“Kenapa sih Mama sekarang jadi rajin ngaca?”
Marina tak langsung menjawabnya. Ia menaruh sisir dan berbalik. Sambil masih tetap duduk ia menatapku. “Pa..”
“Hmm..”
“Papa perhatikan ndak sih sekarang ubanku makin banyak saja?”
Aku melongo menatapnya. Uban di kepala Marina? Itukah masalah sebenarnya? Ndak salah?
“Namanya sudah seumur Mama bukannya wajar sudah banyak ubannya?” aku berusaha untuk menjawab secara hati-hati. Tapi agaknya jawabanku tak memuaskan Marina.
“Masalahnya..,” ia mulai cemberut. “Papa ubannya baru 1-2, lah aku?”
“Lah ya umur kita juga beda toh Ma..”
Astaga! Aku baru menyadari kelancangan mulutku begitu melihat wajahnya tertunduk sedikit layu. Seharusnya aku tak mengucapkan sesuatu yang berbau kata “umur”. Itu sungguh sensitif buat Marina. Amat sangat sensitif.
Bagaimana tidak? Umurku dan umurnya berbeda 8 tahun. Sesuatu yang sebetulnya istimewa karena ia dan aku tak seperti kebanyakan pasangan lain. Pada umumnya pasangan lain, laki-lakinya berusia lebih tua. Sedangkan ia dan aku terbalik. Ia lebih tua daripada aku.
Terlambat untuk menarik kata-kataku. Marina sudah terlanjur cemberut menjurus ke patah semangat. Aku mendekatinya, meremas kedua bahunya, menatapnya melalui pantulan di cermin.