Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) merupakan produk yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat RI (MPR RI) yang pernah diterbitkan saat MPR masih menjadi lembaga tertinggi negara. GBHN yang lekat sekali dengan produk rezim Orde Baru pada masa kepemimpinan Jenderal Soeharto, ternyata telah ada sejak zaman Demokrasi Terpimpin, yakni pada masa Presiden Sukarno.
GBHN yang oleh Presiden Sukarno ini didasarkan pada pemikirannya, dijadikan sebagai arah-geraknya negara dan arah geraknya Revolusi. Pada masa Presiden Sukarno telah kembali menjadi presiden dalam rangka UUD 1945, yakni pasca-Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengonsolidasikan kekuasaannya kembali dalam alam Revolusi Nasional.
Presiden Sukarno berfokus pada pencapaian masyarakat adil dan makmur dengan jalan revolusi. Revolusi yang dimaksud olehnya adalah melanjutkan Revolusi '17 Agustus 1945 yang terhambat akibat konsesi penyerahan kedaulatan KMB. Revolusi dan UUD 1945---sebagai konstitusi Revolusi---telah mati suri dalam guncangan demokrasi liberal. Bahkan, negara kesatuan yang bangkit kembali pada 1950, Bung Karno juga menyebutnya sebagai keadaan mati suri dan hidup atau bangkit kembali karena semangat persatuan dan kesatuan di dadanya rakyat Indonesia.
Revolusi berlanjut setelah Bung Karno memberlakukan kembali UUD 1945 yang presidensial, di mana Presiden selaku Kepala Pemerintahan dapat langsung menyelenggarakan pemerintahan. Kabinet parlementer dalam alam demokrasi liberal berdasarkan UUDS 1950 telah tidak berlaku lagi. Oleh karena itu, Presiden Sukarno tidak hanya menjadi sebagai Kepala Negara atau pemimpin Revolusi, tetapi langsung menjadi Kepala Pemerintahan sekaligus memimpin revolusi Indonesia.
GBHN merupakan amanat konstitusi UUD 1945 yang asli, di mana Pasal 3 UUD 1945 yang asli menyebutkan bahwa MPR menetapkan UUD dan Garis-garis Besar Haluan Negara. Dijelaskan kembali dalam bagian penjelasan UUD 1945 yang asli bahwa GBHN disusun oleh MPR RI, sedangkan Presiden sebagai "mandataris" dan diangkat oleh MPR harus melaksanakan GBHN yang telah ditetapkan oleh MPR sebelumnya.Â
Dalam sejarahnya, GBHN pertama yang dimiliki oleh Republik Indonesia adalah Manifesto Politik Republik Indonesia hasil dari pemikiran Presiden Sukarno. Â Manifesto Politik itu disahkan ke dalam Tap MPRS No. I/MPRS/1960 Tahun 1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia Sebagai Garis-Garis Besar Daripada Haluan Negara. Produk MPRS ini disahkan pada rapat pleno MPRS ke-4, Sidang Pertama, 19 November 1960, di Bandung.
Isi dari Manifesto Politik yang menjadi GBHN ini mempertimbangkan 6 poin, antara lain:
- Amanat Negara yang diucapkan oleh Presiden pada Pembukaan Sidang Pertama Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara pada Hari Pahlawan 10 Nopember 1960;
- Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul "Penemuan kembali Revolusi kita" dan yang terkenal sebagai Manifesto Politik Republik Indonesia;
- Keputusan Dewan Pertimbangan Agung "Perincian Manifesto Politik Republik Indonesia 17 Agustus 1959" tertanggal 25 September 1959 No. 3/Kpts/Sd/II/59, yang telah disetujui oleh Presiden dalam "Kata Pengantar" Manifesto Politik Republik Indonesia pada Hari Pahlawan 10 Nopember 1959;
- Amanat Presiden pada Sidang Pleno pertama Depernas mengenai Pembangunan Semesta Berencana pada tanggal 28 Agustus 1959 yang diucapkan dan yang tertulis, yang menjadi bahagian daripada haluan Negara;
- Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang terkenal dengan nama "Jalannya Revolusi Kita" yang menjadi pedoman pertama daripada pelaksana Manifesto Politik Republik Indonesia;
- Pidato Presiden tanggal 30 September 1960 yang diucapkan di muka Sidang Umum PBB yang berjudul "To build the world a new" (Membangun dunia kembali).
