"Apa yang lebih meyakinkan atas makna sebuah peristiwa, selain dari isyarat mata dan ingatan yang jujur dari yang mengalami?"
***
Sebagai blogger dan terlibat dalam pendokumentasian fakta, capaian dan inspirasi agenda pembangunan di pesisir sejak dua tahun terakhir, beragam cerita dari pesisir Indonesia telah dirangkai dan dibagikan. Cerita yang saya anggap sebagai remah peristiwa namun amat penting, sekaligus refleksi pengalaman para pihak dalam membangun Indonesia.
Hal tersebut saya telusuri denga tips yang sungguh sederhana, 'bertanya faktual', bukan persepsi atau duga-duga. Â Ini adalah skill dasar yang dapat digunakan untuk menguji seberapa jujur dan tepat data dan informasi diberikan oleh warga pesisir yang selama ini, target ketertarikan saya sejak lama.
Saya tidak bertanya dengan entry point, "Berapa kira-kira, atau biasanya bapak-ibu tangkap ikan berapa, atau bagaimana tanggapan bapak-ibu."
Tidak begitu. Saya bertanya faktual, semisal, "Kapan terakhir kali melaut, berapa nilai penjualan ikan hingga kapan terakhir kali pertemuan dengan anggota kelompok."
Saya mempraktikkan metode observasi dan wawancara faktual sebelum merangkai sebuah tulisan atau laporan. Hal yang sulit dipraktikkan sesungguhnya sebab selama ini kita telah terbiasa berpersepsi dan prematur dalam menilai satu keadaan di pesisir dan pulau-pulau, bukan?
Maka, sebagai blogger, saya senang bisa menjadi bagian dari 'Knowledege Management Unit' pada proyek sebesar Coastal Community Development Project yang dibiayai dengan dana tidak sedikit ini, dari lembaga keuangan sekaliber the International Fund for Agricultural Development.Organisasi berbasis di Kota Roma tersebut berpengalaman dalam membangun ekonomi perdesaan, usaha kecil dan menengah hingga penguatan kapasitas sosial dan lingkungan.
Saya juga mencatat bahwa hingga jelang berakhirnya proyel pembangunan masyarakat pesisir atau Coastal Community Development Project (CCDP) tahun ini, sebanyak 181 desa pesisir di 13 kabupaten/kota dan tidak kurang 70.000 KK atau sekitar 320.000 warga pesisir telah menikmati manfaat proyek, Mereka tersebar di 13 lokasi kabupaten/kota dan bermula sejak tahun 2013. Â Nilai output ini tentu sangat besar sebagai unsur dalam rekonstruksi 'outcomes-nya atau project impacts'.
"Target utama proyek ini adalah pengurangan kemiskinan, peningkatan pendapatan keluarga dan penurunan kekurangan gizi di kalangan balita. Â Yang disasar utama adalah masyarakat miskin di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia (terutama) bagian timur," kata Dr, Sapta Putra Ginting, sekretaris eksekutif Project Management Office CCDP saat merefleksikan capaian proyek di harapan perwakilan PIU dan konsultan di Bogor, beberapa waktu lalu.
"Pada akhirnya, tujuan keseluruhan proyek ini adalah meningkatkan pendapatan kalangan masyarakat pesisir miskin yang terlibat dalam aktivitas kelautan dan perikanan," tambahnya.
***
Relevan dengan itu, berkaitan dengan status proyek yang dibiayai oleh lembaga keuangan internasional, atau sejalan dengan misi Pemerintah dalam mengakselerasi pengentasan kemiskinan di Indonesia, pada saat yang sama skema atau motivasi bantuan pembangunan nasional maupun internasional belakangan ini menjadi perbincangan hangat dan serius.
Banyak pihak mengkritisi efektivitasnya, dampak dan kepastian keberlanjutannya terutama di kawasan pesisir yang selama ini dianggap kumuh, jorok, rentan dan masyarakatnya dianggap 'tak koperatif' dan malas. Beberapa pihak menjadi skeptis.
Namun, jika membaca realitas dan akseptasi mereka, masyarakat pesisir itu, rasanya pengalaman di Makassar ini mungkin bisa mengubah cara pandang kita terhadap mereka. Setidaknya jika mendengarkan jawaban mereka ketika saya mencoba bertanya faktual tentang proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan 'value added' atas apa yang mereka lakoni.
Ada harapan, ada kabar baik, ada dampak dan juga sikap 'keberterusterangan' yang mungkin saja bisa menjadi masukan penting untuk kita semua, baik perencana maupun pengambil kebijakan.
Maka saya pun mulai menggunakan telinga untuk siap mendengar dan dengan perlahan merangkai pertanyaan sederhan dan faktual. Tidak bertanya seketika tetapi mengamati dan mencoba mencari entry point yang sesuai dan tidak menekan yang ingin dimintai informasi.
