Sekarang petani sudah prihatin, panen cuma sekali setahun sejak persawahan sudah berganti bandara baru. Menurut Daeng Sanre, penggarap sawah peninggalan kakek kami, setiap tahun petani sudah tidak bisa lagi mengumpulkan hasil panen seperti biasanya.
"Sawah sudah tidak bisa digarap lagi (tidak produktif lagi). Bahkan banyak sawah yang sudah seperti tidak bertuan. Petani sudah malas menggarapnya akibat tidak punya aliran air untuk mengairi sawah. Salurannya sudah jadi jalan (run way - landasan) pesawat.
"Ini mi Karaeng hasilna Lambere sawahta yang ada di dekat lapangan kappalaka (bandara, red) Karaeng". Lapangan Kappala atau bandara baru. Sedang Lambere, adalah nama salah satu bidang sawah milik keluarga, leluhur kami itulah yang digarap oleh Daeng Sanre secara turun-temurun.
Sementara sekitar 2 hektar dari 7 hektar sawah milik kakek, selama ini dibebaskan karena terkena proyek perluasan bandara baru. Hasil panen dari sawah tersebut kemudian dibagi dua dengan petani penggarap setiap tahun. Bagi hasil, begitulah kira-kira...
Cerita petani dan penggarap sawah yang tergusur oleh pembangunan bandara internasional Sultan Hasanuddin itu, sudah saya tulis di blog saya NurTerbit.com dengan judul : Daeng Sanre, Wajah Sendu Petani Maros.
Bukan hanya itu, sekarang pemukiman warga selain berada di luar pagar tembon  bandara, juga sudah bertetangga dengan pekuburan umum. Pasalnya TPU di tengah kota Makasar, sudah penuh dan tidak dipakai mengubur jenazah lagi. Pindah ke lahan baru di pinggir bandara baru.Â
Makin tidak nyamanlah suasana di tanah kelahiran saya. Selain suara pesawat, hampir setiap saat terusik juga oleh suara serine ambulan pengangkut jenazah yang mau dikubur. Makin lengkaplah suara berisik di sekitar kampung.Â
Suara deru mesin pesawat dan serine ambulan. Anehnya, lama2 warga sdh terbiasa. Saya sendiri yang kalau pulang kampung, harus belajar dengan susah payah untuk menyesuaikan diri.
Saya jadi ingat cerita teman saya yang tinggal dekat bandara Cengkareng, Tangerang. Atau yang rumahnya di sekitar bandara Halim Jakarta Timur  dan Kemayoran Jakarta Pusat. Mereka juga merasakan apa yang dialami warga di kampung saya.Â
Atau cerita tetangga saya di Bekasi, yang pernah tinggal puluhan tahun di pinggir rel kereta api di Jakarta. "Orang yang tinggal dekat rel kereta itu rata-rata punya anak banyak," katanya. Loh apa hubungannya ya antara suara kereta dengan produksi anak?Â