Oleh  Muhammad NizhamuddinÂ
Pendahuluan:Â
Peradaban Mughal dikenal akan multi-ekniknya, diwarnai dengan budaya Arab-Persia-hingga turki, dengan kultur local India sebagai kanvasnya. Serta beragamnya keyakinan masyarakat setempat  dengan mayoritas hindu dan muslim, yang diikuti setelahnya Jainism,sikh,Kristen hingga Zoroaster membuat peradaban tersebut begitu bewarna. Tentu sebuah heterogenitas social merupakan tantangan tersendiri dalam menjaga keutuhan negara.Â
Ditambah dengan kerasnya tabiat masyarakat sub-continent yang menimbulkan fanatisme etnik hingga agama melahirkan beberapa gesekan antar golongan. Maka para sultan Mughal pun terus berupaya untuk berinovasi dalam menjaga stabilitas kekuasaannya. Dan puncak pencampuran heterogenitas social terjadi pada era sultan ketiga Mughal, Jalaludin Akbar.Â
Dimana di tulisan sebelumnya sudah dibahas bagaimana inovasi dia dalam menjaga kerukunan rakyatnya, dengan melahirkan kebijakan sulh-e-kull nya, yang mensama ratakan seluruh rakyat sub-continent tanpa memandang agama, namun beberapa syari'at islam menjadi korban.Â
Serta penyatuan seluruh keyakinan rakyat setempat setelah diadakannya diskusi antar pemuka agama di forum ibadaat khaanah, melahirkan agama universal baru bertajuk din-i-lahi.sebuah formula yang Akbar anggap sebagai jembatan antar gap dari setiap golongan, untuk bersatunya masyarakat sub-continent dengan meleburkan keyakinan-keyakinan fundamental mereka.Â
Sultan Akbar berusaha tampil toleran, namun malah kehilangan jati dirinya sebagai seorang muslim, ia melupakan komponen terpenting dalam islam, ialah Tauhid, yang juga melahirkan nilai humanis sebagai konsekuensi dari bentuk ketaatan kepada tuhan yang esa, maka harus di ikuti dengan berakhlaq mulia kepada seluruh makhluqnya.Â
Sedangkan din-i-lahi terlalu focus pada nilai humanis-pluralistiknya dengan mengabaikan nilai tauhid islam yang fundamental. Sehingga konsep ini tak mendapat sambutan yang berarti sepeninggal Akbar. Umurnya pun berakhir seiring masa berakhirnya Sultan Akbar.
Apa yang terjadi di era Akbar,seolah terulang kembali di masa kini. Dimana sebagian umat muslim mencoba kembali bereksperimen dalam menafsirkan ayat-ayat quran serta hadist nabi dengan terfokus pada tataran social manusia dengan mengabaikan pakem ulama traditional. Citra islam dengan konsep tauhidnya dianggap kaku sehingga perlu dileburkan. Mengatas namakan tajdid, padahal pembeharuan dalam islam harus dibatasi dengan rambu-rambu syariat.
Alamghir, cucu Akbar dengan warna berbeda.
Sultan Aurangzeb Alamghir, bernama asli Abul Muzaffar muhiuddin Muhammad Aurangzeb alamghir. Raja kelima Mughal, anak dari sah jahan pendiri Taj-mahal, serta cucu dari sultan Jalaludin Akbar.lahir 16 november 1618, masa kuasanya selama 47 tahun dari 1659-1707.
Dikenal sebagai Raja terbesar Mughal, melebihi pendahulunya sultan Akbar, disisi lain ia juga dikenal sebagai raja yang taat akan agama. Kerap menolak uang negara untuk kehidupan pribadinya, bekerja sebagai penganyam topi untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya. Sangat kontras dengan ayah nya sah jahanYang terkenal akan keglamorannya. Suka mengadakan pesta dan lomba syair di istana, yang dihapus di era alamghir. Ia juga mengkritik keras ayahnya, yang menghamburkan uang negara untuk membangun makam istana Taj-mahal untuk mendiang istrinya Mumtaz mahal, yang dimana masih banyak rakyatnya yang miskin kelaparan.
Yang cukup unik, ia memiliki corak warna yang sangat kontras dalam kekuasaannya dari pendahulunya Akbar. Ia di kenal sebagai sosok yang corncern dalam menegakan syariat islam di sub-continent. Menerapkan islam ortodoks, dengan menggantikan kebijakan konfisiliasi hindu dengan kebijakan islam, sangat berbanding terbalik dengan pendahulunya, Akbar. Untuk itu, ia mensponsori pengkondifikasian hukum islam dalam karya agungnya, yang dikenal dengan fatawa e alamghiri.
Berbeda dengan konsep din-i-lahi yang terlalu focus pada tataran prilaku pribadi, Alamghir berusaha mengaplikasikan nilai-nilai islam dalam tatanan social.untuk itu ia mengangkat mustahib (petugas pengawas moral), yang memiliki wewenang untuk mengontrol penyelewngan syari'at-sosial seperti : perjudian,prostitusi,penggunaan narkotika,minuman keras,serta hal-hal yang merusak moral lainnya.
