Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Meniti Jalan Spiritualitas Sunan Kalijaga: Laku, Nafsu, dan Tapa Menuju Kebijaksanaan

19 Desember 2024   19:00 Diperbarui: 20 November 2024   03:42 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peninggalan Kanjeng Sunan Kalijaga, Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Keraton Kasepuhan Cirebon (Sumber gambar: Tribun Cirebon)

Laku Menuju “Ilmu Sejati” Menurut Sunan Kalijaga

1. Rilo: Yang berarti sikap ikhlas. Sikap yang menunjukkan tidak adanya hasrat (hawa nafsu) diri sendiri sama sekali, tetapi semuanya berdasarkan dan bersumber kepada Allah, dan hanya Allahlah yang menjadi awal dan akhir.  

2. Legowo: Yang berarti sikap sabar dan tidak memberati apa pun. Termasuk tidak merasakan keberatan ketika kehilangan benda, kepemilikan, ataupun kepunyaan kita. Tidak merasa berat hati ketika orang yang disayang meninggal dunia. Sikap ini harus disandarkan pada prinsip bahwa semua kehilangan milik kita adalah dijawab dengan “tidak apa-apa”, asalkan tidak “kehilangan” Allah, sebab semua yang ada di dunia, di langit, dan di antara keduanya adalah milik Allah.

3. Nrimo: Yang berarti adalah menerima apa saja. Menerima dalam hal ini, maksudnya, menerima segala kondisi kehidupan, keadaan, dan segala takdir yang ada di hadapan mata. Sikap ini disandarkan pada kerelaan dan keridhaan kepada segala takdir yang didesain langsung oleh Sang Maha Pengatur Segalanya dan Maha Bijaksana.

4. Anorogo: Yang berarti sikap rendah hati dan tidak boleh bersikap sombong, angkuh, atau merasa besar. Kanjeng Sunan mengajarkan sikap ini untuk mengingatkan bahwa kita sebagai rakyat Jawa, yang merupakan manusia, yang merupakan makhluk, tidak memiliki daya-kekuatan apa pun untuk memberikan kehidupan, rezeki, dan kesejahteraan. Hanya Allah-lah, Tuhan Yang Maha Kuasa, yang memberimu hidup, rezeki, dan kesejahteraan. Oleh karena itu,tidak pantas bagi makhluk ataupun manusia untuk sombong, sebab sombong adalah sikap syaitan (setan), firaun, dan orang-orang kafir.

5. Eling: Yang berarti hubungan yang selalu menyambung terus dengan Allah. Sikap ini dimaknai dengan segala tindakan kita untuk selalu mengingat Sang Khalik, Sang Pencipta, Allah yang Maha Besar. Oleh karena itu, baik dalam kesulitan maupun kebahagiaan, Kanjeng Sunan mengingatkan kita untuk selalu mengingat Allah, sehingga tidak terjerumus ke dalam kesesatan yang nyata.

6. Santoso: Yang berarti harus selalu berada di jalan yang benar (sentausa). Untuk ber-santoso ini, maka Kanjeng Sunan mengajarkan rakyat Jawa pada masanya untuk selalu membaca Surah Al-Fatihah, khususnya ayat ke-6, yang berbunyi إِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ . Artinya, “Tunjukilah kami jalan yang lurus!”

7. Gembiro: Yang berarti berceria dan berbahagia selalu, sehingga hidup yang dijalani akan dirasakan lega dan tidak menjadi beban. Bahagia di sini bukan berarti dapat melakukan kehendak apa pun untuk mengejar hawa nafsunya, melainkan bahagia dengan konteks merasa tenteram karena melupakan kesalahan-kesalahan dari kerugian yang terjadi pada masa lalu.

8. Rahayu: Yang berarti, di hatinya harus selalu ingin melakukan yang aktivitas yang baik-baik. Layaknya  ucapan salam “Assalamualaikum”, yang dapat diartikan sebagai selalu mengharapkan orang lain untuk dapat hidup dalam keadaan baik, selamat, dan damai.

