Yang makin mencemaskan, Â ketika semua sawah berganti jadi rumah, apakah penduduk aseli ini dibiarkan hanya jadi penonton ? Ketika sawah terjual sudah dan kompetensi mereka tak terbina, Â saya hawatir akan menjadi pemantik konflik. Bukankah konflik sosial seringkali bersumber dari hal sepele, Â kecemburuan.Â
Maka jangan hanya rumah kampung yang dibangun penduduknya juga di bangun, agar tidak melahirkan ketidak seimbangan. Wallohu a'lam.Â
Penasaran bagaimana kondisi Pulo Timaha saat ini, baca selengkapnya tulisan Abu Bagus yang saya kutip di FB beliau, seperti di link tulisan di bawah ini:
Satu dari banyak nama kampung di Babelan adalah Pulo Timaha. Â
KOMENTAR PEMBACA
Yang juga tak kalah seru, selain komentar dari saya, juga adalah komentar dari tulisan status Abu Bagus tentang Pulo Timahu Bekasi itu, seoerti di bawah ini :
Dimana mana pendatang mang rada menangan, ampe rumput yg menang jepang juga rumput aslina ( teki ) abis dimatiin wk wk wk (Ibnu Natsir)
Begitulah potret kmp kita sekarang bng, sungguh miris, semakin lama kita kehilangan identitas kultur budaya dan lain-lain.Â
Sendi2 kehidupanpun bermasyarakatpun sudah mulai rapuh, budaya gotong-royong yg dulu menjadi ikonnya masyarakat tradisionil kini sdh sudah luntur.walhasil timbullah generasi yg beringas, bagai banteng keraton. (Yasin Ghazali)
Yasin Ghazali iya ustad. Â Ini fakta yang tidak bisa dibiarkan. Â Setidaknya tokoh tokoh Pulo bisa membangun generasi pemudanya jangan sampai tergilas oleh perubahan. Â Salam... (Abu Bagus)