Mayoritas pertimbangan yang didasarkan pada pidato presiden ini menggambarkan kebijakan negara pada zaman Demokrasi Terpimpin-nya Presiden Sukarno adalah "politik adalah panglima". Hal ini disebabkan oleh Presiden Sukarno yang mengembalikan "jalan" Revolusi dengan tujuan mencapai masyarakat adil dan makmur selekas-lekasnya. Sekaligus sebagai respons dalam kondisi internasional yang sedang terguncang oleh perang ideologi, atau sering disebut Perang Dingin.
Pasal 3 Tap MPR tersebut menerangkan bahwa Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang terkenal dengan nama "Jalannya Revolusi Kita" dan Pidato Presiden tanggal 30 September 1960 di muka Sidang Umum PBB yang berjudul "To build the world a new" (Membangun dunia kembali) adalah pedoman-pedoman pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia. Manifesto Politik ini sering kali juga disebut sebagai Manipol USDEK (Manifesto Politik UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kebudayaan Nasional). Kesemuanya dijadikan Bung Karno sebagai dasar Revolusi Indonesia dan sekaligus menjadi alat Revolusi.
GBHN mengalami perubahan paradigmatik seiring berjalannya pemerintahan Orde Baru. Pada masa ini, GBHN ditekankan kepada pembangunan atau developmentalism. Orde Baru menjadikan "ekonomi adalah panglima", atau "pembangunan adalah panglima". Hal ini disebabkan Orde Baru adalah antitesis dari Demokrasi Terpimpin. Orde Baru adalah rezim kontrarevolusioner yang berdiri "mengangkangi Demokrasi Terpimpin". Orde Baru dibentuk untuk kemenangan Amerika Serikat dalam langkah dan program antikomunisnya di Timur Jauh, khususnya Republik Indonesia.
Sejarah GBHN berakhir pada masa reformasi (lengser keprabon-nya Jenderal Soeharto). Reformasi yang mengkehendaki pembatasan kekuasaan dan demokrasi, berhasil mengubah paradigmatik struktur dan relasi kelembagaan negara dalam ketatanegaraan Indonesia. Presiden dan MPR yang sebelumnya bersifat "atasan" dan "bawahan" dalam relasi konstitusional "Presiden sebagai mandataris MPR", diubah menjadi lembaga yang sejajar. MPR yang dulunya lembaga tertinggi negara, berubah menjadi lembaga tinggi negara yang sejajar dengan fungsi yang seremonialistik, sedangkan Presiden juga berada sejajar dengan lembaga yang lain dengan berdasarkan UUD 1945. Konstitusi UUD 1945 dalam masa reformasi, diupayakan menjadi kekuasaan paling tinggi, di mana paham konstitusionalisme sedang diusahakan untuk diterapkan. UUD
GBHN kemudian diadaptasi menjadi Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional sebagai dasar arah pembangunan. Kemudian, RPJP ini secara teknis akan dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). RPJP berlaku untuk 20 tahun, sedangkan RPJMN berlaku untuk 5 tahun.
Namun demikian, seiring berjalannya masa reformasi, perkembangan-perkembangan pembangunan bangsa Indonesia selalu tambal-sulam. Tiap kali perubahan presiden terjadi, bahkan pejabat di bawah presiden sekalipun terjadi, program pembangunannya pun berubah. Tak ayal apabila ada program-program presiden sebelumnya yang sebenarnya baik, tetapi diberhentikan dan diubah sedemikian rupa oleh presiden yang baru hanya karena perbedaan politik, bahkan "sebatas" perbedaan latar belakang partai saja.
