Mohon tunggu...
Muhammad Nizhamuddin
Muhammad Nizhamuddin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa IIUI Islamabad

mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Aurangzeb Alamghir, Pejuang Syari'at Islam di Tengah Heterogenitas Peradaban Mughal

3 September 2023   07:09 Diperbarui: 3 September 2023   07:54 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh  Muhammad Nizhamuddin 

Pendahuluan: 

Peradaban Mughal dikenal akan multi-ekniknya, diwarnai dengan budaya Arab-Persia-hingga turki, dengan kultur local India sebagai kanvasnya. Serta beragamnya keyakinan masyarakat setempat  dengan mayoritas hindu dan muslim, yang diikuti setelahnya Jainism,sikh,Kristen hingga Zoroaster membuat peradaban tersebut begitu bewarna. Tentu sebuah heterogenitas social merupakan tantangan tersendiri dalam menjaga keutuhan negara. 

Ditambah dengan kerasnya tabiat masyarakat sub-continent yang menimbulkan fanatisme etnik hingga agama melahirkan beberapa gesekan antar golongan. Maka para sultan Mughal pun terus berupaya untuk berinovasi dalam menjaga stabilitas kekuasaannya. Dan puncak pencampuran heterogenitas social terjadi pada era sultan ketiga Mughal, Jalaludin Akbar. 

Dimana di tulisan sebelumnya sudah dibahas bagaimana inovasi dia dalam menjaga kerukunan rakyatnya, dengan melahirkan kebijakan sulh-e-kull nya, yang mensama ratakan seluruh rakyat sub-continent tanpa memandang agama, namun beberapa syari'at islam menjadi korban. 

Serta penyatuan seluruh keyakinan rakyat setempat setelah diadakannya diskusi antar pemuka agama di forum ibadaat khaanah, melahirkan agama universal baru bertajuk din-i-lahi.sebuah formula yang Akbar anggap sebagai jembatan antar gap dari setiap golongan, untuk bersatunya masyarakat sub-continent dengan meleburkan keyakinan-keyakinan fundamental mereka. 

Sultan Akbar berusaha tampil toleran, namun malah kehilangan jati dirinya sebagai seorang muslim, ia melupakan komponen terpenting dalam islam, ialah Tauhid, yang juga melahirkan nilai humanis sebagai konsekuensi dari bentuk ketaatan kepada tuhan yang esa, maka harus di ikuti dengan berakhlaq mulia kepada seluruh makhluqnya. 

Sedangkan din-i-lahi terlalu focus pada nilai humanis-pluralistiknya dengan mengabaikan nilai tauhid islam yang fundamental. Sehingga konsep ini tak mendapat sambutan yang berarti sepeninggal Akbar. Umurnya pun berakhir seiring masa berakhirnya Sultan Akbar.

Apa yang terjadi di era Akbar,seolah terulang kembali di masa kini. Dimana sebagian umat muslim mencoba kembali bereksperimen dalam menafsirkan ayat-ayat quran serta hadist nabi dengan terfokus pada tataran social manusia dengan mengabaikan pakem ulama traditional. Citra islam dengan konsep tauhidnya dianggap kaku sehingga perlu dileburkan. Mengatas namakan tajdid, padahal pembeharuan dalam islam harus dibatasi dengan rambu-rambu syariat.

Alamghir, cucu Akbar dengan warna berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun