Mohon tunggu...
Muhammad Nizhamuddin
Muhammad Nizhamuddin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa IIUI Islamabad

mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Aurangzeb Alamghir, Pejuang Syari'at Islam di Tengah Heterogenitas Peradaban Mughal

3 September 2023   07:09 Diperbarui: 3 September 2023   07:54 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada faktanya, sejak datangnya islam ke sub-continent yang dibawa oleh Muhammad bin qosim as-tsaqafi di era umayyah, penjaminan kebebasan umat beragama serta larangan penghancuran kuil ibadah mereka sudah ada. Dan aturan tersebut tetap terjaga ratusan tahun hingga datangnya era Mughal. Akan tetapi, kebebasan beragama dalam islam dibarengi dengan kewajiban bagi non-muslim untuk membayar jizyah.karena itu bagian dari syari'at yang dimana rasulullah SAW hingga para sahabat lakukan dalam perluasan wilayah islam. Justru di era akbar lah system tersebut dihapuskan. Aurangzeb hanya mengembalikan kewajiban syariat yang telah hilang. Serta sebab lain yang mendukung penegakan kembali system jizyah ialah,pada tahun 1678, semua komunitas hindu terkemuka : Jat,Satnamis,Maratha,hingga Rajput telah memberontak, yang meyakinkan Aurangzeb akan kurang loyalitasnya umat hindu dibawah pemerintahan umat islam.

Sedangkan, isu penghancuran kuil ibadah yang mengandung tendensius eksklusifisme dalam beragama yang dilakukan oleh Aurangzeb, maka perlu telaah lebih dalam. Perlu diketahui, jika kuil ibadah Sikh dan Hindu bukan hanya sebagai tempat peribadatan. Namun, disana juga menjadi tempat dengan tersebarnya pengaruh politik yang signifikan. Ditambah sebagian tokoh agama di kuil merangkap sebagai pegawai pemerintahan. Hingga saat raja-raja dari kerajaan hindu di luar Mughal ingin mendapatkan suara rakyat, mereka mendekati tokoh-tokoh agama di kuil untuk mendapatkan simpatik dari rakyaat wilayah tersebut. maka dapat disimpulkan, kuil pada saat itu lebih dari bangunan ibadah, melainkan juga merangkap sebagai tempat yang penuh potensi untuk pengaruh politik.

Maka setelah memahami fungsi kuil pada saat itu secara signifikan, kita akan memahami, corak apa yang mendorong Aurangzeb untuk menghancurkan kuil tertentu. Namun faktanya, sejarah membuktikan tidak adanya bukti penghancuran kuil ibadah yang dilakukan oleh Aurangzeb secara membabi buta. Kuil-kuil yang dihancurkan telah melalui pertimbangan yang matang, dengan hanya sebagian kecil kuil di india yang dihancurkan oleh Aurangzeb meliputi bishanath di benares,gujrat dan Orissa. 

Kepala suku dan tokoh agama yang memimpin pemberontakan di era Aurangzeb mayoritas berlandaskan kekecewaan mereka dari keglamoran hidup istana  diatas penderitaan rakyat era sultan shah jahan, ayah Aurangzeb dahulu. Keglamoran tersebut menimbulkan kehimpitan ekonomi hingga era Aurangzeb. Dan ketika pemberontakan pecah di beberapa wilayah Mughal, kuil-kuil hindu dan sikh menjadi corong utama yang memprovokasi masyarakat. Sebagai contoh penghancuran kuil di benaras ats dasar pemberontakan rival politik Mughal, Shivaji. Serta di Mathura atas dasar pemberontakan umat hindu yang menewaskan tokoh agama islam.  Maka selama kuil-kuil corong provokaasi pemberontakan tetap eksis, itu akan terus mengancam kestabilitasan wilayah Mughal.maka corak yang mendorong Aurangzeb untuk menghancurkan kuil ibadah bukan atas sentiment agama, melainkan dinamika politik.karena sejatinya penghancuran kuil menyalahi syari'at, sedangkan Aurangzeb dikenal akan cita-citanya untuk berdirinya syari'at di Mughal.

 

Kesimpulan

Dan itulah beberapa usaha Aurangzeb dalam menghidupkan kembali nilai-nilai murni ajaran islam yg sebagian telah hilang di era sebelumnya. Tentu, masa kekuasaannya yang dilandasi dengan pemurnian kembali nilai islam di tanah Mughal tak membuat kekuasaannya terpecah, dikarenakangesekan antar golongan. Meskipun tetap terjadi pemberontakan di sebagian wilayah, namun yang namanya politik kekuasaan, tidak akan terlepas dari pemberontakan. Bahkan era Akbar denga ke-pluralannya pun juga tidaklah lepas darinya. Berbagai macam kebijakannya menjadi saksi bisu sejarah, bahwa untuk menjaga keutuhan negara yang diwarnai dengan keragaman masyarakatnya, tidaklah perlu dengan pencampur-adukan nilai-nilai theologis di setiap agama yang sangat fundamental. Maka sinkretisme atas nama toleransi, bukanlah sebuah jawaban atas tantangan heterogenitas social.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun