Ia mengatakan kalimatnya dengan nada yang begitu yakin.
* * *
Tapi aku masih tidak dapat membimbing hatiku seyakin itu. Mataku menatap jari jemariku mencari-cari jawaban yang lain. Dan tiba-tiba kelingkingku bersuit nyaring.
"Sayangnya, membuat cerpen tak semudah itu, honey." Katanya dengan genit. Kulirik sang telunjuk ingin melihat reaksinya. Ia kini saling bertaut mengatup dengan sang jempol, seperti tengah berkasak-kusuk berdua membahas sanggahan si kelingking mungil..
"Dalam cerpen ada elemen seperti diriku. Kecil, mungil dan terkesan tak berarti, tapi cobalah kau menggenggam tanpa menggunakan aku. Genggamanmu tak akan kokoh apabila aku, jari yang terletak paling dasar saat kau menegakkan telapak tanganmu itu, tidak kau ikut sertakan."
Suara kelingking mungil itu genit. Terkesan seperti nona muda, kenes, tapi tegas.
"Begitupula dalam cerpen, ada hal-hal dasar yang harus kau sertakan kalau kau mau cerpenmu menjadi kokoh."
"Hal dasar? Apalagi? Bukankah hal pokok hanya dua, tokoh dan cerita?" Samar aku menangkap kelingkingku seperti mencibir. Mencibir? Kugelengkan kepalaku. Tidak mungkin kelingking punya bibir.
"Bahasa." Jawabnya singkat. Tapi kata-kata selanjutnya tidak sesingkat pada awalnya.
"Cerpen adalah seni yang dituliskan, dan itu menggunakan alat yang kau sebut sebagai bahasa. Mungkin kau mengira, lalu apa yang sulit dengan bahasa? Memang tidak sulit. Sehari-haripun kau berbahasa. Tapi menulis cerpen bukan seperti kau bertukar kabar burung dengan tetangga."
"Menulis cerpen, engkau harus memperhatikan betul hal-hal dasar dalam berbahasa. Penguasaan kata, kemampuan menyusunnya menjadi kalimat yang benar secara kaidah, mungkin tak perlu mewah dalam keindahan tapi paling tidak tepat dalam penyampaian pesan yang kau inginkan dalam setiap kalimat. Pengarang akan hancur kalau menyusun katapun ia masih amburadul."