Jimly Asshiddiqie pada 2019 silam juga mengkritik RPJP dengan memperbandingkan pada GBHN. RPJP dinilai tidak komprehensif dan tidak terpadu. Jimly menjelaskan bahwa RPJP disusun hanya oleh pejabat perencanaan negara saja, sedangkan GBHN dibentuk oleh kolaborasi antara LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), pengusaha, dan lain sebagainya. Selain itu, RPJP juga sangat bias pemilihan umum, seperti yang dibahas oleh alinea sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh RPJP yang disusun oleh pejabat bidang perencanaan, sehingga tidak tergambar dengan baik visi pembangunan pada 20 tahun mendatang. RPJP pun hanya mementingkan perspektif ekonomi dengan para ekonom saja yang menyusunnya. Tak hanya itu, RPJP pun tidak nihil perang masyarakat sipil, sehingga seakan-akan hanya berfokus pada negara.
Dengan kondisi demikian, ada usulan untuk kembali memberlakukan GBHN. PDI Perjuangan menjelaskan bahwa GBHN penting untuk memastikan keberlanjutan. Hal ini agar target-target pembangunan jangka panjang, seperti kedaulatan pangan, kedaulatan energi, dan lain sebagainya dapat terus berlanjut dan tidak bergantung pada satu atau dua periode presiden, tetapi terus-menerus.
Bukti lain urgensi GBHN ini diadakan kembali adalah perubahan visi dan misi presiden yang kemudian diakomodasi dalam RPJMN. Contohnya adalah RPJMN periode 2004-2009 pemerintah memiliki visi mewujudkan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai. Lalu, periode 2009-2014 pemerintah mengusung visi terwujudnya Indonesia yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan. Sementara periode 2014-2019, pemerintah mencanangkan visi terwujudnya Indonesia yang beradulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong-royong.
GBHN yang ingin diadakan kembali pun menjadi dilematik dalam sistem presidensial yang dianut Republik Indonesia, bahkan diperkuat oleh amandemen UUD 1945 pada 1999-2002. Meski segala latar belakangnya berniat baik untuk menentukan arah pembangunan yang jelas (dan tidak tiba-tiba memindahkan ibu kota), perlu kiranya untuk mengkaji lebih rinci. Hal ini disebabkan adanya dampak yang dapat mempengaruhi pada struktur ketatanegaraan Republik.
Khususnya adalah:
Bagaimana menjawab pertanyaan tentang bagaimana bentuk pertanggungjawaban presiden terhadap pelaksanaan GBHN?
Bagaimana relasi konstitusional antara presiden dan MPR setelah ada perintah pelaksanaan GBHN?
Kedua pertanyaan ini penting, sebab Indonesia sejak 1959, dan diperkuat sejak 1999-2002, adalah sistem pemerintahan presidensial. Namun apabila GBHN kembali dihidupkan, apakah pemberlakuan GBHN ini akan mengganggu sistem presidensial, sehingga menjadi sistem presidensial yang semiparlementer kembali?
Pandangan PSHK (Pusat Studi Hukum & Konstitusi)
Upaya memberlakukan kembali GBHN ini mendapat respons dari Pusat Studi Hukum & Konstitusi (PSHK). Terdapat lima poin yang dijelaskan oleh GBHN.
Dapat merusak sistem pemerintahan presidensial di Republik Indonesia.
Implikasi GBHN tentunya akan menempatkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Ppresiden yang bukan mandataris MPR dan MPR yang bukan lagi lembaga tertinggi negara akan kembali ke dalam alam sistem presidensial yang semiparlementer lagi.
Melawan arus sejarah
Republik Indonesia pernah menjalan pola pembangunan berjangka dengan GBHN yang dibentuk MPR, yakni pada pemerintahan Presiden Sukarno, Soeharto, B. J. Habibie, hingga Abdurrahman Wahid. Bahkan, Presiden Sukarno dan Presiden Wahid pernah mengalami pemakzulan oleh Majelis dengan dalih tidak melaksanakan GBHN sebaik-baiknya. Penghapusan GBHN dalam UUD 1945 adalah semangat sejarah untuk memberhentikan posisi presiden yang hanya sebagai pelaksana tugas saja, sehingga esensi presiden tidak benar-benar bertanggung jawab. Selain itu, amandemen GBHN dihilangkan adalah untuk memosisikan Presiden sebagai pemegang arah dan komando tertinggi pembangunan dalam konteks ketatanegaraan.
