Dapat disimpulkan bahwa kelas “Marhaen” adalah kelas yang diperas oleh Belanda. Kelas yang telah menjadi korban dari kolonialisme, feodalisme, kapitalisme, dan imperialisme. Kelas yang tidak hanya berisi proletariat saja, tidak hanya berisi kaum buruh saja, tetapi kelas yang terdiri dari keseluruhan kaum-kaum miskin melarat, termasuk proletar yang akan menjadi garda paling depan. Dengan kata lain, marhaen adalah kelas yang berisikan orang-orang yang mempunyai alat produksi, tetapi hidupnya disulitkan secara struktural oleh penguasa.
Marhaenisme bermula ketika Sukarno sedang mencari kata yang dapat menjelaskan kelas rakyat Indonesia untuk dia persatukan sebagai satu kekuatan revolusioner. Apabila propaganda PKI menggunakan istilah orang kecil untuk kaum proletar, Bung Karno berbeda pandangan dengan mereka dalam hal pemikiran. Bung Karno berpikir bahwa rakyat yang miskin bukan hanya golongan proletar saja, melainkan hampir keseluruhan rakyat Indonesia berada dalam belenggu kemiskinan akibat kapitalisme dan kolonialisme.
Rakyat pada masa itu sebagian besar adalah pekerja kecil. Maka dapat dikatakan mereka memiliki alat produksi sendiri. Katakanlah seorang kusir yang memiliki dokar dan kuda, seorang petani yang mempunyai satu petak sawah, nelayan yang punya alat pancing, jala, dan perahu miliknya sendiri. Akan tetapi, alat produksi itu sedemikian kecilnya, sehingga hanya cukup untuk sekadar menopang hidup dalam waktu sebulan atau dua bulan, bahkan hanya seminggu saja. Penghasilan yang terlalu kecil untuk bisa menaikkan harkat sosial, politik, atau ekonominya sebagai individu. Yang mana intinya, menurut Bung Karno mereka bukan proletar sebagaimana sering disebut para aktivis komunis kala itu.
Versi lain dari penamaan Marhaenisme diungkap oleh sejarawan Peter A. Rohi adalah seorang tokoh asal Sunda yang bernama Aeng. Peter menilai bahwa Sukarno mengubah nama Aeng menjadi Marhaen sebagai kepentingan simbol politik perlawanan terhadap kolonialisme. Impresi yang timbul dari “Aeng” dan “Marhaen” memang berbeda. Sukarno mungkin telah melakukan dramatisasi sebagai cara menciptakan simbol politik yang sedemikian kuat dan berpengaruh dalam perjuangan politiknya. Terlepas dari itu semua, Presiden Sukarno pun pernah mengundang Kang Aen ke Istana pada 1950-an.
Versi lainnya lagi adalah penghalusan pemikiran Marxisme versi Sukarno dengan mengubah namanya menjadi Marhaen. Dengan mengambil nama Marx dan Engel sebagai suatu singkatan sehingga terciptalah nama Marhaen. Peter Kasenda tidak menentangnya, tetapi segera meluruskan pandangan demikian. Ia menjelaskan bahwa, Bung Karno memang seorang penganut Marxis, tetapi dengan segala gayanya yang bersifat Indonesia. Bung Karno sendiri mengungkapkan bahwa tidak akan orang memahami Marhaenisme, apabila tidak memahami Marxisme.
“Seorang Marhaen adalah orang yang memiliki alat-alat yang sedikit, orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekedar cukup untuk dirinya sendiri. Bangsa kita yang punya puluhan juta jiwa, yang sudah dimelaratkan, bekerja bukan untuk orang lain dan tidak ada orang bekerja untuk dia. Tidak ada pengisapan tenaga seseorang oleh orang lain. Marhaenisme adalah Sosialisme Indonesia dalam praktik,” demikian Sukarno menjabarkan dalam otobiografinya.
Dalam pemaparannya, Sukarno menjelaskan istilah “Marhaenisme” dengan memaknakannya sama seperti “massasisme” atau kekuatan massa. Meskipun mereka kecil dalam status dan kepemilikan, mereka besar dalam jumlah yang bila disatukan dapat menjadi kekuatan besar untuk melawan praktik kolonialisme.
Selain itu, Marhaenis sebagai tiap-tiap rakyat Indonesia yang menjalankan Marhaenisme, wajib ikut serta dalam perjuangan kaum Marhaen itu. Pemahaman demikian ini ditegaskan saat Partai Indonesia (Partindo) menjadikan Marhaenisme sebagai asas perjuangan politik partainya.
Sukarno terinspirasi dari penelusuran historis pada masa itu, yang mana kolonialisme Belanda berhasil menyebabkan rakyat Indonesia sengsara. Kesengsaraan itu menimbulkan beragam pemikiran dan aliran politik untuk melawan kolonialisme. Bung Karno dengan semangat persatuan nasionalnya terus berusaha mengupayakan persatuan masyarakat Indonesia yang majemuk tersebut, menjadi satu kesatuan sebagai sesuai dengan paham “Marhaenisme”.
Berdasarkan kemajemukan masyarakat tersebut, Bung Karno berusaha terus-menerus menggalang rasa kebangsaan rakyat Indonesia sekaligus menyadarkan kebangsaan itu, yang pada saat itu dalam kondisi tercerai-berai. Bung Karno memulainya dengan menawarkan ide nasionalisme, yang perumusannya sesuai dengan alam dan kondisi Indonesia. Konsep nasionalisme Sukarno sangat dipengaruhi oleh pemikiran Ernest Renan (1882) mengenai konsep bangsa. Menurut Renan, bangsa adalah suatu kesatuan nyawa atau suatu asas-akal, yang terjadi akibat:
- Rakyat itu dari awal harus bersama-sama menjalani suatu sejarah; dan
- Rakyat harus memiliki kemauan, keinginan hidup menjadi satu. Bukan sekadar hidup bersama berdasarkan jenis ras, bahasa, agama, persamaan kebutuhan dan batas-batas negeri saja.
Dalam tulisannya yang berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, Bung Karno menegaskan bahwa nasionalismenya adalah nasionalisme yang berarti kesadaran rakyat bahwa rakyat adalah sekumpulan manusia yang secara historis memiliki kesamaan riwayat, kemauan, dan keinginan untuk menjadi satu. Dalam kata lain, Bung Karno menekankan pada suatu kesadaran rakyat terhadap nasib hidupnya. Nasionalisme yang divisikan oleh Bung Karno adalah kesadaran nasib bahwa rakyat Indonesia sama-sama memiliki nasib sebagai bangsa yang tertindas dan terjajah, yang nantinya api nasionalisme yang membara dapat mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan sebagai bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.