selalu berlaku sopan-santun, sedangkan zakat dalam konteks badaniah adalah gemar berbuat kebajikan dan kerahmatan dengan manusia dan makhluk Allah lainnya.
2. Hati atau budi: Tapa dalam konteks hati adalah selalu dalam kerelaan kepada-Nya dan bersabar, sedangkan zakatnya adalah selalu berusaha untuk menghindari diri dari prasangka-prasangka buruk terhadap siapa pun, positive thinking kepada Allah dan takdir-Nya, serta menjaga hati dari iri dengki.
3. Nafsu: Tapa dalam konteks nafsu adalah selalu berusaha untuk berhati Ikhlas, sedangkan zakatnya adalah selalu tabah dalam menjalani segala bentuk cobaan, kesengsaraan, dan mudah untuk memaafkan kesalahan siapa pun.
4. Nyawa atau roh: Tapa dalam hal ini adalah selalu berlaku jujur, sedangkan zakatnya adalah tidak mengganggu atau mencela siapa pun.
5. Rahsa atau intuisi: Tapa dalam hal ini adalah selalu berusaha untuk melakukan keutamaan dan kebajikan, sedangkan zakatnya adalah “berduka dalam keheningan hati” dan selalu menyesali kesalahan kita dengan bertaubat terus-menerus kepada Allah Sang Penguasa Langit dan Bumi. Ketika intuisi atau rahsa kita sedang keruh, kita tidak akan dapat menilai yang benar atau yang salah secara hakiki.Oleh karena itu, Kanjeng Sunan selalu menegaskan untuk selalu eling kepada Gusti Allah.