Fatawa Alamghiri, inovasi Aurangzeb dalam implementasi syari'at  di Mughal.
Pendidikan islami yang diberikan ayah Aurangzeb ketika kecil turut membentuk kepribadian nya ketika dewasa. Dimana waktu kecil, sultan syah jahan memberikan masyaikh terbaik asia selatan dalam mendidik Aurangzeb.ia tumbuh dalam lingkungan alqur'an,hadist serta pendidikan fiqh dll. Ia memiliki minat baca yang luar biasa. Ia juga menguasai bahasa arab,Persia hingga turki di waktu kecil. Dari kesemua itulah ia menjadi pribadi yang bercita-cita berdirinya kerajaan Mughal di atas ajaran islam murni.
Para leluhurnya yang belum bisa menegakan islam secara kaffah di Mughal, semakin memotivasinya sejak dini untuk mewujudkannya. Ketika ayah nya membangun taj-mahal untuk makam istrinya, Aurangzeb mengkritik keras kebijakan ayahnya. Selain alasan yang disebutkan diatas, ia juga mengkritik atas dasar pertentangan nilai islam.Â
Menurutnya, membangun istana diatas makam ibunya bertentangan dengan syari'at islam dimana Rasulullah SAW melarang mendirikan bangunan diatas kuburan. Ia juga menyerukan dengan lantang larangan meninggikan bangunan diatas para tokoh agama, karena menurutnya itu merupakan bentuk dari sebuah pengkultusan dari penghuni kabur, dan tentu itu sangat jauh dari ajaran Islam.
Dan ketika masa jabatannya, untuk mewujudkan implementasi syari'at dalam pemerintahan Mughal, ia mengeluarkan dekrit pengumpulan jurnal-jurnal fiqh menjadi sebuah buku sistematis untuk menjadi acuan umat muslim sub-continent dalam menjalankan ibadah, agar tidak menyeleweng dari syari'at. Ia juga mensponsori ratusan ulama penjuru dunia untuk menformulasikan fiqh Islam.Â
Dan hasilnya adalah sebuah karya fenomenal yang sampai saat ini dapat kita temukan di india dan Pakistan, buku fiqh ikhtishar dalam mazhab hanafi bernama fatawa alamghiri atau fatawa al hindiya. Ini merupakan inovasinya agar masyarakat nya jauh dari penyelewngan. Buku ini pun disebar ke seluruh penjuru Mughal, guna memerangi berbagai macam bentuk penyelewengan ibadah maupun moral social.
Dalam masa jabatannya, Aurangzeb juga menghapus berbagai macam pungutan pajak yang tidak sesuai syari'at. Padahal, pungutan pajak ini sebelumnya menjadi sumber pendapatan kerajaan Mughal. Dan menetapkan kembali jizyah kepada non muslim yang sebelumnya dihapus oleh pendahulunya sultan Akbar. Ia juga melarang keras praktek membungkukan diri kepada penguasa, tak terkecuali dirinya, sebagai upaya penegakan kembali nilai-nilai tauhid. ia berusaha meneladani salaf dalam beragama.
Untuk memback-up pendapatan besar yang sebelumnya diperoleh dari pajak yang tidak sesuai syari'at, ia memberantas keglamoran kehidupan istana. Ia menghilangkan budaya pesta dansa,music hingga perayaan ulang tahun raja.
Kebijaka religious lainnya ialah, penghapusan tradisi tika serta dharsan, dimana setiap pagi sultan Mughal memandangi rakyat di balkon istana, sedangkan rakyat mengadakan pertunjukan. Khususnya pertandingan gajah. Tradisi tersebut dihapus karena mengandung unsur pemujaan berlebihan terhadap pemimpin. Aurangzeb menggantinya dengan tradisi zinjr-e-adl dimana rakyat yang memiliki masalah tinggal menarik tali-tali besi, sehingga raja keluar untuk mendengar keluh kesahnya.nSultan Aurangzeb juga menghapus peraayaan Nauruz atau perayaan tahun baru ala orang Persia.tentu karena budaya non-muslim.
Â
Sikap Aurangzeb dalam menghadapi masyarakat heterogen.
Raja Aurangzeb memang dikenal akan kezuhudan serta kedekatannya dengan agama. Namun, tak banyak juga para sejarawan yang mengkritik sikap Aurangzeb terhadap umat hindu dan sikh. Banyak yang menyematkan istilah intoleran kepada era kepemimpinan Aurangzeb. Lalu apakah benar penyematan tersebut ?
Apabila kita ingin mengetahui akan kebenaran penyematan tersebut, maka kita perlu mengetahui bagaimana non-muslim hidup dibawah kekuasaannya. Namun, fakta sejarah membuktikan, bahwa puluhan orang-orang hindu ia angkat sebagai pegawai di istana,kantor,hingga penasihat. Bahkan beberapa orang hindu dan sikh berkarir dalam dunia militer. Justru ini membuktikan bahwa Aurangzeb tidaklah kaku terhadap kontribusi non-muslim.