9. Wilujengan: Yang berarti menjaga selalu kesehatan kita, dan apabila mengidap rasa sakit, maka dapat diobati.

10. Marsudi Kawruh: Yang berarti hidup itu harus selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar. Dalam kehidupan di dunia, Kanjeng Sunan mengajarkan kita untuk selalu terus-menerus menambah wawasan dan ilmu pengetahuan. Tidak boleh merasa bahwa dirinya “sudah” atau “puas” dalam hal pengetahuan dan ilmu-ilmu keagamaan ataupun duniawi.

11. Samadi: Yang berarti harus selalu menerapkan sikap introspeksi ke dalam diri sendiri. Dalam Islam dikenal dengan sikap yang ber-muhasabah selalu.

12. Ngurang-ngurangi: Yang berarti hidup dengan cara hemat atau tidak boros. Dengan kata lain, kita dianjurkan oleh ajaran Kanjeng Sunan untuk tidak boleh berlebih-lebihan dalam urusan duniawi dan urusan-urusan yang tidak esensial.

Nafsu-nafsu Spiritual

Kisah Serat Dewa Ruci karangan dari Sunan Kalijaga mengisahkan seorang tokoh bernama Bima yang dapat memasuki “telinga” Dewa Ruci secara spiritual. Terlihat oleh Bima empat warna di dalam alam telinga itu. Empat perlambang “warna” itu adalah saudara dari Bima Werkudoro dan titisan dari Betara Bayu. Empat perlambang warna inilah yang diistilahkan oleh Kanjeng Sunan sebagai empat nafsu yang harus diketahui oleh rakyat Jawa pada masa itu, antara lain:

1. Nafsu Lawwamah: Dipersonifikasikan oleh Sunan Kalijaga sebagai begawan Maenaka, yang melambangkan Bayu Langgeng yang berwatak hitam. Warna hitam kemudian melambangkan batin dan pikirin yang gelap. 

Nafsu lawwamah ini sendiri diartikan pula oleh sekelompok ulama sebagai nafsu yang tidak diam (tidak pasif) dalam satu keadaan, yaitu keadaan di mana seseorang terkadang dapat berubah dan beralih dari satu keadaan kepada keadaan yang lain dengan segera. Gambarannya seperti, 

“Terkadang dzikir, terkadang lalai. Terkadang menghadap, terkadang menentang. Terkadang mencinta, terkadang membenci. Terkadang bahagia, terkadang sedih. Terkadang rida, terkadang murka. Terkadang taat, terkadang membangkang.”

2. Nafsu Sufiyyah: Dipersonifikasikan sebagai Gadjah Situbondo atau Bayu Kanitra yang berwatak kuning. Artinya adalah tendensi yang bisa menyebabkan seorang bisa menjadi lemah, malas, dan cepat lupa. Nafsu ini adalah penyakit yang “manusiawi” dalam ajaran Islam menurut para ulama. Meskipun sering kali kita sikapi dengan pelumrahan berkedok “manusiawi”, tetaplah ini adalah penyakit diri yang harus dilawan, diobati, dan diperbaiki menurut Sunan Kalijaga dan para ulama kontemporer.

3. Nafsu Amarah: Dipersonifikasikan sebagai raksasa Jayarekso atau Bayu Anras yang berwatak merah. Maknanya adalah kecenderungan manusia untuk merusak moral, membakar hati, dan melambatkan berpikir. Nafsu amarah di sini dapat diartikan sebagai nafsu yang selalu diperintah oleh keburukan, menghimpun kuatnya rasa marah, dan diikuti oleh sifat-sifat tercela. 

Nafsu ini dapat menyebabkan manusia menjauhkan dirinya dari Allah serta menjadi bagian dari bala tentara atau langkah setan untuk mengarahkan manusia kepada penyesalan dan kebinasaan.  Oleh karena itu, nafsu ini harus diperangi, keinginannya harus ditentang, dan harus dikendalikan, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah ﷺ. Makanya, Rasulullah Muhammad ﷺ. pernah memberikan nasihatnya apabila kita sedang marah.  Sesuai dengan hadisnya,

Abu Hurairah ra. menceritakan tips yang disampaikan Rasulullah ﷺ. ketika dilanda kemarahan. Disebutkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ mengubah posisinya dari berdiri menjadi duduk, lalu berbaring. Hal tersebut dilakukan untuk meredakan kemarahan. Tentu saja, perubahan posisi ini bukan hanya gerakan fisik semata.