Memperburuk kinerja parlemen
Upaya amandemen UUD 1945 untuk menghidupkan kembali GBHN berpotensi meningkatkan beban pekerjaan yang banyak pada anggota MPR, yang teridir dari anggota DPR dan DPR, sehingga dapat mengancam kualitas kinerja DPR, terutama dalam fungsi legislasi. Capaian merah DPR dalam periode terakhir, akan lebih buruk bila "waktu kerja" DPR semakin disita oleh proses-proses pengamandemen UUD 1945 nantinya.
Melawan komitmen arah pembangunan
Pengembalian GBHN dianggap tidak relevan mengingat adanya RPJPN yang saat ini berlaku, sehingga dapat memberikan pandangan negatif terhadap komitmen arah pembangunan nasional. Menurut PSHK, apabila ingin memperbaiki arah pembangunan, elite politik cukup fokus untuk mengubah RPJMN, atau merevisi RPJP secara keseluruhan.
Melawan prinsip partisipasi publik dalam pemerintahan
Proses amandemen UUD untuk GBHN cenderung hanya melibatkan elite politik, tanpa memperhatikan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat. Hal ini menunjukkan ketidaksesuaian dengan aspirasi publik dalam pemerintahan.
Kesinambungan arah pembangunan hukum nasional
Pertama, dalam konteks amandemen Konstitusi UUD 1945, penghapusan GBHN juga terkait dengan perubahan model pemilihan presiden dan penetapannya. Presiden pascaamandemen dipilih langsung melalui pemilihan umum oleh rakyat. Dalam hasil amandemen seperti ini, peran presiden menjadi penanggung jawab arah pembangunan. Sebagai tanggapannya maka Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) menggantikan peranan GBHN, dengan pembentukan yang disesuaikan berdasarkan format konstitusional yang berubah akibat amandemen konstitusi.
Kedua, dalam konteks strategi pembangunan nasional. Perbedaan GBHN terlihat pada tahapan pendefinisian arah kebijakan selama 25 tahun ke depan untuk jangka panjang, dan 5 tahun utnuk tahapan secara berkelanjutan. Hal ini serupa dengan sistem perencanaan nasional yang kini berlaku, seperti perencanaan pembangunan 5 tahunan (RPJMN) dan kebijakan perencanaan jangka panjang dalam 20 tahunan.
Ketiga, dalam aspek pembangunan, perbandingan antara GBHN dan RPJP menonjolkan adanya pengaruh dalam proses pengambilan keputusan politik terhadap kontinuitas pelaksanaan program-program pembangunan. Hal ini dapat disebabkan oleh karena RPJP lebih terbatas dalam segi sosialisasi, sedangkan GBHN cukup masif dilakukan pada masa Orde Baru, sehingga mempengaruhi GBHN pada masa Orde Baru lebih dikenal oleh masyarakat. Dengan demikian, pengaruhnya dapat mendorong sistem perencanaan pembangunan nasional saat ini agar disesuaikan dengan dinamika sosial dan politik pada masa kepemimpinan presiden masing-masing.
Referensi
Permana, Fuji Eka. "Beda RPJP dan GBHN Menurut Prof Jimly." Republika, 25 Oktober 2019. https://khazanah.republika.co.id/berita/pzwmlf313/beda-rpjp-dan-gbhn-menurut-prof-jimly.
Presiden Republik Indonesia. Keputusan Presiden Nomor 150 Tahun 1959 Tentang Kembali Kepada Undang-undang Dasar 1945, Berita Negara Republik Indonesia (1959).
Sukarno. Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 2. Revisi. Yogyakarta: Yayasan Bung Karno, 1965.
---------. Res Publica, Sekali Lagi Res Publica! Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1959.
Tim Peneliti PSHK. "5 ALASAN MENOLAK UPAYA MENGEMBALIKAN GBHN MELALUI AMENDEMEN UUD 1945." Pusat Studi Hukum & Konstitusi (PSHK), 2019. https://pshk.or.id/publikasi/siaran-pers/5-alasan-menolak-upaya-mengembalikan-gbhn-melalui-amendemen-uud-1945/.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H