Dengan jelas Socrates melanjutkan membangun sebuah bangsa atau negara layaknya mengendalikan kapal, "Maka dibutuhkan pemimpin yang bijaksana dan berpendidikan untuk mengatur kepentingan rakyatnya", tambahnya.
Benar saja, Socrates sendiri telah menjadi korban atas demokrasi demagogi melalui pemilihan perhitungan mayoritas.
Socrates sendiri dianggap bersalah karena tertuduh meracuni pemikiran remaja dan anak muda di Athena atas filsafatnya sendiri.
Socrates meninggal pada tahun 399 SM dikarenakan hukum mati dengan dipaksa menenggak racun berdasarkan penilaian mayoritas pengadilan. Jauh setelah kematian sang filsuf, Athena mengalami keruntuhan akibat konflik internal pada tahun 341 SM.
Konflik internal, tidak lain dikarenakan demagogi yang menimbulkan ketidakstabilan politik sebagai salah satu kekhawatiran Socrates.
Demagogi sendiri memanfaatkan  kepopuleran suatu tokoh atau kekayaan yang dimiliki demi keuntungannya sendiri untuk memperoleh tahta tertinggi suatu bangsa.
Tokoh negarawan yang dianggap sebagai pemimpin yang demagogi tak lain adalah Alcibiades yang dianggap sosok negarawan yang karismatik dan tidak ada nampaknya bahwa beliau merupakan pemimpin yang culas.
Sungguh disayangkan sebagian besar negarawan di negara demokrasi seperti Indonesia terutama juga sang adidaya Amerika Serikat dari tingkat parlemen, eksekutif, hingga tingkat daerah sekalipun.
Berkaca Pada Pesta Demokrasi Di Dunia Pada Tahun 2024
Dunia tidak selebar daun kelor, tidak ada salahnya untuk membaca situasi demokrasi di beberapa negara di dunia.
Misal di Taiwan, pada tahun 2024 presiden dari partai status quo Taiwan kembali berhasil mempertahankan prinsip libertarian serta menduduki kembali kursi Presiden akan tetapi, bukan tidak mungkin situasi politik Taiwan berangsur mempulih.