"Karena pendek maka menjadi gampang? Sesederhana itu?" Aku coba mendebat sang jempol yang bergoyang-goyang, seperti seorang kakek di kursi ayun.
"Kau kira cerpen itu tidak sederhana? Bangunan cerpen itu sederhana bung!" Goyangannya mulai berhenti. Tampaknya ia mulai serius.
"Kau hanya butuh dua hal pokok, tokoh dan konflik. Ramu keduanya dalam satu jalinan cerita dan jadilah sebuah cerpen." Ia berkata dengan nada begitu yakin.
* * *
Tokoh dan konflik.
Hanya dua? Sesederhana itu? Gila! Lalu mengapa membuat sebuah cerpen bisa terasa begitu sulit? Aku bertanya-tanya sendiri dalam hati. Aku memandang sang Jempol yang seperti menertawakan kebimbanganku.
"Cerpen itu pendek, dan karenanya tidak seperti cerita yang panjang, kau bisa mengambil tokohmu empat, tiga, dua, atau bahkan satu saja. Begitu pula tokohmu bisa siapa saja, dan bahkan apa saja. Sebutir tomat, tongkat kayu atau koteka pun bisa menjadi tokoh dalam cerpenmu."
Kuduga ia tersenyum saat mengatakan itu. Tapi tentu saja sebuah jempol tak bisa tersenyum.
"Bahkan tokohmu tidak harus pula bernama, tidak harus kau ceritakan latar belakangnya siapa, berapa umurnya, darimana asalnya, pendidikannya. Tokoh dalam cerpen bisa tetap kuat tanpa memerlukan segala tetek bengek seperti yang diperlukan tokoh dalam sebuah novel."
"Masak sih?"
"Lha iya," katanya, "Perlu apa menceritakan tetek bengek tak penting, kalau konflikmu hanya tentang seorang lelaki yang bangun pagi, dan pusing dengan sebuah pertanyaan, mengarang cerpen itu gampang atau tidak?"