***
Pulau Lae-Lae terlihat berbeda hari itu, beberapa perempuan dewasa mengenakan baju seragam, sebagian lainnya mengenakan baju bodo, baju ada Makassar yang lazimnya di pakai ke pesta adat.
Di antara warga tersebut terdapat Lia, Erni dan beberapa perempuan muda. Sebagain tamat SMP sebagian lainnya tamat SMA. Mereka adalah anggota UKM Sinar Lae-Lae yang mendapat bantuan dari CCDP-IFAD Kota Makassar berupa alat pengolahan, mesin genzet dan lemari pajangan untuk produk-produk olahan kelompok dampingan lainnya.
"Kapan kelompok ini mulai aktif? Berapa nilai bantuan CCDP?" tanyaku kala itu.
"UKM Sinar Lae-Lae dapat bantuan di tahun 2016, nilai totalnya 35 juta. Kami mulai aktif sejak Maret 2016." Kata Erni.
"Uangnya digunakan untuk beli apa?" lanjutku.
"Uang itu digunakan untuk beli wajan, mixer, blender, panci. Uangnya ditransfer ke rekening, kelompok sendiri yang pergi ke toko," jawab Erni tangkas saat dijumpai di wahana usaha sekaligus booth produk pengolahan warga Lae-Lae di sisi utara pulau, pada beberapa waktu lalu.
"Apa alasan yang membuat yakin Erni dengan usaha ini?" tanyaku lagi.
 "Karena Lae-lae dekat dengan pusat Kota Makassar, banyak pula pengunjung yang datang ke sini, pasti mereka mau beli ole-ole khas Lae-lae," jawabnya ringkas.
Daeng Bella bercerita bahwa sejak mendapat bantuan dari CCDP-IFAD dia semakin antusias ke laut menangkap ikan. Apalagi sejak tingginya permintaan ikan dari lokasi-lokasi wisata seperti Gusunga dan Pulau Samalona.
"Ikannya dijual ke mana?" tanyaku.
"Kelompok kami menjual ikan ke Baba Atong, Baba Titi, Jerry, atau turis wisata di Gusung," kata Bella. Selain itu, jika ikan melimpah, mereka menjualnya ke Lelong Rajawali atau Pannampu atau Paotere.
Mewakili nelayan Lae-Lae, Bella merasa bahwa dia harus menyampaikan dampak reklamasi di sekitar Losari dan Tanjung Bunga.
"Kalau keberatan, jelaslah sebab lahan usaha semakin berkurang," katanya. Warga Lae-Lae pernah pasang rumpon, attraktor cumi-cumi namun sudah tidak jelas ke mana rimbanya setelah massifnya reklamasi di sana.
"Harapan kita ada pengganti, ada kompensasi atas hilang rumpon itu," katanya.
***
Anggota kelompok yang dibantu oleh CCDP tidak melulu yang menggunakan pancing. Ada juga anggota yang keahliannya menembak ikan, atau pakai panah. Daeng Kulle misalnya. Dia mengaku dengan menembak ikan dia bisa dapat uang hingga 100ribu perhari.
"Kapan terakhir kali melaut dan berapa nilai penjualannya?" tanyaku ke Daeng Kulle.
"Kemarin dapat 85ribu, setelah dipotong biaya bensin 15ribu, maka ada 70ribu bersih. Ini yang masuk di dompet. Ikannya dijual ke orang Cina, ke Atong," kata Kulle saat ditanyakan kapan terakhir memanah ikan. Dengan uang itu, dia membeli beras, sebanyak 5 leter dengan harga 7ribu/liter.
Dia menambahkan bahwa selain itu dia juga ikut menangkap ikan tenggiri.
"Saya puas menjadi anggota kelompok sebab semakin rajin ke laut. Selama ini kami mencari ikan tenggiri. Selama dua tahun terkahir ini pendapatan paling tinggi adalah dapat Rp. 670 ribu/hari. Itu kotor, kalau ongkos tidak seberapa. Itu pada musim tenggiri," katanya. Jika dirata-rata perhari mereka dapat 150 ribu/hari.
Sebagai nelayan Kulle dan Bella mengaku, pada musim barat mereka acap kesulitan melaut.
"Kami ini 60% persen di rumah kalau musim timur, kalau musim timur begitu juga," katanya.
"Kadang-kadang bantuan tidak sesuai, kita perlu perahu besar, yang datang kecil," katanya.
"Namanya berkelompok, kalau 2-3 orang yang dapat, jadi sulit. Harusnya bisa tangani kelompok dan tidak lagi perahu kecil tetapi yang lebih besar," katanya Basri.
Harapan Basri, pengalaman mengelola bantuan skala kecil seperti CCDP ini semoga menjadi dasar untuk program bantuan yang berskala besar.
"Siapa tahu ada bantuan perahu ukuran di atas 10 GT?" harapnya.
