Tanggal 14 Februari lalu segenap masyarakat Indonesia telah melaksanakan pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) untuk menentukan nasib bangsa lima tahun kedepannya.
Bukan hanya di Indonesia, hampir seluruh negara tahun ini dipastikan menyelenggarakan pemilu serupa salah satunya negara empunya demokrasi Amerika Serikat.
Seiring dengan waktu, demokrasi Indonesia bisa dibilang mengalami pasang surut berupa isu kecurangan penyelenggaraan pemilu untuk menguntungkan salah satu paslon Presiden dan Wapres.
Bukan tidak mungkin, kejanggalan yang dimaksud dapat mencederai wajah demokrasi negara +62.
Alangkah lebih baiknya, merenungkan sejenak terhadap kekurangan paham yang dipuja-puja masyarakat belahan dunia.
Diperlukan pula studi kasus berbagai pesta demokrasi di berbagai negara karena tahun 2024 digadang-gadang menjadi tahun demokrasi terbesar.
Kekhawatiran Socrates Terhadap Sistem Demokrasi
Kekhawatiran sistem demokrasi rupanya pernah diutarakan oleh sang filsuf Socrates dengan dalih beliau membenci paham itu.
Dalam buku filsuf Plato "The republic", Socrates menjelaskan mengapa beliau membenci sistem demokrasi dengan mengaitkan sebuah kapal diibaratkan satu negara.
Terdapat dua pilihan siapa yang berhak mengendalikan suatu kapal : "siapapun orang yang berhak atau seorang nahkoda yang berpengalaman" ?
Dengan jelas Socrates melanjutkan membangun sebuah bangsa atau negara layaknya mengendalikan kapal, "Maka dibutuhkan pemimpin yang bijaksana dan berpendidikan untuk mengatur kepentingan rakyatnya", tambahnya.
Benar saja, Socrates sendiri telah menjadi korban atas demokrasi demagogi melalui pemilihan perhitungan mayoritas.
Socrates sendiri dianggap bersalah karena tertuduh meracuni pemikiran remaja dan anak muda di Athena atas filsafatnya sendiri.
Socrates meninggal pada tahun 399 SM dikarenakan hukum mati dengan dipaksa menenggak racun berdasarkan penilaian mayoritas pengadilan. Jauh setelah kematian sang filsuf, Athena mengalami keruntuhan akibat konflik internal pada tahun 341 SM.
Konflik internal, tidak lain dikarenakan demagogi yang menimbulkan ketidakstabilan politik sebagai salah satu kekhawatiran Socrates.
Demagogi sendiri memanfaatkan  kepopuleran suatu tokoh atau kekayaan yang dimiliki demi keuntungannya sendiri untuk memperoleh tahta tertinggi suatu bangsa.
Tokoh negarawan yang dianggap sebagai pemimpin yang demagogi tak lain adalah Alcibiades yang dianggap sosok negarawan yang karismatik dan tidak ada nampaknya bahwa beliau merupakan pemimpin yang culas.
Sungguh disayangkan sebagian besar negarawan di negara demokrasi seperti Indonesia terutama juga sang adidaya Amerika Serikat dari tingkat parlemen, eksekutif, hingga tingkat daerah sekalipun.
Berkaca Pada Pesta Demokrasi Di Dunia Pada Tahun 2024
Dunia tidak selebar daun kelor, tidak ada salahnya untuk membaca situasi demokrasi di beberapa negara di dunia.
Misal di Taiwan, pada tahun 2024 presiden dari partai status quo Taiwan kembali berhasil mempertahankan prinsip libertarian serta menduduki kembali kursi Presiden akan tetapi, bukan tidak mungkin situasi politik Taiwan berangsur mempulih.
Bahkan partai Kuomintang yang digadang-gadang sebagai partai pro Beijing mulai bergeliat atas ketidakstabilan politik di Taiwan terutama hubungan panas dingin antara Tiongkok dengan Taiwan di bawah bayangan Amerika Serikat.
Bergeser ke India sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, sekarang disebutkan mengalami pasang surut.
Dilansir dari DW News, selama kepemimpinan dua periode Perdana Menteri Narendra Modi, timbul gejolak politik dan sosial seperti diskriminasi mayoritas Hindu terhadap minoritas terutama penduduk pemeluk Islam.
Kebijakan mengganti nama negara menjadi Bharat karena dianggap nama India peninggalan kolonial, lantas menimbulkan kontroversi terhadap demokrasi India.
Oposisi rata-rata berpaham sosialisme demokrasi atau liberal tengah menganggap pergantian nama hanya untuk mempertegas kepemimpinan partai penguasa mayoritas Hindu BJP (Bharatiya Janata Party) dengan berhaluan nasionalisme konservatif mayoritas hindu.
Media-media asing khususnya dari negara barat diketahui sangat memperhatikan pemilu-pemilu berbagai belahan dunia terutama di Indonesia.
Perlu digaris bawahi berdasarkan laman dari Foreignpolicy.com sebagian besar negara penyelengara pemilu 2024 merupakan negara demokrasi yang tidak sempurna sekitar 40% Indonesia salah satunya.
Tidak ketinggalan terpilihnya kembali Vladimir Putin sebagai Presiden Rusia menjadi sorotoan media barat dengan notabene dikecam bangsa barat terutama NATO dapat mengancam asas demokrasi dunia.
Secara mengejutkan Vladimir Putin memenangi kembali dalam pemilihan Presiden sekitar 87% melesat jauh meinggalkan pesaingnya , maka tidak heran konfontasi antara bangsa barat yang pro-demokrasi dengan Rusia dibawah rezim Putin masih berlanjut perihal invasi terhadap wilayah kremlin di Ukraina.
Alangkah baiknya, kita memperhatikan kembali kondisi negara-negara yang sempat mengalami guncungan hebat sebagai titk balik demokrasi atas kekuasaan yang bersifat absolut atau disingkatnya Arab Spring.
Dikatakan demokrasi dan birokrasi negara-negara yang terdampak sepuluh tahun kemudian mengalami gejolak yang luar biasa.Â
Salah satunya negara Tunisia sebagai pencetus Arab Spring dari dua tahun terakhir kembali mengalami konfrontasi antar masyarakat terhadap rezim yang dipimipin Presiden Kais Saeid.
Bukan tidak mungkin bahwa gejolak yang masih terjadi di Libya dan Suriah selama lebih dari sepuluh tahun kembali terulang atas kesalahpahaman terhadap demokrasi yang diterapkan dikawasan terkait benar-benar diterapkan.
Sistem demokrasi di Tunisia belum tentu dianggap gagal, kemungkinan mengalami kondisi yang serupa dengan negeri tercinta ini dalam segi birokrasi.
Secara harfiah, demokrasi bukan jaminan sebagai standar suatu negara yang selama ini kita banggakan justru artikel yang disebut merupakan resiko suatu negara bagi menjalankan demokrasi sepenuhnya apabila dikaitkan dengan demagogi sebagai bentuk kekhawatiran Socrates setelah kematiannya.
Sumber :
Aljazeera -Â The Arab Spring is not dead
Aljazeera - Ten years after the Arab Spring (The Listening Post) (YouTube)Â
DW News - The Biggest Electoral Year in History: Will Democracy Survive 2024? (YouTube)
Foreignpolicy.com -Elections to Watch in 2024
Lemonde.fr - Putin Overwhelmingly Wins Russian Presidential Election with No Genuine Competition
The School of Live - Why Socrates Hates Democracy (YouTube)
TLDR News Global -Why and Where is Democracy in Decline? (YouTube)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H