Perubahan posisi ini dimaksudkan agar seseorang dapat mendekatkan diri dengan tanah, sehingga ia bisa merenungkan kerendahan dan kehinaan asal-usulnya, serta mengingat keutamaan menahan amarah dan kebesaran akan ganjaran saat memaafkan orang lain. Perubahan posisi ini adalah isyarat sujud yang menunjukkan bahwa kepala, sebagai anggota tubuh yang paling terhormat, ditempatkan pada tanah, tempat yang paling rendah.

Selain itu, Nabi ﷺ juga pernah bersabda mengenai berwudhu dan ber-ta’awudz.

“Marah itu berasal dari setan. Setan diciptakan dari api. Api dapat dipadamkan oleh air. Bila salah seorang dari kalian marah, hendaklah ia berwudhu.” (HR Abu Dawud).

4. Nafsu Muthmainah: Dipersonifikasikan sebagai Resi Hanoman (kera berbulu putih) atau Bayu Kinara yang berwatak putih. Maknanya adalah untuk melambangkan sifat yang membimbing, menyucikan, dan menuntun ke arah kebaikan. Muthmainnah dalam hal ini adalah nafsu ketika seorang hamba selalu merasakan ketenangan saat bersama Allah, tenteram dengan mengingat-Nya, sadar akan berpulang kepada-Nya, rindu berjumpa dengan-Nya, dan selalu bersandar pada-Nya.

Nafsu muthmainnah, secara definisi, adalah kondisi jiwa dari seorang mukmin yang sepenuhnya yakin akan janji-janji Allah. Dengan tenang, ia akan mencapai makrifat terhadap asma dan sifat-sifat-Nya, serta mantap dalam kepercayaannya terhadap segala kabar yang dibawa oleh Rasul-Nya. Keyakinan ini membuatnya melihat apa yang dijanjikan Allah, termasuk peristiwa di alam barzakh dan hari akhir, seolah-olah nyata di depan matanya.

Empat lambang tersebutlah yang dinasihatkan Sunan Kalijaga dalam kisah Dewa Ruci dan Werkudoro.

Jalan “Tapa” Menuju “Kesejatian”

Cara untuk mencapainya adalah melalui “tapa”. Tapa sebenarnya adalah tradisi Hindu-Buddha yang dikenal juga sebagai “semedi”. Dalam bahasa Urdu, tap atau tapa diartikan sebagai “energi”. Dalam pembahasan ini, dibedakan dua hal, antara “tapa” dan “zakat”. Tapa itu adalah tindakan diri ke dalam, sedangkan zakat itu tindakan diri ke luar (hubungan dengan manusia lainnya).

Jenis-jenis Tapa Menurut Kanjeng Sunan

1. Badan: Tapa dalam konteks badaniah adalah selalu berlaku sopan-santun, sedangkan zakat dalam konteks badaniah adalah gemar berbuat kebajikan dan kerahmatan dengan manusia dan makhluk Allah lainnya.

2. Hati atau budi: Tapa dalam konteks hati adalah selalu dalam kerelaan kepada-Nya dan bersabar, sedangkan zakatnya adalah selalu berusaha untuk menghindari diri dari prasangka-prasangka buruk terhadap siapa pun, positive thinking kepada Allah dan takdir-Nya, serta menjaga hati dari iri dengki.

3. Nafsu: Tapa dalam konteks nafsu adalah selalu berusaha untuk berhati Ikhlas, sedangkan zakatnya adalah selalu tabah dalam menjalani segala bentuk cobaan, kesengsaraan, dan mudah untuk memaafkan kesalahan siapa pun.

4. Nyawa atau roh: Tapa dalam hal ini adalah selalu berlaku jujur, sedangkan zakatnya adalah tidak mengganggu atau mencela siapa pun.

