Implikasi GBHN tentunya akan menempatkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Ppresiden yang bukan mandataris MPR dan MPR yang bukan lagi lembaga tertinggi negara akan kembali ke dalam alam sistem presidensial yang semiparlementer lagi.
Melawan arus sejarah
Republik Indonesia pernah menjalan pola pembangunan berjangka dengan GBHN yang dibentuk MPR, yakni pada pemerintahan Presiden Sukarno, Soeharto, B. J. Habibie, hingga Abdurrahman Wahid. Bahkan, Presiden Sukarno dan Presiden Wahid pernah mengalami pemakzulan oleh Majelis dengan dalih tidak melaksanakan GBHN sebaik-baiknya. Penghapusan GBHN dalam UUD 1945 adalah semangat sejarah untuk memberhentikan posisi presiden yang hanya sebagai pelaksana tugas saja, sehingga esensi presiden tidak benar-benar bertanggung jawab. Selain itu, amandemen GBHN dihilangkan adalah untuk memosisikan Presiden sebagai pemegang arah dan komando tertinggi pembangunan dalam konteks ketatanegaraan.
Memperburuk kinerja parlemen
Upaya amandemen UUD 1945 untuk menghidupkan kembali GBHN berpotensi meningkatkan beban pekerjaan yang banyak pada anggota MPR, yang teridir dari anggota DPR dan DPR, sehingga dapat mengancam kualitas kinerja DPR, terutama dalam fungsi legislasi. Capaian merah DPR dalam periode terakhir, akan lebih buruk bila "waktu kerja" DPR semakin disita oleh proses-proses pengamandemen UUD 1945 nantinya.
Melawan komitmen arah pembangunan
Pengembalian GBHN dianggap tidak relevan mengingat adanya RPJPN yang saat ini berlaku, sehingga dapat memberikan pandangan negatif terhadap komitmen arah pembangunan nasional. Menurut PSHK, apabila ingin memperbaiki arah pembangunan, elite politik cukup fokus untuk mengubah RPJMN, atau merevisi RPJP secara keseluruhan.
Melawan prinsip partisipasi publik dalam pemerintahan
Proses amandemen UUD untuk GBHN cenderung hanya melibatkan elite politik, tanpa memperhatikan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat. Hal ini menunjukkan ketidaksesuaian dengan aspirasi publik dalam pemerintahan.
Kesinambungan arah pembangunan hukum nasional
Pertama, dalam konteks amandemen Konstitusi UUD 1945, penghapusan GBHN juga terkait dengan perubahan model pemilihan presiden dan penetapannya. Presiden pascaamandemen dipilih langsung melalui pemilihan umum oleh rakyat. Dalam hasil amandemen seperti ini, peran presiden menjadi penanggung jawab arah pembangunan. Sebagai tanggapannya maka Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) menggantikan peranan GBHN, dengan pembentukan yang disesuaikan berdasarkan format konstitusional yang berubah akibat amandemen konstitusi.
Kedua, dalam konteks strategi pembangunan nasional. Perbedaan GBHN terlihat pada tahapan pendefinisian arah kebijakan selama 25 tahun ke depan untuk jangka panjang, dan 5 tahun utnuk tahapan secara berkelanjutan. Hal ini serupa dengan sistem perencanaan nasional yang kini berlaku, seperti perencanaan pembangunan 5 tahunan (RPJMN) dan kebijakan perencanaan jangka panjang dalam 20 tahunan.
Ketiga, dalam aspek pembangunan, perbandingan antara GBHN dan RPJP menonjolkan adanya pengaruh dalam proses pengambilan keputusan politik terhadap kontinuitas pelaksanaan program-program pembangunan. Hal ini dapat disebabkan oleh karena RPJP lebih terbatas dalam segi sosialisasi, sedangkan GBHN cukup masif dilakukan pada masa Orde Baru, sehingga mempengaruhi GBHN pada masa Orde Baru lebih dikenal oleh masyarakat. Dengan demikian, pengaruhnya dapat mendorong sistem perencanaan pembangunan nasional saat ini agar disesuaikan dengan dinamika sosial dan politik pada masa kepemimpinan presiden masing-masing.
Referensi
Permana, Fuji Eka. "Beda RPJP dan GBHN Menurut Prof Jimly." Republika, 25 Oktober 2019. https://khazanah.republika.co.id/berita/pzwmlf313/beda-rpjp-dan-gbhn-menurut-prof-jimly.
Presiden Republik Indonesia. Keputusan Presiden Nomor 150 Tahun 1959 Tentang Kembali Kepada Undang-undang Dasar 1945, Berita Negara Republik Indonesia (1959).
Sukarno. Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 2. Revisi. Yogyakarta: Yayasan Bung Karno, 1965.