“Tapi semua ini milikmu?”
“Iya, Gan.”
Bung Karno terus menanyakan pertanyaan yang selama ini tersimpan di dalam benaknya. Ia mengingat teori yang dilontarkan oleh ahli ekonomi mengenai “penderita minimum”. Inikah dia orangnya?
“Siapa namamu?”
“Marhaen.”
Sejak saat itu, pemikiran politiknya disebut sebagai Marhaenisme. Bahkan, yang oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) rakyat kecil disebut sebagai kromo, disebut oleh Bung Karno sebagai “Marhaen”. Petani kecil yang ia temukan di Bandung, menjadi simbol sekaligus ideologi untuk membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan Belanda.
Ide Marhaenisme ini bersumber dari Sosialisme yang “dikawinkan” dengan penemuan kembali kepribadian bangsa Indonesia. “Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktik,” ujar Bung Karno.
Perlu diingat kembali, pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, Bung Karno memang sudah berupaya keras untuk merumuskan permasalahan konkret yang dialami oleh bangsanya. Analisis Bung Karno akhirnya membuahkan hasil berupa adanya permasalahan kesengsaraan yang terjadi pada rakyat Indonesia yang hidup di bawah penjajahan kolonial Hindia Belanda.
Sukarno bahkan menggali sejarah Indonesia—yang dahulu berupa kerajaan-kerajaan di Nusantara—secara mendalam, sehingga mengakibatkan tumbuhnya kesadaran Bung Karno akan realitas kehidupan bangsa Indonesia yang sangat berketimpangan antara kelompok minoritas yang kaya (kulit putih dan para priyayi/ningrat) dengan kelompok yang miskin (hampir keseluruhan rakyat Indonesia). Berdasarkan buku Renungan Bapak Marhaen Indonesia, kurang lebih 92% dari rakyat Indonesia pada masa kolonial hidup dalam keadaan miskin, yang diakibatkan oleh kolonialisme dan kapitalisme. Atas dasar penderitaan akan kemiskinan inilah, timbul keinginan Bung Karno untuk memberontak, dengan suatu faith bahwa jika penjajahan berhasil dihapuskan, pasti dapat mengubah kehidupan rakyat menjadi lebih sejahtera.
Dalam hal memuluskan kekejaman penjajahannya, Belanda menggunakan kaum-kaum feodalis (priyayi dan ningrat) di Nusantara, mulai dari yang tertinggi hingga yang paling rendah sebagai kaki-tangan oleh VOC, yang kemudian, berkembang menjadi pemerintah Hindia Belanda. Berangkat dari permanfaatan kaum feodalis ini, Indonesia menjadi tidak memiliki kelas borjuis yang berkuasa—pengusaha atau pedagang bumiputra sangatlah lemah. Kekuasaan tertinggi dari bumiputra yang ada di masyarakat hanyalah kaum feodalis, itu pun sudah menjadi kaki-tangan Belanda. Hanya Bung Karno dan sekelompok pejuang-aktivis sajalah, cikal-bakal priyayi yang memberontak karena kesadarannya.
Pada masa demikianlah, lahir kelas baru yang tidak dapat disebut sebagai proletar saja, sebab kelas baru itu masih memiliki alat produksi, tetapi hidup dalam kondisi yang serba kesusahan. Bung Karno memberikan nama kelas itu sebagai “Marhaen”, yang mana terdiri dari kaum proletar, kaum tani melarat, dan golongan melarat atau kelas kecil lainnya.