5. Rahsa atau intuisi: Tapa dalam hal ini adalah selalu berusaha untuk melakukan keutamaan dan kebajikan, sedangkan zakatnya adalah “berduka dalam keheningan hati” dan selalu menyesali kesalahan kita dengan bertaubat terus-menerus kepada Allah Sang Penguasa Langit dan Bumi. Ketika intuisi atau rahsa kita sedang keruh, kita tidak akan dapat menilai yang benar atau yang salah secara hakiki.Oleh karena itu, Kanjeng Sunan selalu menegaskan untuk selalu eling kepada Gusti Allah.

6. Cahaya atau nur: Tapa dalam rangka cahaya atau nur adalah melakukan hal-hal yang suci dan disucikan oleh syariat Islam, sedangkan zakatnya adalah selalu berhati ikhlas secara total kepada Allah dan segala ketetapan-Nya.

7. Atma atau hayu: Tapa dalam konteks ini adalah awas dan selalu mengingat-Nya (eling lan wospodo), sedangkan zakatnya adalah selalu “mengingat Allah yang Maha Besar.”

Tapa-nya Anggota Badan (Diet Rohani, Bukan Jasmani)

1. Untuk mata:

  • Tapanya adalah mengurangi tidur, meningkatkan ibadah shalat, dan terus mendekatkan diri kepada Allah (ber-dzikir dan beribadah).
  • Zakatnya adalah tidak menginginkan kepunyaan orang lain, tidak melirik kepunyaan orang lain, tidak iri-dengki, dan tidak clingak-clinguk dengan kepemilikannya orang lain.

2. Untuk telinga:

  • Tapanya adalah mencegah segala bentuk hawa nafsu supaya tidak terdengar dalam telinga.
  • Zakatnya adalah dengan tidak mendengarkan perkataan-perkataan yang buruk.

3. Untuk hidung:

  • Tapanya adalah mengurangi makan dan minum (puasa).
  • Zakatnya adalah tidak suka dan menghindari untuk mencela orang lain.

4. Untuk lisan (lidah):

  • Tapanya adalah mengurangi makan dan minum (puasa).
  • Zakatnya adalah dengan menghindari berkata-kata dengan perkataan yang buruk dan tidak sopan/tidak senonoh. Termasuk pula dari “jempol” melalui media sosial.

5. Untuk aurat:

  • Tapanya adalah menahan syahwat.
  • Zakatnya adalah selalu menghindari zina dan sama sekali menjauh dari perbuatan zina.

6. Untuk tangan:

  • Tapanya adalah tidak mencuri atau tidak mengambil barang/apa saja yang bukan hak dan kepemilikannya (tidak korupsi).
  • Zakatnya adalah tidak suka memukuli dan selalu menghindari menyakiti orang lain melalui perbuatan kita.

7. Untuk kaki:

  • Tapanya adalah selalu menghindari dan mengupayakan agar kaki kita tidak digunakan untuk berjalan ke arah yang buruk dan berbuat yang tidak baik. Intinya adalah kita harus selalu menghindari berbuat jahat.
  • Zakatnya adalah dengan cara beristirahat dan berfokus pada introspeksi diri (muhasabah).

Referensi

Kurniawan, Alhafiz. “Tips Nabi Muhammad Saw. dalam Mengendalikan Emosi.” NU Online, 19 Desember 2021. https://islam.nu.or.id/tasawuf-akhlak/tips-nabi-muhammad-saw-dalam-mengendalikan-emosi-faimN.

Wijaya, M. Tatam. “Mengenal Nafsu Amarah.” NU Online, 12 Februari 2020. https://islam.nu.or.id/tasawuf-akhlak/mengenal-nafsu-amarah-PbMQB.

———. “Mengenal Nafsu Lawwamah.” NU Online, 19 Februari 2020. https://islam.nu.or.id/tasawuf-akhlak/mengenal-nafsu-lawwamah-HxRLI.

———. “Mengenal Nafsu Muthmainnah.” NU Online, 10 Maret 2020. https://islam.nu.or.id/tasawuf-akhlak/mengenal-nafsu-muthmainnah-mSbKC.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun