Penampilannya tidak seperti yang saya bayangkan
Badannya kurus
Terhitung kecil, seperti anak usia 15-san
Masih tinggian saya, yang berarti tingginya mungkin sekitar 155 cm.
“Berapa usiamu?” Tanya saya.
“24”, ia menjawab
“Kamu minat kerja di sini kalau gajinya cocok?”
“Mau … mau,” dagunya mengayun ke bawah tanda mengangguk.
Entah kenapa, saya merasakan keraguan dari cara tubuhnya berbahasa. Bisa jadi ia sungkan sama majikan tempatnya bekerja saat ini.
Saat itu ia mengenakan jaket warna hitam. Bahannya model tebal seperti untuk menghangatkan badan. Tidak rombeng atau pudar warnanya, tapi seperti tidak nyambung dengan kesehariannya yang berpanas-panas mengantar dan mengangkat galon air isi ulang.
Celananya saya tidak terlalu perhatikan. Pengamatan itu mungkin tertutup gara-gara kekagetan saya akan perawakannya.
Saya pikir badannya akan setidaknya gagah berisi, pikir saya dalam hati.
“Kamu sekolah?”
“Saya sekolah SMP lulus, bu…” (dia tidak meneruskan)
Matanya memang tidak pernah melihat saya langsung, selalu ke arah lain.
Tapi kali ini ia menjawab sambil menunduk
“Kamu sekolah sampai SMP?”
“Iya”
“Ya ga papa, saya bertanya saja”
“Adik atau kakak, punya?”
“Adik, bu”
“Sekolah?”
“Masih sekolah”
“Ibu?”
“Ibu rumah tangga”
“Ayah?”
“Ayah kerja di bengkel”
“Ayahmu punya gaji tetap?”
“Kalau lagi rame, lumayan … tergantung … “
Tiba-tiba saja ia mengangkat telepon di handphonenya tanpa permisi ke saya yang sedang berbicara dengannya.
Hm, seperti kurang tahu tata krama anak ini
Saya biarkan
Saya rasa bukan soal ia tidak tahu sopan santun, tetapi karena tidak ada sekitarnya yang mencontohkan dan mengajari
Lagi-lagi perawakannya masih membuat saya terkejut
Wajahnya tirus, kecil
Giginya kuning tak terawat, bahkan gigi depannya ada yang sudah somplak dan copot
Kulit wajahnya hitam akibat rutin terbakar matahari, beberapa jerawat bertamu di situ
Rambutnya kekuningan, macam anak kampung yang suka main panas-panasan dan berenang di kali
Pekerjaannya setahun terakhir mengantar galon air isi ulang
Satu hari katanya, rata-rata ia bisa antar 40 sampai 50 galon
Menggunakan motor butut nan rombeng milik bosnya
Pantaslah tampilannya begitu
Sehari-harinya ia berpanas-panasan di jalan dari pagi sampai sore
Belum lagi kalau hujan
Belum lagi berpeluh mengangkat galon isi air yang kalau penuh beratnya 19 kilogram
“Ya sudah,´ kata saya, ´kamu sudah oke dengan gaji yang saya tawarkan bukan? Mulai di awal tahun ya. Kamu bisa bilang dulu ke bosmu yang sekarang pelan-pelan bahwa kamu niat berhenti.´
´Iya bu,´ angguknya
Ia keluar dari ruangan tempat kami bicara
Sosoknya memberikan saya sebuah perenungan
Anak ini, di usianya yang masih muda, mungkin terkejut dengan susahnya hidup
Terlahir dalam keluarga yang berkekurangan
Yang entah apa nafkah lahir atau batin yang sanggup orangtuanya beri
Mungkin saja ia terpaksa mengalah berhenti sekolah, supaya sang adik bisa bersekolah
Yang pasti, ia nampak terkejut, sekali lagi, dengan susahnya hidup
Yang walau sudah berpanas panas berlelah-lelah bekerja, hasil yang didapat jauh dari yang ia butuh
Minimal untuk makan layak tiga kali sehari
Dengan beban kerjanya yang berat, namun dengan badannya yang begitu kurus tak terurus, entah apa yang ia sanggup beli untuk ia makan sehari-harinya
Mungkin ia pernah menangis sejadi-jadinya
Mungkin ia pernah merenung, apakah hidup akan seperti ini seterusnya
Yang pasti ia tahu, ia harus berjuang untuk bertahan
Meski cuma nafas yang sebenarnya tersisa
Kemiskinan itu nyata
Kesusahan itu nyata
NYATA
Selamat Natal 2022
(Christine Setyadi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H