***
Di Kelurahan Bira, anggota kelompok Insan Mandiri yang didampingi oleh CCDP memberikan kesempatan kepada ibu Aminah, Dahlia, Mariah, dan Marywam untuk memproduksi penganan khas kepiting.
"Kelompok memproduksi kacang kepiting, kerupuk kepiting melalui usaha Bina Lestari dan Insan Mandiri," kata Andi Nur Apung, (35 th).
"Tahun ini sudah 10 kilo sekali produksi, jika menjualnya, harganya sampai  65 ribu/kilo. Jadi kalau menjual 120 kilo, kami dapat 7,8 juta.  Tak hanya itu, kelompok kami memproduksi bahan makanan lain," katanya.
Menurut Nur Apung minat warga untuk membeli makanan olahan berbahan kepiting ini tinggi juga. Seperti pengakuan Kelompok BIna Leastri yang diwakili oleh ibu Hasnah, mereka juga acap melayani permintaan guru-guru di Kelurahan Bira yang datang ke rumah produksi," katanya.
Di Lantebung, Husain, Muhajir, Kadir dan Rahman mengaku terbantu dengan adanya dermaga atau trekking mangrove yang dibangun oleh CCDP-IFAD.
"Selama ini kami kesulitan kalau mau ke laut karena surutnya terlalu jauh dan di sini penuh lumpur," katanya Rahman (52 tahun). Rahman adalah nelayan pencari kepiting dan dia merasa bantuan IFAD ini telah meringankan beban kerjanya.
Sementara itu, Pak Haseng, (52 tahun), Kadir (45) dan Daeng Ngalle (62) mengaku bahwa bantuan sebesar 100 juta yang telah mewujud dermaga atau trekking mangrove merupakan kebutuhan nelayan.
"Nelayan juga bisa santai dan menambatkan perahunya di sini," kata Daeng Ngalle.
Selain manfaat ke lingkungan, nelayan juga bisa mencari kepiting rajungan yang sangat ekonomis. Seperti yang disampaikan Bahtiar, warga Lantebung yang membeli kepiting tangkapan nelayan setempat.
"Saat ini harga lumayan bagus. Harga antara 40ribu hingga 45 perkilo untuk rajungan. Kepiting dibawa ke perusahaan, namanya Virginia untuk dieskpor," katanya.
***
Ragam kegiatan CCDP di Kota Makassar tak hanya melulu mengurusi ikan atau kepiting, mereka juga mengurusi sampah!
Lurah Parangloe, Akbar Husain, mengaku bahwa kelompok PSDA di kelurahannya telah menghasilkan 45 ton sampah dan itu senilai 45 juta.
"Sudah berapa uang terkumpul dari penjualan sampah ini?" tanyaku ke Pak Lurah.
"Sampai kini uang hasil penjual sampah sebesar 45 juta," katanya saat ditemui di kantor pengolah sampah yang juga mendapat bantuan CCDP-IFAD.
"Yang dibantukan adalah bangunan kantor dan tempat proses pemilahan  sampah. Ada juga motor, pengepakan, plastik, penimbangan. Nilai bantuan 75 juta, di atas lahan swakelola," kata Nurhayati, ketua kelompok pengolah sampah.
Di tempat terpisah, ketua PIU Kota Makassar, yang juga Kadis Perikanan, A. Rahman Bando mengatakan bahwa beragam kegiatan tersebut membuktikan bahwa Makassar sangat inovatif dalam melihat potensi dan mencari peluang usaha.
Di ujung tulisan ini saya ingin memasukkan pertanyaan analitik saya pada Kepala Dinas Perikanan Kota Makassar, A. Rahman Bando, sosok yang disebut salah satu yang inovatif di antara mitra kerja CCDP-IFAD.
"Apa inspirasi bagi bapak atas pelaksanaan CCDP selama 5 tahun ini?" tanyaku.
"Pengalaman dari Parangloe itu menunjukkan ke kita, bahwa kita bisa inovatif untuk memanfaatkan bantuan CCDP dan berkontribusi pada program Pemerintah Kota Makassar, apalagi laut kita selalu jadi tempat pembuangan orang-orang yang rendah kesadaran lingkungannya. Program 'sampah tukar beras, atau pulsa dan lain sebagainya ini merupakan hal menarik. Harusnya bisa terus ditumbuhkembangkanm" paparnya.
"Tanpa mereka, kita tidak bisa seberhasil ini," katanya saat ditemui penulis di Kantor Bappenas di Jakarta, pada minggu pertama Oktober lalu.
***
Begitulah cerita tentang bagaimana menjadi pendengar, penanya dan penulis hal-hal faktual berkaitan dengan satu ikhtiar. Satu proyek yang melibatkan banyak orang dan menyasar warga pesisir dan pulau yang rentan secara sosial, ekonomi dan lingkungan.
Setelah membaca narasi di atas, nampaknya kita bisa yakin bahwa pendekatan dan luaran CCDP sungguh sangat menggembirakan atau berada di jalur yang tepat, bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H