GBHN kemudian diadaptasi menjadi Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional sebagai dasar arah pembangunan. Kemudian, RPJP ini secara teknis akan dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). RPJP berlaku untuk 20 tahun, sedangkan RPJMN berlaku untuk 5 tahun.
Namun demikian, seiring berjalannya masa reformasi, perkembangan-perkembangan pembangunan bangsa Indonesia selalu tambal-sulam. Tiap kali perubahan presiden terjadi, bahkan pejabat di bawah presiden sekalipun terjadi, program pembangunannya pun berubah. Tak ayal apabila ada program-program presiden sebelumnya yang sebenarnya baik, tetapi diberhentikan dan diubah sedemikian rupa oleh presiden yang baru hanya karena perbedaan politik, bahkan "sebatas" perbedaan latar belakang partai saja.
Jimly Asshiddiqie pada 2019 silam juga mengkritik RPJP dengan memperbandingkan pada GBHN. RPJP dinilai tidak komprehensif dan tidak terpadu. Jimly menjelaskan bahwa RPJP disusun hanya oleh pejabat perencanaan negara saja, sedangkan GBHN dibentuk oleh kolaborasi antara LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), pengusaha, dan lain sebagainya. Selain itu, RPJP juga sangat bias pemilihan umum, seperti yang dibahas oleh alinea sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh RPJP yang disusun oleh pejabat bidang perencanaan, sehingga tidak tergambar dengan baik visi pembangunan pada 20 tahun mendatang. RPJP pun hanya mementingkan perspektif ekonomi dengan para ekonom saja yang menyusunnya. Tak hanya itu, RPJP pun tidak nihil perang masyarakat sipil, sehingga seakan-akan hanya berfokus pada negara.
Dengan kondisi demikian, ada usulan untuk kembali memberlakukan GBHN. PDI Perjuangan menjelaskan bahwa GBHN penting untuk memastikan keberlanjutan. Hal ini agar target-target pembangunan jangka panjang, seperti kedaulatan pangan, kedaulatan energi, dan lain sebagainya dapat terus berlanjut dan tidak bergantung pada satu atau dua periode presiden, tetapi terus-menerus.
Bukti lain urgensi GBHN ini diadakan kembali adalah perubahan visi dan misi presiden yang kemudian diakomodasi dalam RPJMN. Contohnya adalah RPJMN periode 2004-2009 pemerintah memiliki visi mewujudkan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai. Lalu, periode 2009-2014 pemerintah mengusung visi terwujudnya Indonesia yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan. Sementara periode 2014-2019, pemerintah mencanangkan visi terwujudnya Indonesia yang beradulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong-royong.
GBHN yang ingin diadakan kembali pun menjadi dilematik dalam sistem presidensial yang dianut Republik Indonesia, bahkan diperkuat oleh amandemen UUD 1945 pada 1999-2002. Meski segala latar belakangnya berniat baik untuk menentukan arah pembangunan yang jelas (dan tidak tiba-tiba memindahkan ibu kota), perlu kiranya untuk mengkaji lebih rinci. Hal ini disebabkan adanya dampak yang dapat mempengaruhi pada struktur ketatanegaraan Republik.
Khususnya adalah:
Bagaimana menjawab pertanyaan tentang bagaimana bentuk pertanggungjawaban presiden terhadap pelaksanaan GBHN?
Bagaimana relasi konstitusional antara presiden dan MPR setelah ada perintah pelaksanaan GBHN?
Kedua pertanyaan ini penting, sebab Indonesia sejak 1959, dan diperkuat sejak 1999-2002, adalah sistem pemerintahan presidensial. Namun apabila GBHN kembali dihidupkan, apakah pemberlakuan GBHN ini akan mengganggu sistem presidensial, sehingga menjadi sistem presidensial yang semiparlementer kembali?
Pandangan PSHK (Pusat Studi Hukum & Konstitusi)
Upaya memberlakukan kembali GBHN ini mendapat respons dari Pusat Studi Hukum & Konstitusi (PSHK). Terdapat lima poin yang dijelaskan oleh GBHN.