“Ma.. Ubanmu 1 atau 1000, aku tetap mencintaimu.”
Aku tahu ucapanku tak ubahnya kata-kata gombal para ABG seumuran anak gadisku ketika merayu calon pacarnya. Tapi sungguh, aku tak bisa menemukan kata-kata lain yang bisa mewakili perasaanku padanya.
“Gombal..,” bibirnya mencebik lucu.
Kucium rambutnya yang katanya beruban makin banyak. Wanginya tetap sama. Wangi yang kusuka dan selalu membuatku tergila-gila. Kalau saja tak kuingat harus secepatnya bersiap berangkat ke kantor, sudah kusosor dia tanpa ampun.
__________
3.
Lalu mendadak saja sore itu aku kehilangan semuanya. Marina-ku yang sederhana dengan hiasan uban di sela-sela rambut hitamnya. Ia – yang punya kantor sendiri dan selalu pulang lebih dulu daripada aku – menyambutku dengan paras yang lain.
Bila biasanya wajahnya hanya tersaput bedak dan lipstik tipis, kali ini aku melihat bayangan pipinya yang merona lebih merah, warna bibir yang lebih cerah, alis yang tertata lebih rapi. Bila biasanya ia hanya memakai pakaian rumah yang sederhana, kali ini ia mengenakan busana yang lebih rapi. Bila biasanya rambutnya hanya dikuncir kuda, kali ini kulihat sedikit lebih tertata, dan.. tanpa sedikit pun semburat uban di sela-sela rambutnya.
“Mau pergi?” tanyaku sembari membalas ciumannya di pipiku.