Ohhh... Akhirnya terjawab sudah pertanyaan dan kebingungan di benakku. Tidak harus menunggu waktu yang lama. Sekarang aku tahu ternyata yang mengasuhnya selama ini adalah pamannya. Aku mencoba berpikir, apakah informasi ini hanya aku saja yang tahu. Mungkinkah ada anggota Symbiosis yang telah mengetahuinya. Aku tidak tahu pastinya. Perasaanku bingung menerima informasi kehidupan yang telah diceritakannya. Aku tidak tahu harus berbuat apa terhadapnya saat itu. Aku takut salah berbicara terhadapnya, karena aku beragama muslim dan bagian dari umat islam, dan tentu saja kemungkinan besar, sebenarnya aku juga dibenci olehnya. Itu yang kukhawatirkan dan kutakutkan. Tuhan, semoga saja tidak demikan adanya!
"Hmm.. Ma'afkan aku, kawan... Aku tidak mengetahui pasti kejadian itu, yang telah menimpa kamu, keluargamu, dan umat kristiani yang lainnya... Aku turut prihatin dan simpati terhadap apa yang telah terjadi... Namun, apa tidak apa-apa kamu menceritakan ini kepadaku?!" Terangku dengan lembut dari ketulusan hati.
"Mengapa kamu harus meminta ma'af dan merasa sungkan, kawanku.. Aku memang masih sedikit membenci umat islam---orang-orang islam yang telah melakukan tindakan yang tidak berperikemanusiaan itu. Tetapi, kamu tidak, kamu tidak ada kaitannya dengan orang-orang islam yang keji itu. Kamu berbeda dengan mereka. Kamu dan personel Symbiosis yang lainnya telah memberikan cahaya dari Kasih-Nya kepadaku, membuka mata batinku, menutup pintu kebencian dari dasar hatiku, dan kalian telah memancarkan indahnya keberagaman dan perbedaan diantara kita. Sungguh aku beruntung menjadi bagian dari kalian. Menjadi bagian dari Symbiosis. Kalian semua sungguh sangat berarti bagiku dan aku berterima kasih padamu, kawan, juga kepada personel Symbiosis lainnya, dan tentu saja kepada Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang telah mempertemukan kita dalam ikatan Kasih-Nya kepada kita semua!" Jelasnya kepadaku dengan air mata tampak jatuh kembali di matanya yang sedikit sembab.
Mendengar kumpulan kalimat yang keluar dari bibirnya yang begitu indah dan menyentuh. Tanpa kusadari, tiba-tiba kumpulan air keluar dari kelenjar air mataku dengan sendirinya. Aku tak tahu, perasaan apa yang sedang terjadi. Yang kurasakan, ada rambatan kesedihan berbaur kebahagiaan yang mendalam yang kurasakan di hati, pikiran, dan tubuh ini. Perasaan sedih, karena kesedihan akan semburat kisah hidup yang dialaminya. Dan, perasaan bahagia, karena telah menjadi bagian yang berati dalam hidupnya. Aku dan teman-teman Symbiosis ternyata telah memberikan sesuatu yang indah dan berarti dalam kehidupannya. Terima kasih Tuhan, atas takdir pertemuan, ikatan, dan persahabatan yang telah Engkau berikan pada kami semua. Sungguh semua ini terjadi karena Kekuasaan-mu!
**********
Kami berjalan menyusuri lorong-lorong menuju Stasiun Kota Hujan. Langit sudah tak menangis lagi. Namun, senja lembayung tampak mencuat hadir melukis langit. Aku mengantarnya sampai ke stasiun. Aku sengaja membeli dua tiket, satu tiket pakuan ekspress untuk dirinya, satu lagi kelas ekonomi. Karena tanpa tiket, orang-orang tidak diiizinkan masuk ke dalam stasiun. Karena itu, aku sengaja membeli tiket kelas Ekonomi, hanya untuk memenuhi syarat masuk ke dalam stasiun. Aku tidak mau mengantarnya hanya sampai di lobi stasiun saja. Aku ingin mengantar kepergiannya sampa Kereta Api membawanya pergi ke Ibukota. Sementara itu, kedatangan kami sungguh tepat sekali, karena kereta pakuan ekspress sebentar lagi akan berangkat sesuai jadwalnya.
"Sampai di sini dulu, ya, kawan... Mungkin ini pertemuan kita yang terakhir... Karena besok aku akan berangkat ke Vatikan, Roma---Italy dan menetap di sana untuk waktu yang lama. Aku akan mempelajari sesuatu yang sangat penting dan prinsiple atas apa yang menjadi keyakinan dan idealismeku"
"Sekali lagi... Terima kasihku padamu dan teman-teman Symbiosis yang telah merangkai indahnya kebersamaan dan merajut ikatan persahabatan yang bahagia.. Aku sangat bersyukur atas persahabatan kita yang telah terbentuk atas Kasih-Nya. Sampaikan salamku yang teramat besar ya jika kamu bertemu dengan mereka" Katanya padaku yang saat itu aku sedang terdiam kaku. Aku tidak percaya dia akan mengatakan perpisahan itu padaku. Kemudian masih dalam keadaan terdiam beku, dia memeluk tubuhku sangat erat. Sambil menangis, dia pergi meninggalkanku dan memasuki salah satu gerbong kereta api yang mulai berjalan pelan-pelan.
Kesadaranku mulai terbentuk dalam kebekuan itu. Aku mulai mengejar kereta api yang mulai berjalan pelan. Untung pintu kereta itu belum menutup sempurna. Sambil berjalan cepat, kukatakan dengan suara yang sangat keras dan membahana.
"Eleanor, aku juga bersyukur pada Tuhan, karena mempertemukan kamu denganku, kuharap kamu bahagia selalu dimana pun kamu berada dan menginjakkan kaki, jangan lupakan aku dan Symbiosis, ya, dan terima kasih banyak sudah menjadikan kami sesuatu yang berarti dalam hidupmu, karena kami pun sama, kamu begitu berarti untuk kami.... !"
Pintu kereta menutup sempurna bersamaan dengan kata-kataku yang terakhir. Sekilas kulihat dia menutup mulutnya dengan telapak tangannya dan menunduk sedih. Kereta pun melaju kencang. Aku berhenti sejenak. Mengatur napasku yang memburu cepat. Lagi-lagi, air mataku tumpah membasahi pipiku. Kujatuhkan kedua lututku di ubin pinggiran jalur kereta. Banyak orang yang mengamatiku dengan rasa keheranan yang ada di benak mereka, atas apa yang telah kulakukan. Namun, aku tidak peduli semua itu. Dalam kebisingan dan kegaduhan yang terkreasi di stasiun senja itu, aku merasakan keheningan dan kesenyapan untuk untuk beberapa waktu. Keheningan dan kesenyapan yang mencuat ke permukaan karena perasaan sedih akan kehilangan seseorang yang menjadi bagian dalam rangkaian hidupku yang berharga.