Setelah penelitian lebih dalam, ternyata penyematan Aurangzeb sebagai raja yang intoleran berlandaskan akan keputusannya dalam penghancuran kuil-kuil ibadah umat hindu serta pengembalian kembali penerapan jizyah kepada mereka yang dianggap sebagai tindakan diskriminatif. Ia juga di isukan menolak beberapa pembangunan tempat ibadah baru bagi mereka.
Pada faktanya, sejak datangnya islam ke sub-continent yang dibawa oleh Muhammad bin qosim as-tsaqafi di era umayyah, penjaminan kebebasan umat beragama serta larangan penghancuran kuil ibadah mereka sudah ada. Dan aturan tersebut tetap terjaga ratusan tahun hingga datangnya era Mughal. Akan tetapi, kebebasan beragama dalam islam dibarengi dengan kewajiban bagi non-muslim untuk membayar jizyah.karena itu bagian dari syari'at yang dimana rasulullah SAW hingga para sahabat lakukan dalam perluasan wilayah islam. Justru di era akbar lah system tersebut dihapuskan. Aurangzeb hanya mengembalikan kewajiban syariat yang telah hilang. Serta sebab lain yang mendukung penegakan kembali system jizyah ialah,pada tahun 1678, semua komunitas hindu terkemuka : Jat,Satnamis,Maratha,hingga Rajput telah memberontak, yang meyakinkan Aurangzeb akan kurang loyalitasnya umat hindu dibawah pemerintahan umat islam.
Sedangkan, isu penghancuran kuil ibadah yang mengandung tendensius eksklusifisme dalam beragama yang dilakukan oleh Aurangzeb, maka perlu telaah lebih dalam. Perlu diketahui, jika kuil ibadah Sikh dan Hindu bukan hanya sebagai tempat peribadatan. Namun, disana juga menjadi tempat dengan tersebarnya pengaruh politik yang signifikan. Ditambah sebagian tokoh agama di kuil merangkap sebagai pegawai pemerintahan. Hingga saat raja-raja dari kerajaan hindu di luar Mughal ingin mendapatkan suara rakyat, mereka mendekati tokoh-tokoh agama di kuil untuk mendapatkan simpatik dari rakyaat wilayah tersebut. maka dapat disimpulkan, kuil pada saat itu lebih dari bangunan ibadah, melainkan juga merangkap sebagai tempat yang penuh potensi untuk pengaruh politik.
Maka setelah memahami fungsi kuil pada saat itu secara signifikan, kita akan memahami, corak apa yang mendorong Aurangzeb untuk menghancurkan kuil tertentu. Namun faktanya, sejarah membuktikan tidak adanya bukti penghancuran kuil ibadah yang dilakukan oleh Aurangzeb secara membabi buta. Kuil-kuil yang dihancurkan telah melalui pertimbangan yang matang, dengan hanya sebagian kecil kuil di india yang dihancurkan oleh Aurangzeb meliputi bishanath di benares,gujrat dan Orissa.Â
Kepala suku dan tokoh agama yang memimpin pemberontakan di era Aurangzeb mayoritas berlandaskan kekecewaan mereka dari keglamoran hidup istana  diatas penderitaan rakyat era sultan shah jahan, ayah Aurangzeb dahulu. Keglamoran tersebut menimbulkan kehimpitan ekonomi hingga era Aurangzeb. Dan ketika pemberontakan pecah di beberapa wilayah Mughal, kuil-kuil hindu dan sikh menjadi corong utama yang memprovokasi masyarakat. Sebagai contoh penghancuran kuil di benaras ats dasar pemberontakan rival politik Mughal, Shivaji. Serta di Mathura atas dasar pemberontakan umat hindu yang menewaskan tokoh agama islam.  Maka selama kuil-kuil corong provokaasi pemberontakan tetap eksis, itu akan terus mengancam kestabilitasan wilayah Mughal.maka corak yang mendorong Aurangzeb untuk menghancurkan kuil ibadah bukan atas sentiment agama, melainkan dinamika politik.karena sejatinya penghancuran kuil menyalahi syari'at, sedangkan Aurangzeb dikenal akan cita-citanya untuk berdirinya syari'at di Mughal.
Â
Kesimpulan
Dan itulah beberapa usaha Aurangzeb dalam menghidupkan kembali nilai-nilai murni ajaran islam yg sebagian telah hilang di era sebelumnya. Tentu, masa kekuasaannya yang dilandasi dengan pemurnian kembali nilai islam di tanah Mughal tak membuat kekuasaannya terpecah, dikarenakangesekan antar golongan. Meskipun tetap terjadi pemberontakan di sebagian wilayah, namun yang namanya politik kekuasaan, tidak akan terlepas dari pemberontakan. Bahkan era Akbar denga ke-pluralannya pun juga tidaklah lepas darinya. Berbagai macam kebijakannya menjadi saksi bisu sejarah, bahwa untuk menjaga keutuhan negara yang diwarnai dengan keragaman masyarakatnya, tidaklah perlu dengan pencampur-adukan nilai-nilai theologis di setiap agama yang sangat fundamental. Maka sinkretisme atas nama toleransi, bukanlah sebuah jawaban atas tantangan heterogenitas social.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H